Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 11
Akhirnya, seminggu sudah mereka berada di LN. Pekerjaan mereka cukup menguras tenaga dan emosi, karena ada beberapa orang yang tak mau mengaku dan mencoba kabur. Beruntunglah anak buah Nathan dibantu oleh anak buah Bang Cebol alias Alan, sehingga mereka bisa menangkap semua pelaku.
Besok mereka akan pulang ke Indonesia, jadi hari ini mereka memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati taman Hyde, berselfie ria seperti anak muda yang sedang berkencan di taman yang penuh pesona itu.
Tanpa mereka sadar, mereka telah diawasi dari tempat lain. Dua pria lengkap dengan pakaian serba hitam mendekati Bima dan Regina secara perlahan, seperti bayangan yang menyelinap di balik malam.
"Tuanku, bisa ikut kami," ucap salah satu pria itu.
"Siapa kalian?" tanya Bima, langsung menarik tubuh Regina ke belakang, melindunginya seperti perisai dari ancaman yang tak terlihat.
"Kami orang dari keluarga Wirawan. Mohon kerja samanya, tuan. Jangan mempersulit tugas kami," kata pria itu dengan suara tenang namun tegas.
Regina meremas mantel milik Bima, seolah bertanya-tanya dalam hati, Ada apa sebenarnya ini?
"Hubungi Nathan, minta ia segera menjemput. Ada hal lain yang harus kuurus," ucap Bima pada Regina. Bima ragu meninggalkan Regina, namun ia tetap harus ikut dengan kedua orang suruhan sang kakek, seperti bidak yang ditarik dalam permainan takdir.
Ya, Bima masih memiliki kakek dari keluarga ayahnya, Adam, yakni Kakek Damar Wirawan. Berasal dari keluarga bangsawan, Damar sengaja memutuskan hubungan dengan anak lelakinya, Adam, karena ia menikah dengan Sundari, wanita dari kelas bawah.
Keinginan Damar adalah menikahkan Adam dengan wanita yang juga dari keluarga bangsawan, agar hartanya tak habis dimakan waktu.
Namun, Adam menentang keras. Ia lebih memilih meninggalkan kejayaannya pada saat itu demi meminang sang pujaan hati, seperti mentari yang memilih bersinar untuk satu bunga. Awalnya, Damar hanya mengetes sampai di mana anak lelakinya itu tahan akan kerasnya hidup.
Karena selama ini, Damar selalu memberikan apa pun yang jadi kebutuhan Adam. Namun, Adam tetap kekeh akan pilihannya. Hingga akhirnya, ia datang membawa Bima kecil untuk meminta bantuan pada Damar, sang ayah, agar bisa membantu membiayai Bima.
Ya, Damar setuju, tapi dengan syarat ia harus meninggalkan Sundari, sang istri. Jika membawa semua anaknya, Damar tak masalah, tapi harus meninggalkan Sundari.
Adam tak patah arang. Ia pulang dengan tulang yang seakan lepas dari tubuhnya, menggendong Bima kecil pada saat itu. Ia tak menceritakan hal ini pada Sundari. Ia hanya berkata jika dirinya tidak bertemu dengan keluarganya, menyembunyikan luka di balik senyum palsu.
Adam memilih menjadi buruh di ladang-ladang tetangganya, mengais rezeki dari tetesan keringatnya. Pernah, saat Adam sudah hampir satu bulan bekerja di sebuah proyek, sang mandor malah kabur membawa semua uang pekerja, meninggalkan luka menganga di hati mereka. Dari situlah awal penyakit Adam kambuh, bagai bara yang kembali membakar tubuhnya.
Mulai dari batuk yang tak kunjung sembuh, hingga memuntahkan cairan merah. Obat warung sudah banyak diminumnya, namun tak membuahkan hasil, justru malah bertambah parah.
Sundari berusaha meminjam uang pada saudaranya, termasuk pada Narji dan juga Bulek Darmi, yang bunganya tak masuk akal, bagai lintah yang menghisap darah.
Mau bagaimana lagi, tak ada jalan lain. Sundari pun menyetujuinya, meski hatinya teriris. Uang sudah di tangan, mobil bak terbuka sudah siap untuk membawa Adam ke kota untuk berobat, namun sayang, alam tak merestui. Hujan deras diiringi petir menyambar malam itu, bagai amarah langit yang membuyarkan semua harapan. Semuanya mengurungkan niatnya membantu.
Di sini, Narji dan Darmi bukanlah saudara kandung, melainkan orang-orang yang kebetulan ditolong oleh Adam, sehingga menjadikan mereka seperti keluarga. Sedangkan Sundari sendiri hanya tahu jika keluarga Adam yang asli tinggal di kota sebelah, sebuah kebohongan yang terukir dalam hati.
Sundari tak tahu menahu jika keluarga Adam adalah keluarga bangsawan yang sangat berpengaruh, sampai bisa membuat hidupnya susah seperti ini, bagai benang kusut yang tak berujung. Ya, ini semua ada campur tangan dari Damar, ayah Adam, sang dalang di balik layar.
Malam tiba, ada tamu yang datang entah dari mana, seperti hantu yang muncul dari kegelapan. Saat itu, semua sudah terlelap termasuk Sundari, terbuai mimpi di alam bawah sadar. "Sudah menyerah atau masih lanjut?" tanya pria asing itu lirih tepat di telinga Adam, seperti bisikan iblis yang menggoda.
