Di sudut sebuah toserba 24 jam yang sepi, seorang pemuda berdiri di balik kasir. Namanya Jin Ray.
Ray bukan pemuda biasa. Di balik seragam toserba berwarna oranye norak yang ia kenakan, tubuhnya dipenuhi bekas luka. Ada luka sayatan tipis di alis kirinya dan bekas jahitan lama di punggung tangannya. Tatapannya tajam, waspada, seperti seekor serigala yang dipaksa memakai kalung anjing rumahan.
“Tiga ribu lima ratus won,” ucap Ray datar. Suaranya serak, berat, jenis suara yang dulu membuat orang gemetar ketakutan saat ia menagih utang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ray Nando, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Kencan Pertama & Refleks Pahlawan
Ray duduk di meja makan kecil di sudut ruangan. Apartemen ini terasa deja vu. Tata letaknya sama persis dengan apartemen di dunia lama, tapi bedanya, tidak ada Noise Goblin di atas lemari dan tidak ada dinding yang retak.
Ray melihat punggung Hana yang sibuk di dapur terbuka.
Tiba-tiba, sebuah panel kecil muncul di sudut pandang Ray.
[MISI SAMPINGAN AKTIF]
[Nama: Jangan Kacaukan Kencan Ini.]
[Tujuan: Puji masakannya dalam 3 detik setelah suapan pertama.]
[Hadiah: Senyum Manis Hana.]
[Gagal: Tidur di Sofa Sendirian.]
Ray tersenyum kecut. Sistem di dunia ini jauh lebih santai, tapi tetap saja suka mengatur.
"Supnya sudah siap!" Hana membawa panci panas besar ke meja.
Mungkin karena gugup atau karena panci itu terlalu berat, pegangan panci di tangan kiri Hana tergelincir dari kain lapnya.
"Ah!" Hana memekik. Panci berisi kuah panas itu miring, siap tumpah dan menyiram kaki Hana.
Di mata orang biasa, itu adalah kecelakaan yang tak terhindarkan.
Tapi di mata Jin Ray, waktu melambat.
Adrenaline Rush dari kehidupan masa lalunya aktif secara otomatis.
Dalam sepersekian detik, Ray bangkit dari kursi. Gerakannya kabur.
Tangan kirinya menyambar pinggang Hana, menariknya mundur menjauh dari bahaya.
Tangan kanannya bergerak menyambar bagian bawah panci yang jatuh—tapi dia tidak memegangnya langsung (itu bodoh).
Ray menendang kursi makan dengan ujung kakinya, membuat kursi itu meluncur tepat ke bawah panci yang jatuh.
TUK.
Panci itu mendarat mulus di atas kursi empuk. Kuahnya hanya tumpah sedikit, tidak ada yang pecah, tidak ada yang terluka.
Hana berkedip, masih dalam posisi dipeluk Ray dengan satu tangan. Dia melihat ke arah panci yang selamat, lalu menatap Ray dengan mata terbelalak.
"Ray-ssi..." bisik Hana. "Gerakan apa itu barusan? Kau seperti... ninja?"
Ray tersadar. Dia melepaskan pelukan di pinggang Hana dengan canggung dan berdeham. "Uh... refleks. Dulu aku sering menangkap... barang jatuh di gudang. Refleks kasir."
"Refleks kasir?" Hana menatapnya curiga, tapi kemudian tertawa. Tawa yang renyah dan lepas. "Kalau begitu, kau kasir paling hebat di Korea."
Mereka duduk kembali. Hana menyendokkan nasi dan menuang sup ke mangkuk Ray.
Ray mencicipi kuahnya.
Rasanya luar biasa. Gurih, hangat, dan penuh rasa sayang. Jauh berbeda dengan "Japchae Karet" di ingatan masa lalunya.
TING! (Timer Sistem berjalan: 3... 2...)
"Enak," kata Ray cepat. "Sangat enak. Ini Samgyetang terbaik yang pernah kumakan."
Wajah Hana merona merah.
[Misi Sukses!]
[Affection: Meningkat.]
Mereka makan sambil berbincang ringan. Tentang Ujang yang ternyata suka menonton drama romantis di jam sepi toko, tentang pekerjaan Hana di firma arsitektur yang bosnya (bukan Min-Ho lagi) sangat cerewet, dan tentang cuaca.
Setelah makan, Ray bersikeras mencuci piring.
"Biar aku saja, kau tamu," tolak Hana.
"Tidak. Aku sudah makan gratis. Biarkan aku membayar dengan tenaga," Ray menyingsingkan lengan kemejanya, menampakkan lengan yang berotot.
