Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11, Lord Alven
Suara musik lembut mengalun dari aula istana tengah.
Malam itu, pesta kecil diadakan untuk menyambut utusan dari wilayah utara alasan yang digunakan banyak bangsawan untuk menunjukkan kekuasaan dan mencari perhatian Kaisar.
Elara datang mengenakan gaun hitam sederhana, tanpa perhiasan mencolok, tapi justru itu yang membuatnya paling menonjol di antara gemerlap warna emas dan perak.
Rambutnya disanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di punggung, menciptakan kesan anggun namun dingin.
Semua mata menoleh saat ia masuk.
Bukan hanya karena statusnya sebagai permaisuri, tapi karena aura yang ia bawa keheningan yang membuat orang segan bicara terlalu keras di dekatnya.
Kaelith duduk di singgasananya, menatap dari kejauhan.
Tatapannya tak lepas dari Elara, seolah seluruh ruangan tak lagi penting.
Namun ekspresinya tetap sama tenang, nyaris tak terbaca.
“Yang Mulia Permaisuri,” suara lembut seorang pria terdengar dari samping.
Seorang bangsawan berumur tiga puluhan dengan wajah tampan dan senyum licik menunduk hormat.
“Aku terhormat bisa menyapa Anda. Nama saya Lord Alven, utusan dari wilayah utara.”
Elara menoleh, matanya menilai cepat.
Alven ia pernah membaca nama itu di catatan lama.
Seorang bangsawan yang terkenal lihai dalam diplomasi, tapi juga dicurigai sebagai dalang penyelundupan senjata.
“Kau berasal dari utara?” tanya Elara tenang.
“Benar. Kami selalu mengagumi kepemimpinan Kaisar Kaelith… dan tentu saja, kecantikan permaisurinya.”
Elara tersenyum tipis.
“Kau pandai berbicara. Tapi di istana ini, kata-kata bisa lebih berbahaya daripada pedang.”
Alven tertawa kecil.
“Saya hanya ingin bersahabat. Seorang wanita sekuat Anda pasti membutuhkan sekutu, bukan?”
“Sekutu?” Elara memutar anggur di gelasnya. “Atau alat?”
Tatapan mereka bertemu.
Dan dalam sepersekian detik, Elara tahu pria ini tidak datang hanya untuk pesta.
Ada sesuatu di balik kedatangannya.
Beberapa jam kemudian, pesta semakin ramai.
Kaisar tampak berbicara dengan para penasihatnya, tapi matanya sesekali melirik ke arah Elara yang berbincang santai dengan Alven.
“Siapa pria itu?” tanyanya datar.
Salah satu penasihat menjawab hati-hati,
“Lord Alven, Yang Mulia. Utusan dari wilayah utara. Dikenal cerdas, tapi licik.”
Kaelith menatap mereka berdua lama.
Tangannya mengepal di atas meja, meski ia sendiri tak tahu kenapa.
“Licik… memang cocok untuknya,” gumamnya pelan.
Di sudut aula, Elara berjalan ke taman samping, mencari udara.
Langit malam tampak cerah, dan angin dingin membawa aroma bunga mawar.
Tapi langkah di belakangnya membuatnya berhenti.
“Kau mengikuti wanita sendirian di taman, Lord Alven? Tidak sopan,” katanya tanpa menoleh.
Alven tertawa kecil.
“Aku hanya ingin berbicara tanpa semua mata yang mengawasi.”
Elara membalik tubuhnya, menatapnya dengan senyum dingin.
“Kau harus tahu, di istana ini bahkan dinding bisa bicara.”
“Kalau begitu, biarlah mereka bicara,” ucap Alven, mendekat selangkah. “Aku hanya ingin menawarkan sesuatu.”
“Sesuatu?”
“Kebebasan.”
Elara menaikkan alis.
“Kebebasan dari apa?”
“Dari bayangan Kaisar. Dari pengawasan. Dari permainan istana.”
Suara Alven turun menjadi lembut, nyaris seperti racun yang dibungkus madu.
“Aku bisa membantumu. Kau terlalu pintar untuk terkekang di sini. Jika kau mendukung kami, wilayah utara akan menjagamu… bahkan mungkin memberimu kekuasaan yang lebih besar dari sekadar menjadi istri Kaisar.”