Damar mendatangi Adam saat ia sudah nyaris meregang nyawa, bagai malaikat maut yang menjemput. Damar berharap Adam menyerah dan kembali ikut dengannya, namun Adam justru menggelengkan kepalanya pelan karena sudah tak punya tenaga lagi, menolak uluran tangan sang ayah.
Damar mengangguk, ia membuka botol kecil dan meminumkannya ke mulut Adam, seperti memberikan racun yang mematikan. Sedetik kemudian, Adam menghembuskan nafas terakhirnya tanpa ada yang tahu malam itu, bagai lilin yang padam diterpa angin. "Inilah yang kamu dapatkan karena membangkang," ucap Damar lirih, seperti kutukan yang abadi.
Acara pengajian di malam hari setelah proses penguburan jasad Adam berlangsung sederhana, bagai rembulan yang bersinar redup di tengah kegelapan.
Tak banyak yang membantu, hanya tetangga kanan kiri saja, karena keterbatasan biaya, menu hanya ala kadarnya, bagai hidangan kesederhanaan di tengah duka yang mendalam.
Akhirnya, kebohongan ini dibawa Adam hingga ke liang lahat, menjadi rahasia abadi yang terkubur bersamanya.
Hanya Bima saja yang tahu jika keluarga sang ayah adalah keluarga berpunya, bagai permata tersembunyi di balik lumpur. Tepat di kota ini, kota LN, tempat sang kakek bersemayam.
Sebenarnya, Bima tahu sang kakek berdiam di negara ini, namun demi menemani sang istri dan menjaga amanah dari mertua juga keluarga istrinya, ia menutup semua dengan rapat, bagai peti mati yang terkunci rapat.
Ya, identitas Bima hanyalah sopir pribadi Pak Adhi, ayah dari Regina, dan juga anak dari janda tua bernama Sundari, itu saja, tak ada yang lain, bagai topeng yang menutupi wajah aslinya.
Bima segera dibawa paksa oleh anak buah sang kakek, bagai burung yang terlepas dari sangkar.
Sementara itu, Regina ditahan oleh Nathan dan Meghan, yang berusaha membujuknya yang sudah menangis histeris, bagai sungai yang meluap karena bendungannya jebol.
Bima, yang tak tega melihat penderitaan istrinya, meminta waktu sebentar pada kedua algojo itu, bagai memohon belas kasihan pada malaikat maut.
Bima berlari mendekati istrinya, memeluk dan menciumi pucuk kepalanya seolah takkan pernah bisa bertemu lagi, bagai mentari yang memeluk bumi sebelum malam tiba. "Pulang ya, aku janji setelah ini selesai aku juga pulang. Jaga dirimu baik-baik," ucap Bima pada Regina, bagai janji seorang ksatria yang akan kembali dari medan perang.
Regina menggelengkan kepalanya, air mata terus mengalir membasahi pipinya. "Pulang bersamaku, kita berangkat bersama. Kalau aku tahu ini akan terjadi, lebih baik kubiarkan saja perusahaan ini hancur," ucap Regina terisak, bagai ranting yang patah diterpa badai.
Bima menggeleng pelan, mencoba menenangkan istrinya. "Kamu wanita kuat, wanita hebat. Tetaplah kuat meski kita jauh, tunggu aku ya," ucap Bima, mengecup lama kening Regina, bagai memberikan kekuatan terakhirnya. "Aku mencintaimu, Regina," kata terakhir yang diucapkan Bima tepat di telinganya, bagai melodi indah yang menusuk kalbu, membuat Regina mematung, tak mampu berkata apa-apa.
Ia hanya bisa menatap dari jauh kepergian sang suami yang dibawa paksa oleh dua orang yang tak dikenal, bagai mimpi buruk yang menjadi kenyataan.
Keesokan harinya, tepat pukul sembilan pagi, Regina sudah berada di Bandara Heathrow, London, bagai anak panah yang siap melesat kembali ke busurnya. Meghan dan Nathan mengantar kepergian Regina dengan mata yang sembab. Regina memeluk tubuh keduanya dan berpamitan.
Delapan belas jam perjalanan yang Regina tempuh terasa begitu panjang karena adanya penundaan, bagai lorong waktu yang tak berujung. Kedua kakak laki-laki Regina sudah menunggu di bandara, menjemput nona kecil mereka dengan penuh kerinduan. Regina langsung memeluk erat tubuh keduanya, seolah melepaskan sesak di dadanya karena kehilangan suami di negeri orang, bagai beban berat yang akhirnya bisa ia lepaskan.
Rizky dan Alan paham betul apa yang dirasakan Regina, mereka tak ingin menambah kepedihan di hati sang adik, bagai luka yang tak ingin mereka sentuh. Mereka menggandeng lengan Regina, dengan posisi Regina di tengah, bagai perisai yang melindunginya dari dunia luar. Sedangkan barang milik Regina dibawa masing-masing oleh Rizky dan Alan, bagai ksatria yang siap melindungi putri mereka.
Baru beberapa langkah, pandangan Regina buram dan brukk... Regina tak sadarkan diri, bagai bunga yang layu sebelum mekar. Alan dengan sigap menggendong tubuh Regina, bagai pangeran yang menyelamatkan putrinya. Sementara Rizky mengurus semuanya dengan cekatan, bagai komandan yang mengatur strategi.
Bukan Upik Abu
Jangan lupa tinggakan jejak di kolom komentar, like mu semangat ku 🩷