Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Keesokan harinya.
Seperti biasa, setelah salat Dhuha, ruang kecil di ndalem Kyai Huda terasa lebih hidup. Hari Jumat memang selalu jadi waktu yang ditunggu... waktu teleponan santri dengan orang tua.
Ummi Maysaroh sudah duduk rapi di kursi kayu, ponsel di tangan. Kyai Huda berada di sampingnya, ikut mendekat, sebagaimana kebiasaannya setiap kali giliran Neng Azwa menelepon.
Bagi mereka, ini bukan sekadar rutinitas. Ini momen melepas rindu pada anak satu-satunya yang mondok jauh.
Layar ponsel menyala. Nama Azwa muncul. Neng Azwa sendiri membawa ponsel. Tapi tetap dia hanya bisa memegangnya di hari jumat saja.
“Assalamu’alaikum, Neng,” sapa Ummi Maysaroh lembut begitu panggilan terhubung.
“Wa’alaikumussalam, Umi… Abi,” jawab Azwa ceria, meski ada nada tertahan.
“Sehat, Neng?” tanya Kyai Huda.
“Alhamdulillah. Abi sama Umi sehat?”
“Alhamdulillah,” jawab Ummi. “Di pondok bagaimana?”
“Baik,” sahut Azwa singkat. Terlalu singkat.
Ada jeda. Napas Azwa terdengar jelas di seberang.
Lalu, tanpa basa-basi lagi, ia bertanya.... “Abi… Umi… kenapa nggak bilang kalau Ustadz Fathur mau menikah?"
Deg
“Kamu tahu dari siapa, Neng?” tanya Kyai Huda, suaranya tetap tenang.
“Ada yang bilang sama aku, Umi,” jawab Azwa cepat. “Katanya sudah ditentukan waktunya. Katanya… sebentar lagi.”
Nada suaranya mulai bergetar. “Kenapa aku harus dengar dari orang lain?” lanjutnya, emosinya naik. “Kenapa bukan dari Abi dan Umi?”
Ummi Maysaroh menarik napas panjang. “Neng, dengar dulu...”
“Selama ini siapa yang selalu ada di dekat Ustadz Fathur?” suara Azwa meninggi. “Siapa yang ngurus, siapa yang nemenin, siapa yang...”
“Neng,” potong Kyai Huda tegas tapi lembut. “Cukup.”
Hening sejenak.
“Pernikahan itu takdir, Azwa,” lanjut Kyai Huda pelan. “Bukan sesuatu yang bisa kita atur dengan perasaan saja.”
“Tapi Abi tahu perasaanku,” bantah Azwa. “Abi tahu aku berharap...”
“Apa yang kamu harapkan,” Kyai Huda menahan napas, “tidak selalu berarti itulah yang Allah izinkan.”
“Jadi… semua selama ini, semua perasaanku, nggak ada artinya?” suara Azwa mulai pecah.
Ummi Maysaroh ikut bicara, suaranya bergetar menahan haru. “Neng, Ustadz Fathur sudah menganggapmu adiknya. Dan Abi pun...”
“Cukup, Umi,” potong Azwa cepat. Nada suaranya berubah dingin. “Aku mengerti sekarang.”
“Neng...” Ummi Maysaroh hendak menyela.
“Aku pamit,” ucap Azwa tergesa. “Assalamu’alaikum.”
Tut...
Sebelum ada jawaban... Panggilan terputus.
Ummi Maysaroh menatap layar ponsel yang kini gelap. Matanya berkaca-kaca. “Abi… Azwa marah.”
Kyai Huda memejamkan mata sejenak, dadanya terasa sesak. “Bukan marah,” ucapnya lirih. “Dia sedang kecewa… dan itu jauh lebih berat.”
Ruangan kembali sunyi.
Hari Jumat yang biasanya hangat, kali ini menyisakan perasaan dingin yang merambat pelan... pertanda bahwa tidak semua rindu berakhir dengan pelukan,
dan tidak semua harapan ditakdirkan untuk dimiliki.
***
Setelah panggilan itu terputus, Ummi Maysaroh masih duduk mematung. Ponsel di tangannya belum juga ia letakkan, seolah berharap layar itu kembali menyala dan Azwa menelepon lagi... mengatakan semua itu hanya luapan emosi sesaat. Namun layar tetap gelap.
Ummi Maysaroh menghela napas panjang. “Abi… aku khawatir sama Azwa,” ucapnya lirih. “Sebagai perempuan, Ummi tahu rasanya. Dia menyimpan perasaan itu terlalu lama. Sekarang… jatuhnya pasti sakit sekali.”
Kyai Huda menautkan jari, menunduk sejenak sebelum menjawab. “Abi paham, Ummi. Sangat paham.”
Ia menoleh, menatap istrinya dengan sorot mata lelah. “Tapi justru karena kita paham, kita tidak boleh membiarkan Azwa larut di tempat yang salah.”
