Perjalanan hidup Kanaya dari bercerai dengan suaminya.
Lalu ia pergi karena sebuah ancaman, kemudian menikah dengan Rafa yang sudah dianggap adiknya sendiri.
Sosok Angela ternyata mempunyai misi untuk mengambil alih harta kekayaan dari orang tua angkat Kanaya.
Selain itu, ada harta tersembunyi yang diwariskan kepada Kanaya dan juga Nadira, saudara tirinya.
Namun apakah harta yang di maksud itu??
Lalu bagaimana Rafa mempertahankan hubungannya dengan Kanaya?
Dan...
Siapakah ayah dari Alya, putri dari Kanaya, karena Barata bukanlah ayah kandung Alya.
Apakah Kanaya bisa bertemu dengan ayah kandung Alya?
Lika-liku hidup Kanaya sedang diperjuangkan.
Apakah berakhir bahagia?
Ataukah luka?
Ikutilah Novel Ikatan Takdir karya si ciprut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota Kecil
Kota kecil itu menyambut mereka dengan udara yang jauh lebih dingin dari Jakarta. Deretan rumah-rumah tua berwarna pastel terlihat rapi di kiri kanan jalan, dan pepohonan pinus menjulang di kejauhan. Meski tempat itu terasa asing bagi Kanaya, ada sedikit rasa aman yang mulai tumbuh di dadanya.
Rafa berjalan sedikit di depan, memikul dua koper sekaligus. Tatapannya terus mengawasi lingkungan sekitar, memastikan tak ada ancaman yang mengikuti perjalanan mereka. Sesekali ia menoleh, memastikan Kanaya tidak tertinggal.
“Aku tahu ini tidak mudah buatmu,” kata Rafa pelan tanpa menatapnya.
Kanaya memeluk jaketnya, menahan dingin yang menusuk. “Aku cuma selalu merasa… dikejar. Seolah Barata masih bisa muncul di sudut mana pun.”
Rafa berhenti, menatapnya lembut. “Dia tidak akan menemukanmu di sini. Aku janji.”
Ada jeda. Kanaya mengangguk, meski rasa takut itu belum sepenuhnya hilang.
Mereka tiba di sebuah rumah kecil di pinggir kota—rumah milik sahabat Rafa yang sedang merantau. Halamannya dipenuhi bunga-bunga liar, dan jendela kayunya tampak bersih, seperti menunggu penghuni baru.
“Mulai hari ini… ini rumahmu,” ucap Rafa.
Kanaya menatap rumah itu, lalu menatap Rafa. Ada kehangatan yang ia rasakan di dada—perasaan yang sudah lama tidak ia temui dalam pernikahannya yang dingin.
“Terima kasih,” katanya, suaranya pelan namun tulus.
Rafa tersenyum samar. “Kita masuk dulu, nanti aku masak mie instan. Kamu pasti lapar.”
Kanaya tertawa kecil, tawa pertama yang keluar setelah sekian lama. “Mie instan? Pahlawan penyelamatku ternyata kokinya masih pemula.”
Rafa pura-pura mendengus tersinggung. “Hei, jangan meremehkan mie instan buatan chef sekelas aku!”
Mereka melangkah masuk. Aroma kayu yang baru dipelitur bercampur udara dingin menyambut. Di dalam ruangan sederhana itu, tidak ada kemewahan—tapi ada ketenangan. Sesuatu yang dulu hanya bisa Kanaya bayangkan.
Dan di tengah suasana asing itu, Rafa hadir sebagai satu-satunya hal yang mulai terasa seperti rumah.
Hari pertama selalu penuh penyesuaian.
Kanaya berdiri di tengah ruang tamu kosong, memegang gulungan kain tirai. Ia mencoba mengukur panjang jendela dengan tatapan serius, sementara Rafa sibuk di dapur, menekuni kompor tua yang sering ngadat.
“Kayanya kompor ini punya kebiasaan buruk,” Rafa mengomel sambil mengetuk-ngetuk tombol pemantik.
Kanaya melirik dan tersenyum kecil. “Mungkin perlu pendekatan lebih lembut. Jangan kasar.”
Rafa menatapnya dramatis. “Aku ini sedang memperjuangkan sarapanmu, Bu Saksi Korban Kekerasan Rumah Tangga.”
Nada bercandanya membuat Kanaya hampir tertawa… hampir. Luka masa lalunya masih belum sepenuhnya sembuh, tapi tawa itu kini lebih mudah muncul.
Setelah sarapan sederhana mereka selesai — telur dadar setengah gosong yang tetap Kanaya puji karena Rafa terlihat bangga — keduanya mulai menata barang-barang.
Kanaya mengelap meja, mengatur piring, menggantung tirai… semua hal kecil yang membuat rumah itu perlahan terasa hidup.
Rafa membawa beberapa pot tanaman dari teras ke dalam. “Kata sahabatku, tanaman-tanaman ini bisa bikin suasana rumah lebih hangat.”
Kanaya tersentuh karena Rafa memikirkannya sejauh itu. “Terima kasih… karena sudah berusaha bikin tempat ini nyaman buatku.”
Rafa berhenti, memandangnya. “Aku hanya ingin kamu merasa aman. Dan… kalau bisa… bahagia.”
Kanaya terdiam. Kata bahagia terasa asing di lidahnya, tapi Rafa mengucapkannya seolah itu hal yang mungkin.
Menjelang sore, mereka keluar untuk belanja kebutuhan harian. Kota kecil itu ternyata cukup ramah. Toko kelontong kecil di ujung jalan milik pasangan lansia yang ramah. Mereka menyapa dengan senyum hangat tanpa rasa curiga, hanya memandang Kanaya sebagai orang baru, bukan sebagai wanita yang melarikan diri dari suami berbahaya.
