Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senin Berdarah Cilok (Bagian 1)
Hari senin.
Dua kata yang bahkan tanpa kalimat lengkap sudah cukup bikin system imun melemah.
Tapi kali ini, hari senin datang kayak tukang kredit yang ngetok pintu kosan saat dompetku isinya cuma angin dan debu.
Padahal, harapan ku cuma satu: sarapan cilok dan boba dengan damai di kantor, tanpa drama cowok cakep yang nyamperin kayak sebelumnya, atau drama perjodohan dari Mas Tegar, bahkan tanpa omongan Direktur dan apalagi… tanpa kejutan level jantung copot.
Setelah drama absurd reka adegan bareng Felix kemaren, hidupku cukup damai sepanjang hari berikutnya, tapi siapa yang akan menyangka bahwa hidupku tidak akan jungkir balik lagi hari senin paginya.
Aku duduk di meja pantry dengan sebungkus cilok dan boba di depanku. Baru banget mau nyelupin sedotan ke boba dan siap menyuap cilok ke mulut, Ana datang dengan ekspresi seperti kabur dari zombie apocalypse.
“Mbak… Lo—gantiin Pak Darwis presentasi hari ini. Meeting jam delapan. Sama Direktur dan Head Department tiap divisi.”
Cilok ku jatuh ke lantai. Beneran.
Si cilok yang tak bersalah itu, yang sudah aku beli dengan penuh harapan dan kasih sayang, mati sia-sia.
Aku menatap Ana dengan mata seperti dikhianati semesta.
“Ana…gue belum makan. Gue bahkan belum seruput satu boba pun. Lo nyuruh gue presentasi? Hari ini? Sekarang?”
Ana gigit bibir, panik tapi sok tenang.
“Maaf Mbak, Pak Darwis tiba-tiba sakit perut akut. Gue udah bikinin presentasinya, sumpah. Tapi lo yang harus bawain. Gak bisa ditunda.”
Aku membeku. Aku tidak pernah membayangkan hari dimana aku harus berhadapan dengan para Eksekutif perusahaan akhirnya datang. Dengan suara kecil dan menggigil aku berkata,
“Ana, ini bukan presentasi… ini bom nuklir di dalam toples cilok. Ini jebakan batman diselipin di boba.”
“Ayolah Mbak, lo Leader tim akunting kan? Gak ada lagi yang bisa gantiin selain lo, lagian Mas Kenlei, Ass. Manager kita gak pernah datang on time. Cuma lo yang bisa, Mbak.”
Aku pasrah. Dunia memang nggak habis ide buat hidupku penuh drama.
Ruang meeting dingin. Tapi ketiak ku lebih dingin.
Direktur dan para Eksekutif duduk seperti sekumpulan harimau kelaparan. Setiap suara batuk mereka terasa kayak dentuman genderang perang. Aku berdiri di depan, bawa presentasi yang bahkan belum sempat aku intip.
Tapi entah dari mana, mungkin dari alam bawah sadar yang pengen terlihat professional, mulut ku mulai jalan sendiri.
Aku berbicara dengan lantang dan tegas padahal tanganku sudah basah oleh keringat dingin.
“Untuk bulan lalu, divisi accounting berhasil menjaga rasio beban operasional di bawah batas maksimal. Namun, terdapat tiga divisi yang perlu re-evaluasi. Marketing, Development, dan Operasional Umum.”
Aku mengganti slide, terus menunjuk ke masing-masing kepala divisi—iya, nunjuk beneran.
‘YA TUHAN!! Dari mana gue punya keberanian melakukan tindakan berani seperti ini?!’
“Seperti yang bisa dilihat, biaya promosi naik 43% dibanding bulan lalu. Proyeksi ROAS tidak linear. Sementara development mengalami backlog 11 project—”
Aku berhenti sejenak. Tapi hatiku terus menjerit.