“Bagaimana kalau dia merasa ditinggalkan?” suara Ummi bergetar. “Bagaimana kalau dia menyalahkan dirinya sendiri?”
“Rasa sakit tidak selalu buruk,” jawab Kyai Huda pelan. “Kadang itu cara Allah memindahkan hati dari satu sandaran ke sandaran yang lebih benar.”
Ummi mengusap sudut matanya. “Ummi hanya takut… dia sendirian di pondok. Menahan malu, menahan kecewa.”
“Azwa tidak sendirian,” sahut Kyai Huda tegas tapi lembut. “Allah bersamanya. Dan kita tetap orang tuanya. Kita doakan, kita awasi, tapi kita tidak boleh mengikat hatinya pada sesuatu yang bukan haknya.”
Ummi Maysaroh terdiam. Lalu mengangguk kecil.
Beberapa detik kemudian, Kyai Huda menghela napas berat. “Yang membuat Abi heran… siapa yang memberitahu Azwa?”
“Iya,” sahut Ummi cepat. “Kita bahkan belum bicara langsung ke dia.”
“Berarti kabar itu sudah menyebar lebih cepat dari yang Abi duga,” gumam Kyai Huda. “Dan tidak semua orang menyampaikannya dengan niat yang baik.”
Ummi Maysaroh menatap Kyai Huda. “Apa Abi curiga… dari lingkungan pondok?”
“Mungkin,” jawab Kyai Huda jujur. “Atau dari orang yang merasa punya kepentingan. Yang jelas, ini bukan waktu yang tepat bagi Azwa untuk tahu dengan cara seperti itu.”
Ia berdiri perlahan, melangkah ke jendela.
“Abi hanya berharap… siapa pun yang menyampaikan kabar itu, tidak sedang menanam luka di hati anak kita.”
Ummi Maysaroh ikut berdiri, mendekat. “Abi… apa kita salah membiarkan Azwa terlalu dekat dengan Ustadz Fathur?”
Kyai Huda menggeleng pelan. “Tidak ada yang salah dengan niat baik. Yang salah adalah ketika niat itu tumbuh tanpa batas.”
Ia menoleh pada istrinya. “Dan sekarang tugas kita bukan mencari siapa yang salah… tapi menjaga agar Azwa tidak tenggelam dalam perasaannya.”
Ummi Maysaroh mengangguk, meski dadanya masih terasa sesak.
Di depan mereka, suara santri yang bergantian menghubungi orang tuanya terdengar samar.
Sementara di dalam ndalem, dua orang tua itu sama-sama terdiam... berdoa dalam hati, agar luka anak mereka tidak berubah menjadi jarak yang lebih menyakitkan.
***
Sore harinya.
Ustadz Fathur datang ke rumah Aira menjelang asar. Tidak sendiri. Ia ditemani Ummi Maysaroh yang wajahnya tampak cerah, juga dua orang ibu pondok yang sedari turun dari motor sudah berbisik-bisik sambil tersenyum penuh arti.
Pak Hadi menyambut di teras. “Mangga, Yai… eh Ummi. Silakan masuk.”
Bu Maryam menyusul dari dapur dengan senyum ramah. “Kebetulan teh hangatnya baru jadi.”
Aira yang awalnya mengintip dari balik pintu dapur langsung menegang.
Perasaan kok rame amat… Kebetulan hari ini
Setelah duduk di ruang tamu, Ustadz Fathur membuka pembicaraan dengan nada sopan tapi sedikit kaku.
“Pak… Bu… saya ke sini mau menanyakan keperluan seserahan. Supaya tidak keliru.”
Pak Hadi mengangguk mantap. “Bagus, Nak. Biar jelas dari awal.”
Bu Maryam melirik Aira. “Ra, sini duduk.”
Aira melangkah pelan, duduk di ujung sofa. Tangannya saling menggenggam, wajahnya sudah setengah merah.
Nah… di sinilah Ummi Maysaroh mulai beraksi.
Ummi Maysaroh membuka buku kecil. “Baik, kita mulai ya.” Ia menoleh ke Aira dengan senyum keibuan yang… terlalu hangat.
“Ukuran baju sehari-hari Aira apa, Nak?”
Aira mengedip. “Eh… M… kadang L… tergantung bajunya.”
“Dalamannya?” tanya Ummi santai.
DUM.
Aira tersedak ludah. “U-UMMI?!”
Bu Maryam langsung menutup mulut menahan tawa.
Pak Hadi berdehem keras lalu pura-pura fokus ke kipas angin.
Ustadz Fathur refleks menunduk. “Astaghfirullah…”
Kupingnya merah. Jelas.
Ummi Maysaroh tetap tenang. “Ini penting, Nak. Jangan malu. Nanti salah ukuran, kamu sendiri yang repot.”
Aira menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Mamaaaa… ini pelecehan domestik sebelum akad!”