Kanaya menghirup napas dingin sore hari. “Sudah lama sekali aku tidak merasa… ringan.”
Rafa berjalan di sampingnya, kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket. “Kalau kamu ingin, kamu bisa mulai dari awal di sini. Nama baru, hidup baru.”
Kanaya menggeleng pelan. “Aku tidak ingin menghapus semuanya. Ada bagian hidupku yang tetap layak untuk diingat. Meski… sebagian yang lain ingin kulupakan.”
Rafa mendengar tanpa menghakimi. Itu yang membuat Kanaya merasa aman: ia tidak pernah memaksanya untuk sembuh lebih cepat dari yang ia mampu.
Ketika malam turun, lampu kuning di ruang tamu menyala lembut. Kanaya membuatkan teh hangat, Rafa memperbaiki lemari yang engselnya longgar. Suara sekrup dan uap teh bercampur menjadi harmoni kecil—hal yang dulu tidak pernah ia temui di rumah besarnya bersama Barata.
Di hati Kanaya, benih kecil itu semakin tumbuh: rasa bahwa hidup baru mungkin… dan bahwa Rafa mungkin bukan sekadar pelindung.
Hari-hari berlalu perlahan di kota kecil itu.
Setiap pagi, aroma kopi dari dapur menjadi tanda bahwa Rafa sudah bangun lebih dulu. Kanaya menyusul tak lama kemudian, mengenakan sweater kebesaran dan rambut sedikit berantakan. Rafa selalu pura-pura tidak memperhatikan, tapi sebenarnya ia menikmati pemandangan itu.
“Pagi,” Kanaya berkata sambil menguap kecil.
“Pagi. Kopi tanpa gula seperti biasa,” jawab Rafa, sudah menyorongkan cangkir untuknya.
“Bagaimana kamu bisa mengingat hal sekecil itu?” tanya Kanaya.
Rafa tersenyum, menatapnya sekilas. “Kalau tentang kamu, aku ingat semua.”
Kanaya diam, jantungnya berdetak agak lebih cepat.
Siang hari, mereka sering belanja sayuran di pasar tradisional. Kanaya mulai akrab dengan para pedagang. Ada ibu penjual sayur yang sering memberi mereka bonus daun bawang. “Buat mbaknya, biar makin pinter masak,” katanya.
Kanaya tertawa—tawa yang kini tidak lagi tertahan.
Rafa selalu berjalan agak lebih dekat dari yang diperlukan, seolah ingin memastikan ia aman. Tangan mereka kadang bersentuhan tanpa sengaja. Kanaya pura-pura tidak sadar, padahal sentuhan kecil itu membuat hatinya gelisah.
Sore hari, Rafa memperbaiki rumah. Mengecat pagar, merapikan rak buku yang reyot, bahkan mencoba memperbaiki mesin cuci tua yang sering ngadat. Kanaya akan duduk di teras sambil menulis daftar kebutuhan, atau sekadar melihatnya bekerja.
“Kalau semua sudah rapi, kamu mau ngapain?” tanya Kanaya suatu sore.
Rafa mengangkat bahu, masih sibuk dengan obeng di tangannya. “Mungkin cari pekerjaan di bengkel atau toko perkakas. Tapi…”
“Tapi?” Kanaya menoleh.
“Aku lebih suka terus ada di dekatmu.”
Uap di dalam dada Kanaya serasa menghangatkan seluruh tubuh. Ia menunduk, pura-pura sibuk menggulung kabel bekas. “Aku juga… merasa lebih tenang kalau kamu ada.”
Malam hari adalah bagian favoritnya.
Mereka makan bersama, menonton film di TV kecil warisan pemilik rumah. Kadang Rafa tertidur duluan di sofa, sementara Kanaya mematikan TV dan menutupi tubuhnya dengan selimut tipis. Di saat itu, ia sering memperhatikan wajah Rafa yang damai.
Laki-laki ini… berbeda. Tidak seperti Barata yang selalu membuatnya mengecil. Rafa membuatnya merasa hidup.
Suatu malam, ketika lampu kamar sudah dipadamkan, Rafa mengetuk pintu pelan.
“Kak Naya? Kamu belum tidur?”
“Belum. Kenapa?”
Rafa ragu sejenak. “Kalau kamu tidak keberatan… boleh aku nyalakan lampu teras malam ini? Aku hanya ingin memastikan… tidak ada yang mencoba masuk.”
Kanaya terdiam. Bukan karena takut, tapi karena hatinya terenyuh.
“Terima kasih,” bisiknya. “Untuk semuanya.”
Rafa tersenyum lembut. “Aku janji, kamu tidak akan sendirian lagi.”
Dalam gelap, Kanaya menyentuh dadanya sendiri… mencoba menenangkan debar yang sulit dikendalikan.
Perasaan itu semakin kuat. Semakin sulit disangkal.
Di kota kecil ini, tanpa disadari, mereka bukan lagi sekadar dua orang yang bertahan hidup. Mereka mulai saling menemukan satu sama lain.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
kira2 gmn akhir dari kisah ini
hahh jd anak itu anak siapa alya kok bisa kanya sma barata dan kok bisa alya hamil hadeh kepingan puzel yg bener2 rumit tingkat dewa 🤣🤣🤣🤣
jawaban dr alya anak dia bukan kira2 kasih flash back nya kapan 🤣🤣🤣
jane apa.sih iki 🤣🤣🤣