NovelToon NovelToon
DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Cintapertama / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:717
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."

Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HADIAH BULAN JULI

DUA MINGGU KEMUDIAN....

Juli. Pagi itu, sinar matahari terasa lebih hangat dari biasanya. Udara di halaman sekolah membawa aroma dedaunan basah setelah hujan semalam, seolah ikut menyambut semangat baru di dada Luna. Di tangannya tergenggam erat sebatang pensil yang sudah diraut sempurna—entah sudah berapa kali ia memeriksanya sejak tadi pagi, seperti sedang memastikan bahwa semua ini bukan mimpi.

Selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sebelumnya, Luna sempat yakin ia tak akan bisa mengikuti ujian kenaikan kelas. Semua terasa berat—tunggakan biaya, rasa malu, dan ketakutan akan masa depan yang kabur. Namun kini, duduk di bangku ujian bersama teman-teman lain, hatinya bergetar pelan.

Ia menatap lembar soal di hadapannya. Huruf-huruf di ponselnya itu seakan menari, bukan karena gugup, tapi karena matanya sedikit berkaca-kaca.

Ya. Semenjak kejadian di ruangan TU itu, ia tak bisa menghentikan isak tangisnya. Rasa haru dan sangat berterimakasih kepada pasangan itu tak henti-hentinya ia panjatkan. Terlebih, setelahnya, mereka memfasilitasi segala apa yang Luna butuhkan. Termasuk ponsel, laptop, kendaraan sepeda, apapun yang Luna butuhkan.

Ia tahu, setiap angka dan huruf yang kini ia tulis adalah hasil dari perjuangan—dan kasih tulus dari dua orang yang kini ia anggap seperti orang tua sendiri—Bu Sari dan Pak Rendi. Dan sungguh, meskipun ia telah menolak, namun mereka tetap memaksa, tentunya dengan hati yang tulus.

Ya. Mereka yang datang di saat dunia seolah menutup pintu untuknya.

Mereka yang tidak hanya melunasi tunggakan sekolahnya, tapi juga mengembalikan harapan yang sempat hilang dari hati seorang gadis kecil yang hampir menyerah.

Hari-hari ujian pun berjalan selama seminggu penuh. Meski lelah, setiap pagi Luna berangkat dengan langkah ringan. Ia belajar hingga larut malam, berusaha memberi yang terbaik.

Ketika bel terakhir ujian berbunyi, Luna menatap ke luar jendela. Langit sore tampak cerah, awan berarak perlahan, seolah turut memberi selamat. Ia tersenyum—senyum lega yang penuh rasa syukur.

Luna kemudian menaiki sepedanya, menapaki jalan sore yang mulai sepi. Angin berhembus lembut, menggoyangkan ujung rambutnya yang terurai bebas di balik helm kecil yang ia kenakan. Jalanan menuju rumah terasa begitu familiar, setiap tikungan dan deretan pohon di pinggir jalan membawa ingatan masa lalu yang sulit dihapus.

Di ujung gang itu, rumah lamanya masih berdiri. Cat dindingnya memang sudah mulai pudar, dan di mata Luna, rumah itu tetap tampak hangat—tempat di mana ia tumbuh, tertawa, dan menangis bersama almarhum ibunya. Ia memperlambat kayuhan sepedanya.

Senyum tipis muncul di wajahnya. Ada rasa rindu yang menyesak, tapi juga ketenangan yang pelan-pelan menyusup ke dada.

Luna kemudian menghela napas panjang, mengayuh sepedanya kembali. Kali ini ke arah rumah yang baru—rumah tempat Bu Sari dan Pak Rendi yang menunggunya pulang.

Saat Luna tiba dan gerbang besi itu terbuka, biasanya aroma masakan sore langsung menyapa inderanya—wangi tumisan bawang dan sambal terasi yang begitu khas rumah. Namun kali ini berbeda. Udara sore terasa lebih tenang, tanpa aroma masakan yang biasa mengundang hangat di dada.

Luna menghentikan sepedanya di depan teras, alisnya sedikit berkerut. Dari arah ruang tamu, samar-samar terdengar suara percakapan. Suara itu milik Bu Sari, Pak Rendi bersama seseorang yang cukup familiar—lebih berat, dan terdengar wibawa penuh sopan.

“Aku pulang,” Ucap Luna pelan, ketika dirinya memberanikan diri tuk masuk ke dalam rumah. Suaranya nyaris tenggelam di antara suara percakapan dari ruang tamu.

Ia berdiri di ambang pintu, menatap ke dalam rumah yang kini terasa sedikit berbeda dari biasanya. Cahaya sore menembus celah jendela, memantul di lantai yang bersih mengilap. Bu Sari yang semula duduk di ruang tamu sontak menoleh. Senyum hangat langsung menghiasi wajahnya.

“Luna, kamu sudah pulang,” Katanya lembut sambil berdiri. Nada suaranya seperti biasa—penuh kasih—namun kali ini ada sedikit kegugupan di baliknya.

Luna melangkah masuk perlahan, menunduk sopan. Pandangannya sempat menyapu ruang tamu yang tampak lebih rapi dari biasanya, sebelum akhirnya berhenti pada sosok yang duduk di sofa utama. Ia baru menyadari—tamu itu adalah Pak Syarif, ketua RT setempat yang cukup disegani di lingkungan desa ini.