‘Tolong… ada yang bisa cabut kabel infokus gak sih? Gue takut…’
“—dan operasional umum perlu mengatur ulang pengadaan karena pengeluaran alat tulis kantor lebih tinggi dari alat produksi. Kita sebenarnya bikin kantor atau toko ATK, Pak?”
Semua yang ikut meeting fokus kepadaku. Tapi aku tetap melanjutkan presentasiku tanpa gentar sampai akhirnya selesai.
Aku duduk lagi setelah selesai presentasi. Badan gemetar. Tapi….semua orang diam. Bahkan Manager HR mengangguk. Bahkan Pak Robby dari divisi operasional nggak membantah. Bahkan…Pak Bram.
Pak Bram adalah direktur muda dengan tampilan rapi dan elegan. Kalau seandainya saja dia belum menikah, aku nggak yakin cewek-cewek di kantorku akan diam saja.
Pak Bram dari tadi duduk dengan pose salib tangan, tatapan menembus dimensi, menoleh sedikit ke arahku. Lalu mengangguk pelan.
‘Tunggu. Itu…anggukan validasi?’
‘Atau cuma ngusir nyamuk imajiner?’
Aku nggak tahu. Tapi yang jelas, pas keluar ruangan, cilok ku udah jadi fosil di lantai. Dan hidup ku, barusan, kayak baru aja dijadikan reality show: Menyampaikan Anggaran di tengah rasa lapar dan trauma social.
Setelah meeting yang panas, Kepala Divisi yang aku tunjuk di meeting menatapku dengan tatapan yang cukup membuat lututku rapuh. Tapi aku masih dengan percaya diri menunjukan bahwa aku bukanlah pengganti yang akan takut dengan gepuran Kepala Divisi lain.
“Bagus Meisya, ini adalah pengalaman yang mengesankan, terlebih lagi kamu mampu menjelaskan dengan baik evaluasi bulanan perusahaan kita,” ucap Pak Bram sebelum meninggalkan ruangan meeting.
Saat keluar dari perang yang tidak berdarah itu, aku langsung mengirimkan pesan singkat kepada Rahma.
Aku: “Ma, kita ketemu sepulang kerja nanti di kedai boba di Mall langganan.”
Beberapa saat kemudian ponselku bergetar.
Rahma: “Drama apalagi kali ini say? But it’s okay, gue in.”
**
Sepulang kerja, aku langsung menuju kedai boba langganan.
Aku harus menceritakan kejadian di kantor tadi sekalian liat-liat skincare dan cuci mata. Ya, skincare buat nyelamatin kulit dari stress karena masalah kencan buta yang aku alami belakangan ini.
Tapi tentu hidupku tidak pernah sederhana.
Kami baru aja duduk di food court setelah keliling setengah mall kayak anak kos cari diskonan, dan disitulah aku memulai sesi curhat yang begitu dramatis.
Aku menyendok es krim di atas minuman boba sambil mendesah dramatis.
“Rahma… gue nggak ngerti lagi kenapa semesta suka usil sama gue, lo bayangin aja belum selesai dengan cerita si Felix gue udah di sodorin skrip baru…”
“Tunggu. Jangan bilang lo di lamar orang kaya sambil bawa mobil listrik warna lilac.” Jawab Rahma masih ngunyah pisang coklat.
Aku mendelik.
“Bukan, Rahma. Gue di jebak. Gue di suruh gantiin Pak Darwis presentasi ke Pak Bram! Lima menit sebelum mulai! LIMA MENIT! Lo bayangin, bahkan cilok gue belum sempat gue kunyah, sumpah.”
Rahma tiba-tiba tertawa keras banget.
“HAHAHA—GILA. LO DILONTARKAN KE SINGA SECARA SUKARELA! Lo kayak…anak kelinci magang yang dilempar ke kandang harimau rapat!”
