Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
“Aku pasti tidak akan melepaskan siapa pun yang terlibat dalam penderitaan Clara,” ucap Andrian dingin, nada suaranya bergetar menahan amarah. “Bibi Shu… di keluarga Wu, hanya kau yang benar-benar baik padanya. Kalau aku memintamu merawat Clara mulai detik ini… apakah kau bersedia?”
Bibi Shu tertegun, lalu menatap Andrian dengan mata berkaca-kaca. Tangannya yang keriput bergetar ketika ia menangkupkan keduanya di dada.
“Tuan…” suaranya serak, “saya sangat bersedia. Nona Clara sudah seperti anak saya sendiri. Saya melihatnya tumbuh, menangis, menderita… kalau saya masih diberi kesempatan merawatnya, itu sudah lebih dari cukup bagi saya.”
Air mata menetes di pipinya. Ia menunduk dalam, penuh rasa hormat dan haru.
“Baiklah,” kata Andrian. “Aku ada urusan yang harus kuselesaikan. Untuk saat ini, temani Clara di rumah sakit. Pastikan dia tidak sendirian. Jika terjadi sesuatu, segera hubungi Kane.”
“Baik, Tuan,” jawab Bibi Shu sambil mengangguk cepat, menahan tangis.
Andrian menarik napas panjang,“Setelah Clara sembuh dan semua ini berakhir… aku akan mengirimmu kembali ke desamu. Aku tahu kau punya dua anak yang masih belajar di universitas Hua Qing. Karena kebaikanmu terhadap Clara, aku akan membiayai pendidikan mereka sampai lulus. Dan… aku juga akan memberimu sejumlah uang untuk hidup tenang di masa tuamu.”
“Tuan, terima kasih!” ucap Bibi Shu, suaranya serak oleh haru. “Asalkan bisa melihat Nona sembuh dan semangat hidupnya kembali… saya sudah puas.”
“Kane, antar Bibi Shu pergi!” perintahnya singkat.
Kane menunduk, sikapnya sigap namun terlihat khawatir. “Baik, Tuan!” jawabnya, lalu dengan lembut membantu Bibi Shu berdiri.
***
Beberapa saat kemudian, ruang kerja Andrian kembali hening. Lampu meja memantulkan bayangan di permukaan laptop. Dengan tangan yang sedikit bergetar, Andrian memasukkan flashdisk pemberian Bibi Shu ke port. Jari-jarinya menekan tombol play; suara rekaman tua berderak memenuhi ruangan—seperti napas lama yang bangkit dari kubur.
Layar menampilkan sebuah kamar yang remang dan sempit. Kamera goyah merekam sudut demi sudut, dan di tengahnya sebuah kandang besi. Di dalamnya, anak kecil, Clara duduk meringkuk, matanya membesar oleh ketakutan. Suara kecilnya pecah:
“Tidak, tolong lepaskan… Kakak, aku takut, aku takut,” tangisnya tipis, nyaris tenggelam oleh kesunyian ruangan.
Kamera menyorot dua sosok muda yang berdiri seperti penjaga kejam: Jordy dan Jordan. Salah satu dari mereka menarik pintu kandang dengan kasar, menimbulkan bunyi logam yang mengiris. Jordy menepuk pipi anak itu dengan hina. “Dasar tidak berguna, kau hanya seorang anak yatim sekarang. Kalau berani tidak patuh, kau tinggal saja di kandang anjing seumur hidupmu,” suaranya keras, tanpa ampun.
Sebuah langkah kaki lain terdengar, lalu muncul sosok Sonia, istri James.
“Clara, lebih baik kau diam dan patuh. Orang tuamu sudah meninggal. Kalau kau masih ingin tinggal di sini dan makan gratis, kau harus bekerja dan melakukan semua perintah kami,” katanya dingin, seperti memberikan syarat pada makhluk yang tak lagi dianggap manusia.