Saat Ray sedang menyabuni piring di wastafel, dia merasakan Hana berdiri di sampingnya, membilas gelas.
Suasana hening, tapi nyaman. Suara air mengalir menjadi musik latar yang menenangkan.
"Ray-ssi," panggil Hana pelan.
"Hm?"
"Kau ingat mimpi itu?" tanya Hana tiba-tiba.
Tangan Ray berhenti bergerak. Dia menoleh. Hana tidak menatapnya, dia menatap busa sabun di tangannya.
"Mimpi di mana kita dikejar monster... mimpi di mana kau menyelamatkanku berkali-kali... dan mimpi di padang bunga matahari?"
Ray terdiam. Jadi Hana juga ingat detailnya?
"Aku ingat," jawab Ray jujur. "Setiap detiknya."
Hana mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca. "Apakah itu nyata? Atau kita hanya dua orang gila yang punya halusinasi sama?"
Ray mematikan keran air. Dia mengeringkan tangannya dengan handuk, lalu memberanikan diri menggenggam tangan Hana yang basah dan dingin.
"Nyata atau tidak," kata Ray lembut, menatap lurus ke manik mata Hana. "Perasaan saat aku ingin melindungimu... itu nyata. Dan perasaan saat aku ingin bersamamu sekarang... itu juga nyata."
Hana tertegun. Lalu, senyum paling manis merekah di bibirnya.
TING!
Di udara di atas kepala mereka, muncul sebuah notifikasi sistem berwarna emas berkilauan. Kali ini, Hana juga mendongak dan melihatnya.
[PENCAPAIAN DIBUKA: KONEKSI SEJATI.]
[Sistem Romansa: Pensiun dengan Tenang.]
[Hadiah: Kembang Api.]
POF! POF!
Confetti digital kecil meledak di dapur sempit itu, lalu menghilang sebelum menyentuh lantai.
Ray dan Hana saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak. Tertawa sampai perut mereka sakit. Menertawakan betapa absurdnya hidup mereka, betapa anehnya takdir mereka, dan betapa bahagianya mereka saat ini.
"Oke," kata Hana sambil menyeka air mata tawanya. "Kau benar-benar pahlawanku, Kasir Jin Ray."
"Dan kau adalah Arsitekku, Nona Choi Hana," balas Ray.
Di luar jendela, bulan bersinar terang. Di sudut ruangan, seekor kecoa kecil melintas. Ray melihatnya. Biasanya dia akan membiarkannya, tapi insting lamanya muncul.
"Target terlihat," bisik Ray.
"Apa?"
"Tidak ada. Hanya... latihan target."
Ray menjentikkan butiran air dari jarinya dengan presisi mematikan. SPLAT! Kecoa itu tumbang di ujung ruangan.
Hana tidak menyadarinya. Dia hanya menyandarkan kepalanya di bahu Ray.
Malam itu, tidak ada dunia yang perlu diselamatkan. Hanya ada dua hati yang saling menemukan jalan pulang.
Tiga bulan setelah peristiwa "The Reset".
Dunia kembali normal. Orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka, kereta bawah tanah berjalan tepat waktu, dan tidak ada naga emas yang mencoba membakar kota. Bagi 99,9% penduduk Seoul, kejadian malam itu hanyalah "mimpi massal" atau efek samping dari kebocoran gas halusinogen (itulah berita resminya).
Tapi bagi Jin Ray dan Choi Hana, dunia normal ini memiliki retakan kecil.
Malam Minggu di distrik Hongdae. Ray dan Hana sedang melakukan aktivitas paling romantis yang bisa dilakukan pasangan yang tinggal bertetangga: Mencuci baju di Coin Laundry.
Ray duduk di kursi plastik kuning, membaca komik sambil meminum kopi kaleng. Hana duduk di sebelahnya, bersandar di bahu Ray sambil menggulir ponselnya, mencari restoran untuk makan malam.
"Bagaimana kalau BBQ?" tanya Hana. "Aku ingin daging sapi."
"Minggu lalu kita sudah makan daging," jawab Ray tanpa mengalihkan pandangan dari komik. "Bagaimana kalau Sushi? Ujang bilang ada tempat baru yang diskon 50% untuk pasangan."
"Ujang lagi," Hana tertawa kecil. "Sejak dia jadi pemilik toserba, dia jadi ensiklopedia diskon berjalan."
Suasana tenang. Mesin cuci berputar dengan suara dengung yang menghipnotis. Wuzzz... Wuzzz...
Tiba-tiba, suara dengung itu berubah.
GROK... KREK...
Ray berhenti membaca. Telinganya yang terlatih menangkap frekuensi aneh. Bukan suara mekanik biasa. Itu suara... mengunyah?