Elara terdiam sesaat.
Matanya berkilat samar dalam cahaya bulan.
“Kekuasaan yang lebih besar dari menjadi istri Kaisar?”
Ia mendekat pelan, jarak mereka nyaris tak sampai sejengkal.
“Menarik.”
Alven tersenyum puas.
Tapi sebelum ia sempat bicara lagi, Elara berbisik rendah di telinganya
“Sayangnya, aku tidak bekerja sama dengan ular. Biasanya, aku memotong kepalanya dulu.”
Alven menegang.
Sebelum ia sempat bereaksi, Elara menepuk bahunya ringan dan berbalik pergi.
“Nikmati pestanya, Lord Alven. Karena setelah malam ini, mungkin itu pesta terakhirmu di istana.”
Ketika ia kembali ke aula, Kaisar masih duduk di singgasananya.
Tatapan mereka bertemu di tengah keramaian — satu detik yang terasa seperti lama sekali.
Kaisar akhirnya berdiri.
“Permaisuri,” panggilnya.
Seluruh aula terdiam.
Elara melangkah maju, menunduk sedikit.
“Ya, Yang Mulia?”
“Kau tampak menikmati percakapanmu di taman,” ucapnya datar, tapi nadanya tajam.
“Hanya percakapan ringan,” jawab Elara tenang. “Tentang bunga, dan racun yang sering tumbuh di antara mereka.”
Kaelith menatapnya lama.
Lalu, tanpa peringatan, ia mendekat hingga suaranya hanya bisa didengar Elara.
“Aku tidak suka melihat ular mendekatimu.”
Elara tersenyum kecil.
“Kalau begitu, pastikan kau tidak berubah menjadi salah satunya.”
Kaisar menatapnya lama, tapi kemudian entah kenapa ia tertawa kecil.
“Kau benar-benar berbahaya, Elara.”
“Aku tahu.”
Dan untuk pertama kalinya, tatapan mereka tak lagi penuh kebencian…
melainkan sesuatu yang lebih kompleks campuran antara kekaguman, ketegangan, dan rasa takut yang samar.
Malam berakhir dengan tenang di permukaan, tapi di balik semua senyum dan musik, sesuatu telah berubah.
Elara telah menolak jebakan seorang bangsawan yang bisa menggulingkan tahta,
sementara Kaisar mulai kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Di antara mawar yang beracun dan janji yang manis,
ular telah menunjukkan diri…
tapi Elara, seperti biasa, sudah menyiapkan pisaunya lebih dulu.
Hujan turun pelan di halaman istana malam itu.
Air menetes di atap batu, menciptakan bunyi monoton yang menenangkan bagi sebagian orang, namun tidak bagi Elara.
Ia duduk di balkon kamarnya, jubah hitam menutupi tubuh, matanya menatap pekat langit yang kelabu.
“Lord Alven tidak akan diam,” gumamnya pelan.
“Jika dia datang menawarkan sesuatu, berarti ada yang jauh lebih besar di baliknya.”
Dari balik bayangan, seorang sosok muncul Kaen, pengawal pribadinya yang setia.
Wajahnya basah oleh hujan, tapi sorot matanya tajam, selalu penuh kewaspadaan.
“Permaisuri,” katanya sambil berlutut ringan. “Kami menemukan pesan tersembunyi di penginapan utara. Mereka menulis bahwa Ular Hitam akan bergerak sebelum perayaan musim panen.”
Elara menatapnya lama.
“Ular Hitam…” katanya pelan, mengulang nama itu. “Jadi mereka benar-benar ada.”
“Kami juga menemukan peta istana di antara barang-barang Alven,” lanjut Kaen. “Bagian yang ditandai adalah jalan rahasia menuju ruang penyimpanan senjata.”
Elara berdiri perlahan.
Rambutnya berjatuhan di bahu, menutupi sebagian wajah.
“Mereka bukan hanya ingin menyusup,” katanya dingin. “Mereka ingin menggulingkan tahta.”
Kaen mengangguk.
“Apa yang harus kita lakukan, Permaisuri?”
Elara tersenyum samar.
“Kita? Tidak. Aku akan melibatkan Kaisar. Biar kali ini, dia tahu siapa yang sebenarnya menjaga punggungnya.”