Bu Maryam akhirnya angkat suara. “Udah, Ummi. Yang itu saya saja yang catat.”
Ummi Maysaroh terkekeh. “Ya sudah. Tapi nanti kalau salah, jangan protes ya.”
Salah satu ibu pondok ikut nimbrung. “Biasanya calon pengantin malu-malu gini, tandanya cocok.”
Aira langsung menoleh. “Bu… saya ini malu, bukan cocok!”
Semua tertawa.
Ustadz Fathur akhirnya memberanikan diri bicara, suaranya lembut. “Insya Allah semuanya diniatkan ibadah. Saya hanya ingin memastikan Aira nyaman.”
Kalimat itu membuat Aira terdiam sejenak. Dadanya bergetar aneh.
Hangat.
Tapi bikin gugup.
Pak Hadi menepuk pahanya pelan. “Yang penting tanggung jawab, Nak. Sisanya kita bantu.”
Bu Maryam tersenyum penuh arti. “Termasuk menghadapi anak kami yang… agak random.”
Aira manyun. “Aku dengar itu.”
Ummi Maysaroh menutup bukunya. “Baik. Sudah cukup. Selebihnya biar kami yang urus. Kamu tinggal siap jadi istri.”
Aira membeku.
“Ummi… kalimatnya jangan langsung klimaks gitu dong.”
"HAHAHA..." Ruang tamu meledak oleh tawa.
Sementara Ustadz Fathur… hanya tersenyum kecil, menunduk, dan dalam hati mengucap syukur...
karena di balik semua kekocakan itu,
ia merasa… pulang.
***
.
Aira baru berani bertanya setelah tamu-tamu itu pulang.
Rumah kembali agak lengang. Tinggal suara kipas angin dan ayam yang sesekali berkokok entah kenapa masih ribut padahal hari sudah sore.
Bu Maryam membereskan cangkir-cangkir di dapur.
Aira mengikutinya, berdiri bersandar di kusen pintu dengan wajah penuh tanda tanya.
“Ma…” panggilnya pelan.
“Iya?” jawab Bu Maryam tanpa menoleh, tangannya sibuk mencuci gelas.
Aira menggaruk tengkuk. “Itu… soal seserahan tadi."
Bu Maryam berhenti sejenak. Menoleh. “Kenapa?”
“Emang… harus ada ya, Ma?” Nada Aira ragu. “Aku tuh ngerasa gak enak. Kayak… ribet, mahal, dan… kok rasanya aku cuma jadi objek belanja.”
Bu Maryam tersenyum tipis. Ia mematikan keran, lalu duduk di bangku dapur. “Sini duduk.”
Aira menurut.
“Seserahan itu bukan kewajiban, Ra,” kata Bu Maryam lembut. “Bukan rukun nikah. Bukan penentu sah atau tidaknya pernikahan.”
Aira mengangguk pelan. “Terus kenapa harus ada?”
“Karena adat,” jawab Bu Maryam jujur. “Dan karena sebagian laki-laki ingin menunjukkan kesungguhan dan tanggung jawabnya. Bukan pamer.”
Aira menghela napas. “Aku takut malah memberatkan dia, Ma. Dia aja hidupnya sederhana.”
Bu Maryam menatap putrinya dalam-dalam. “Itu justru yang membuat mama tenang.”
Aira mendongak. “Kenapa?”
“Karena dia gak datang dengan gaya, tapi dengan niat,” ucap Bu Maryam. “Dan seserahan itu bukan untuk dilihat dari isi, tapi untuk menyampaikan pesan: 'aku datang untuk menafkahi dan menjaga kamu semampuku.'”
Aira terdiam.
“Kalau pun nanti isinya sederhana,” lanjut Bu Maryam, “yang penting caranya terhormat.”
Aira mengerutkan hidung. “Jadi… gak apa-apa ya kalau isinya gak wah?”
Bu Maryam terkekeh. “Kamu kira mama mau lemari penuh emas?”
“Iya sih…” Aira nyengir. “Takut mama kecewa."
Bu Maryam mencubit pelan lengan Aira. “Yang mama mau itu kamu dihargai, bukan dibikin silau.”
Aira menunduk. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya. “Aku… masih takut, Ma.”
Bu Maryam mengusap rambutnya. “Takut itu wajar. Yang gak wajar itu kalau menikah tanpa mikir.”
Aira tersenyum kecil. “Mama bijak banget kalau lagi gak nyuruh aku masak.”
Bu Maryam terkekeh. “Makanya. Nikmati momen takutnya. Itu tanda kamu serius.”
Aira menarik napas dalam. Dalam hati ia mengakui...
bukan seserahan yang membuatnya gelisah, tapi kenyataan bahwa sebentar lagi…
hidupnya benar-benar akan berubah.
***
"Huda... Yang benar saja... Masa calon istrinya Ustadz Fathur modelan begitu?"
Bersambung