Suara kecil Clara kembali memohon, suaranya semakin kehilangan tenaga. “Bibi, aku takut gelap… tolong lepaskan aku!” Air matanya mengalir membasahi pipi kecilnya. Namun jawaban mereka hanya langkah yang menjauh—meninggalkan anak itu dalam kegelapan dan kesempitan.
Di hadapan layar, Andrian menahan napas. Tangan kananya mengepal, kuku-nukunya menancap ke telapak sampai sakit. Air mata menetes tanpa ia sadari. Hati yang selama ini tenang retak oleh gambaran kecil itu.
Kemudian rekaman lain mulai berputar—menampilkan Clara kecil yang tubuhnya gemetar, dirotan oleh James tanpa belas kasihan. Suara cambuk yang menghantam kulit terdengar jelas, disertai teriakan pilu yang membuat dada Andrian bergetar.
Selain itu, gadis itu juga terlihat dihukum berlutut di luar rumah dalam keadaan hujan deras. Tubuh mungilnya menggigil, rambutnya menempel di wajah, bibirnya membiru. Setiap tetes air hujan seolah ikut menertawakan penderitaan yang dialaminya.
“James Wu, kau benar-benar binatang,” gumam Andrian dengan suara rendah, namun penuh kebencian yang menekan.
Banyak rekaman penyiksaan yang dialami oleh Clara dari kecil hingga remaja. Satu per satu potongan itu berputar, memperlihatkan luka batin yang tidak pernah sembuh. Semakin lama Andrian menonton, semakin hancur hatinya. Rasa kasihan bercampur amarah hingga membuatnya nyaris membanting layar.
Kemudian, rekaman lain muncul. Gambar Clara yang sudah beranjak dewasa, wajahnya pucat dan penuh ketakutan. Ia terlihat didorong paksa ke kursi, kedua tangannya ditahan kuat oleh Jordy dan Jordan.
“Tidaaak, aku tidak mau!” teriak Clara dengan suara parau, matanya memohon, namun tidak seorang pun peduli.
“Kau harus menikah dengan Andrian Zhou, dapatkan data perusahaannya. Kalau kau gagal maka jangan berharap kau bisa mendapatkan penawarnya. Mulai detik ini kau hanya bisa bertahan hidup dengan penawar ini,” kata James dengan nada dingin, menunjukkan sebuah botol kecil berisi cairan berwarna gelap.
James memastikan gadis itu menelan pil. Tangannya yang kasar mencengkeram dagu Clara dengan kuat, memaksa mulut gadis itu terbuka. Walau Clara berusaha meronta, namun tenaganya tetap kalah dari mereka. Kedua tangan dan kakinya ditekan keras oleh Jordy dan Jordan, membuatnya tak berdaya.
Dengan paksa, ia menyelipkan pil itu ke dalam mulut Clara, menutupnya dengan keras, lalu menepuk pipinya agar gadis itu menelan. Clara terbatuk keras, tubuhnya gemetar ketakutan. Rasa pahit menjalar di lidah, disertai panas yang mengalir cepat di tenggorokan.
Di sisi lain layar, Andrian yang menonton rekaman itu nyaris tidak bisa menahan amarahnya lagi. Napasnya memburu, matanya merah berair. Tangannya yang mengepal menghantam meja dengan keras hingga suara dentumannya menggema.
Andrian terbungkuk sejenak, napasnya tersengal—rasa sesak dan sakit di dadanya seperti ditekan batu tajam.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dengan cepat. Kane yang baru pulang langsung berlari masuk.
“Tuan!” seru Kane, suaranya penuh cemas.
Andrian menatapnya, mata hitamnya menyorot tajam seperti mata elang yang siap menerkam. Ia berdiri dengan gerakan yang tegas meski tubuhnya masih memegang dadanya. Suara Andrian keluar pendek, tajam, penuh perintah:
“Kita ke rumah mereka sekarang juga!”