Pagi berikutnya, ruang kerja Kaisar terasa lebih sunyi dari biasanya.
Kaelith duduk di belakang meja besar dengan tumpukan dokumen di depannya, tapi pikirannya jauh melayang sejak malam pesta.
Ia masih mengingat bagaimana Elara menatapnya mata tajam yang tidak tunduk, bibir yang bisa melontarkan racun dan kejujuran bersamaan.
Pintu terbuka pelan.
“Yang Mulia,” suara lembut tapi tegas terdengar.
Elara melangkah masuk, membawa gulungan kecil di tangannya.
Kaelith menatapnya sebentar, lalu memberi isyarat agar ia mendekat.
“Apa ini?”
“Kebenaran,” jawab Elara singkat sambil meletakkan gulungan di atas meja.
Kaisar membuka gulungan itu.
Di dalamnya, terdapat salinan surat rahasia yang memuat rencana pemberontakan wilayah utara.
Mata Kaelith menyipit.
“Dari mana kau mendapatkan ini?”
“Dari seseorang yang mencoba menjualku pada kegelapan,” jawab Elara tenang. “Aku hanya membeli kembali kebenaran yang hendak ia jual.”
Kaelith menatapnya lama, seolah menimbang apakah harus percaya atau menghukumnya.
“Kau bermain dengan api, Elara.”
“Aku sudah terbakar sejak lama, Yang Mulia,” balasnya datar.
Keheningan menggantung di antara mereka.
Lalu Kaelith bersandar di kursinya, menatapnya lebih dalam.
“Apa yang kau inginkan dariku?”
Elara mendekat perlahan, berhenti tepat di depan meja.
“Kesepakatan.”
“Kesepakatan?”
“Aku akan membantumu menghancurkan mereka,” katanya dengan suara rendah tapi pasti. “Sebagai gantinya, aku ingin kebebasan. Tidak ada pengawasan, tidak ada batasan. Aku ingin ruangku sendiri di istana ini.”
Kaelith mengangkat dagunya sedikit.
“Dan kenapa aku harus mempercayaimu?”
Elara menunduk sedikit, tapi matanya tetap menatapnya lurus.
“Karena aku satu-satunya yang tahu bagaimana berpikir seperti musuhmu.”
Kaisar terdiam.
Kalimat itu membekas.
Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari Elara bukan sekadar permaisuri yang berani bicara. Ia adalah seseorang yang bisa menaklukkan dunia jika diberi waktu.
Malamnya, Elara berjalan sendirian di koridor belakang istana.
Cahaya obor menari di dinding batu, menciptakan bayangan panjang yang bergerak pelan.
Suara langkah kaki lain terdengar samar di belakangnya.
“Kau tak perlu bersembunyi, Kaen,” katanya tanpa menoleh.
Kaen muncul dari bayangan.
“Anda benar-benar membuat Kaisar gelisah hari ini,” katanya pelan.
“Bagus,” jawab Elara dengan senyum tipis. “Setidaknya dia tahu aku bukan boneka yang bisa disimpan di kamar emas.”
Kaen menunduk, lalu menatapnya lagi.
“Apakah Anda benar-benar mempercayainya sekarang?”
Elara berhenti, memandangi langit yang gelap.
“Percaya?” ia mengulang kata itu pelan, seolah menertawakannya. “Aku tidak percaya pada siapa pun di tempat ini, Kaen. Termasuk diriku sendiri.”
Ia melangkah pergi, tapi suaranya terdengar sekali lagi, lembut namun penuh tekad:
“Namun selama aku masih bernafas, istana ini tidak akan jatuh. Jika harus bersekutu dengan iblis untuk mempertahankannya, maka aku akan melakukannya.”
-
Di ruang kerjanya, Kaelith menatap gulungan surat pemberontakan itu sekali lagi.
Tangannya terhenti di atas meja, matanya menatap kosong.
“Elara…” gumamnya pelan. “Kau berbahaya. Tapi tanpa sadar, aku mulai membutuhkannya.”
Dan untuk pertama kalinya, Kaisar yang tak pernah percaya pada siapa pun
menyadari bahwa ancaman terbesarnya bukan musuh di luar istana,
melainkan wanita yang kini tidur di kamar berjarak hanya tiga dinding darinya.