Aku menjawab masih dengan nada trauma, “Lo ketawa. Sungguh tidak manusiawi. Tahu nggak tangan gue dingin, Ma. Ketiak gue ngambek. Bibir gue kayak nari poco-poco sendiri. Tapi mulut gue gak bisa berhenti nunjuk divisi mana yang boros. Kayak kesurupan akuntan suci.”
Rahma menahan tawa sambil ngelus dada, “Gue bangga pada lo, pejuang cilok. Tapi… lo kayak pengusir setan dari neraka akuntansi!”
Aku nahan diri untuk tidak membanting pisang coklat ke muka Rahma.
“Udah gitu, waktu gue nyebut marketing overspend, Mas Tegar ngelirik gue kayak gue yang bikin iklan LED di jalan tol. Lo pikir gue apa, Ma? Tim baliho spiritual?”
Rahma tertawa keras. Sampai nafasnya nyangkut.
“HAHAHA—ini sinetron banget nggak sih? Udah kayak scene pembuka film documenter pekerja kantoran yang disia-siakan negara!”
Aku mencoba mengalihkan topik karena trauma meeting terlalu dalam.
“Dan lo tahu gak siapa yang ngangguk waktu gue selesai presentasi?”
Rahma nahan tawa. Tapi masih nyemil.
“Siapa?”
“Pak Bram… gue pikir mungkin gue cuma lapar. Tapi anggukan itu teras kayak setetes madu di lautan stress yang asin.”
Rahma meletakkan pisang coklatnya perlahan. Matanya membesar.
“PAK BRAM TERTARIK SAMA LO? Dia kan sudah ayah muda!”
Aku langsung mengeleng. Keningku bertaut. Tidak mengerti dengan apa yang ada di pikiran Rahma.
“Enggaklah! Astaga. Gila kali. Sebenarnya apa sih yang ada di kepala lo? Kok bisa-bisanya pikiran absurd kayak gitu muncul?”
“HAHAHA—siapa tau, dari cerita lo, gue merasakan getaran-getaran tidak professional karena hidup lo selalu penuh dengan plot twist. Mana tau kali ini jadi pelakor.”
“RAHMA!!” teriakku sambil mendelik tajam.
“Lo jangan bikin hidup gue lebih absurd dari yang udah terjadi. Gue udah capek. Gue butuh mood booster dan ketenangan batin. Gue gak butuh teori konspirasi aneh lo.”
Dia cuma garuk-garuk dagu. Pura-pura serius, “Mana tau lo sebenarnya main karakter di beberapa cerita orang tapi lo-nya gak nyadar.”
“Rahma, sumpah. Lo tuh temen gue yang…imajinasinya udah di luar nalar. Tapi…ya udah. Terima kasih. Lo gak bantu, but minimal lo lucu.”
Rahma tertawa. Aku tertawa. Dan pisang coklat sudah raib di makan Rahma tanpa menyisakan potongan terakhir.
Kami bangkit dan jalan muter-muter mall untuk mencari Brand Make up yang lagi viral belakangan ini, tapi tiba-tiba Rahma nyeletuk.
“Gimana kabarnya lo sama si Felix?”
“Hah? Kenapa lo tiba-tiba bahas Felix?”
“Penasaran aja sih, dari semua cerita kencan buta lo, dia kedengarannya lebih menarik.”
Aku terdiam. Berfikir sebentar.
“Eh kemaren gue udah cerita apa yang terjadi after kencan buta bareng Felix, gak sih?”
“Nggak. Lo cuma cerita soal reka adegan lo yang absurd itu.”
“Benar juga. Setelah itu ada kejadian yang lebih absurd lagi. LO GAK AKAN PERCAYA APA YANG TERJADI! GILA SIH… LEVEL MURPHY’S LAW!!”
“Bentar, ini soal si Felix yang bilang lo cabul itu kan? Kenapa lo kemaren spillnya gak full chapter sih? Jangan bilang—OMG—dia bikin video klarifikasi di TikTok?”