Pria paruh baya itu tersenyum ramah begitu melihat Luna. Wajahnya teduh, dengan keriput halus di sudut mata yang menunjukkan kebijaksanaan. Ia meletakkan cangkir teh di meja, lalu menatap Luna dengan pandangan penuh perhatian.

"Luna," Ujar Pak Rendi memecah setengah lamunan Luna. "Duduklah, Nak."

Luna mengangguk, menurut. Ia lalu melangkah pelan dan duduk di sofa lain—tepat di samping Bu Sari yang masih tersenyum lembut di hadapan tamunya.

“Luna,” Ucap Pak Rendi lagi, suaranya lembut tapi terdengar tegas dan terukur. “Ibu dan Bapak sudah mengurusi Kartu Keluarga kamu.”

Luna sontak menoleh, matanya membulat pelan. “Kartu Keluarga...?” Ulangnya lirih, tak yakin ia mendengar dengan benar.

Pak Syarif yang sejak tadi duduk di hadapan mereka tersenyum kecil, mengangguk pelan. “Iya, Nak. Tadi saya dan Bapakmu ini membicarakan soal itu. Sekarang kamu sudah resmi masuk ke dalam Kartu Keluarga mereka. Jadi, kamu secara hukum sudah tercatat sebagai bagian dari keluarga Bu Sari dan Pak Rendi.”

Kata-kata itu membuat Luna terdiam. Dadanya terasa hangat, tapi juga sedikit gemetar. Ada rasa bahagia yang mendesak naik ke tenggorokan, namun belum sempat ia merespons, Bu Sari menggenggam tangannya lembut.

“Pak Syarif kami undang ke sini,” Jelas Bu Sari dengan suara lembutnya yang khas, “karena Bapak ingin mengurus dua hal penting. Yang pertama, soal surat Kartu Keluarga kamu, supaya semuanya resmi dan tidak menunda urusan sekolah atau administrasi lainnya.”

Pak Rendi menimpali dengan anggukan kecil. “Dan yang kedua,” Lanjut Bu Sari, “surat pindah luar kota. Bapak akan ditugaskan ke luar kota beberapa waktu ke depan. Jadi, sebelum kami berangkat, semua berkas harus beres dulu.”

Luna membeku di tempatnya. “Pa... Bapak ditugaskan ke luar kota?” Tanyanya pelan, suara itu nyaris tak terdengar.

Pak Rendi mengangguk pelan, seolah menegaskan hal yang belum sempat diucapkannya tadi. “Iya, Luna… karena penugasan ini cukup lama, kamu juga nanti akan pindah sekolah,” Ucapnya lembut. “Tapi tenang, waktunya setelah ujian kenaikan kelas selesai. Jadi kamu masih bisa menyelesaikan semuanya di sini dulu.”

Luna terdiam. Ucapannya seperti gema yang perlahan tenggelam di telinga gadis itu. Pindah sekolah... kata-kata itu berputar di pikirannya, menimbulkan rasa asing sekaligus sedih yang sulit dijelaskan.

Bu Sari menggenggam tangan Luna lebih erat, senyumnya hangat meski matanya tampak sedikit berkaca. “Ibu tahu, kamu baru saja mulai merasa nyaman di sini, Nak. Tapi percayalah, semua ini bukan hal buruk. Tempat yang baru nanti… bisa jadi awal yang baik untuk kita semua.”

Luna menunduk pelan, menatap jemarinya yang saling menggenggam di pangkuan. Ada sesuatu yang menekan di dadanya—rasa berat yang sulit diungkapkan dengan kata. Ia tidak ingin pergi, bukan karena teman-temannya di sekolah; justru, ada bagian dalam dirinya yang lega bisa menjauh dari Angel dan kawan-kawan yang sering membuatnya merasa kecil dan terasing.

Namun yang membuat hatinya terasa berat adalah hal lain—kenangan. Setiap sudut sekolah, jalan pulang yang ia lalui setiap hari, hingga aroma sore yang menemaninya pulang dengan sepeda tua, semuanya seolah menyimpan jejak Ayah dan Ibu yang telah tiada. Di tempat inilah ia belajar menata ulang hidupnya, belajar berdiri setelah kehilangan, dan mulai percaya bahwa dunia masih punya sisi baiknya.

"Luna, Ibu dan Bapak tidak akan melarang kamu untuk datang kemari, kapanpun... kamu minta untuk kembali, Ibu dan Bapak akan mengantarmu kesini lagi." Ujar Bu Sari, seakan memahami apa yang Luna rasakan dan pikirkan. "Apalagi untuk mengunjungi makam mendiang ayah dan ibumu."

Luna terdiam. Ia tak mungkin merasa tidak berhutang budi pada Bu Sari dan Pak Rendi—dua orang yang telah mengubah jalan hidupnya begitu besar. Mereka bukan hanya menolongnya melewati masa-masa tersulit, tapi juga memberinya sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, tempat untuk pulang. Ia tak mungkin menolak. Detik berikutnya, ia hanya mengangguk tanpa suara.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!