"Awas ya kamu! Kalau aku udah gede nanti, aku bikin kamu melongo sampai iler kamu netes!" teriak Mita. 
" Hee… najisss! Ihh! Huekk" Max pura-pura muntah sambil pegang perut. 
Maxwel dan Mita adalah musuh bebuyutan dari kecil sayangnya mereka tetangga depan rumah, hal itu membuat mereka sering ribut hampir tiap hari sampai Koh Tion dan Mak Leha capek melerai pertengkaran anak mereka. 
Saat ini Maxwel tengah menyelesaikan studi S2 di Singapura. Sementara Mita kini telah menjadi guru di sma 01 Jati Miring, setelah hampir 15 tahun tidak pernah bertemu. Tiba-tiba mereka di pertemukan kembali. 
Perlahan hal kecil dalam hidup mereka kembali bertaut, apakah mereka akan kembali menjadi musuh bebuyutan yang selalu ribut seperti masa kecil? Atau justru hidup mereka akan berisi kisah romansa dan komedi yang membawa Max dan Mita ke arah yang lebih manis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Herman tidak seburuk itu
Ciitt... mobil berhenti mendadak.
"Gila ya kamu, Mit! Teriak-teriak gitu do, kuping aku bisa budeg!" bentak Max, menahan emosi.
"Iyaa kenapa? Segila-gilanya aku, mulut kamu tuh lebih gila! Dari dulu kalau ngomong gak pernah mikir!" sahut Mita sengit, lalu buru-buru membuka pintu dan keluar dari mobil.
Dia memilih berjalan di tanah pinggiran jalan, bukan di aspal. Biar saja tuh si Max kalau mau ngikutin.
Tinnnn...!!!
Suara klakson motor mengejutkan Mita. Sekilas dia mengira Max yang sengaja ngejek lagi, tapi ternyata mobil itu justru melaju meninggalkannya.
"Bu Mita, sendirian aja?" sapa Herman, guru baru yang baru masuk hari ini (anaknya Bu Fatma). Motor PCX hitamnya berhenti pas di samping Mita.
"Mau ikut sekalian? Kebetulan saya mau ke toko bangunan" tawarnya ramah.
Mita sempat berpikir sebentar, lalu mengangguk. Herman sigap membuka step belakang, Mita pun naik dengan duduk menyamping.
"Sudah, Bu Mita?" tanya Herman sambil menoleh sebentar.
"Udah, Pak."
Brummm... motor melaju dengan kecepatan sedang. Angin sore menerpa wajah Mita, sementara Herman mencoba membuka obrolan.
"Bu Mita, maafin bunda saya ya... kalau suka jodoh-jodohin kita."
Mita tersenyum tipis. "Iya, gak apa-apa kok, Pak."
Dulu, sebelum bertemu langsung, Mita sempat mengira Herman tipe laki-laki caper, tukang gombal, dan agak... udik. Apalagi setelah lihat foto yang dikasih Bu Fatma, yang ternyata foto lima tahun lalu.
Apaan coba? Foto kadaluarsa gitu disodorin ke aku. Kan bikin salah paham duluan.
Herman kembali bicara, suaranya lebih pelan.
"Saya juga sebenarnya gak enak hati sama ibu. Jadi, anggap aja omongan bunda saya angin lalu."
Mita menoleh. "Memangnya kenapa sih, Bu Fatma pengen banget nyariin Bapak jodoh?" tanyanya penasaran.
"Eumm..." Herman sempat diam, jelas terlihat sedang menimbang kata-katanya.
"Saya dulu pernah trauma sama perempuan" ucapnya akhirnya.
"Trauma?" dahi Mita langsung berkerut.
"Saya dulu hampir menikah" Herman menarik napas panjang. "Tapi batal... gara-gara calon istri saya ternyata mengandung anak orang lain."
Mita sontak terkejut, sampai refleks menutup mulut dengan sebelah tangan.
"I-ini beneran ya, Pak? Bukan bercanda?"
Herman terkekeh kecil. "Iya, Bu Mita. Ini asli, bukan rekayasa."
Mita menghela napas, lalu menggeleng tak percaya. "Astaga... maaf ya, saya kira yang begitu tuh cuma ada di sinetron ikan joget."
"Hahaha! Bu Mita ini pandai ngelawak juga ternyata" Herman menimpali sambil tertawa kecil.
Mita ikut terkekeh menanggapinya, hingga akhirnya motor berhenti pas di depan rumah Mita. Ia pun turun.
"Makasih ya, Pak Herman, udah nganterin saya sampai sini."
"Iya, Bu Mita. Sama-sama."
Dari kejauhan, tepat di balik kaca mobil yang terparkir di luar pagar rumah, Max menajamkan pandangannya. Tatapannya dingin, melihat jelas Mita yang turun sambil tersenyum bahkan tadi sempat tertawa bersama Herman.
"Kan apa gue bilang..." gumam Max, rahangnya mengeras.
“Dasar ulat bulu kamu, Mita.”
Setelah mengantar Mita pulang, Herman langsung melajukan motornya ke toko bangunan yang ada di depan jalan. Motor PCX hitam itu berhenti rapi di parkiran. Dengan senyum ramah, ia melangkah masuk.
“Permisi, Bang. Saya mau cari kepala regulator sama paku ukuran lima senti,” ucapnya sopan pada karyawan toko.
"Baik, Pak" jawab si karyawan, lalu mengambilkan barang yang diminta. Setelah belanjaannya terkumpul, Herman menuju kasir.
Namun langkahnya terhenti sejenak saat melihat siapa yang duduk di kursi kasir. Max. Lelaki itu tampak bersedekap dada, menatapnya dengan tatapan tajam penuh sinis.
Herman mencoba tetap tenang, meletakkan belanjaannya di atas meja.
"Ini, Mas."
Max dengan santainya memindai barang, lalu berkata ketus, "empat ratus ribu."
Herman langsung terbelalak. "Apa? Empat ratus? Perasaan saya cuma beli regulator sama paku, deh."
Max mengangkat alis, wajahnya datar. "Kalau gak mau ya udah. Beli aja di toko lain."
Herman terdiam. Ada rasa janggal, tapi dia memilih tak memperpanjang masalah. Sambil menghela napas, ia membuka dompet, mengeluarkan empat lembar uang merah muda, lalu menyerahkannya ke Max.
"Nih, Mas. Makasih, ya."
Transaksi selesai, Herman pun membawa belanjaannya keluar. Langkahnya tegap, seakan tak terusik dengan sikap Max.
Begitu pintu toko tertutup, Max masih menatap tajam ke arah punggung Herman yang menjauh. Rahangnya mengeras, jemari tangannya mengetuk meja kasir pelan.
"Hhh… Jadi tipe Mita yang begitu, ya?" gumamnya pelan. Sebuah smirk muncul di sudut bibirnya, penuh sindiran.
"Jelek banget."
.
.
.
Mita baru saja selesai membersihkan wajahnya. Tapi begitu menatap bayangan sendiri di cermin, perkataan Max tadi siang kembali berputar di kepalanya.
:Dasar Maxwel cucu nek lampir! Huh!" gerutunya sambil menghentakkan botol milk cleanser ke meja rias sampai berbunyi tuk!.
Dengan langkah berat penuh decakan, ia keluar dari kamar. Mak Leha yang sedang sibuk di dapur langsung menoleh, alisnya mengerut.
"Walah… mood-nya belum balik rupanya" gumamnya sambil menuangkan peyek yang baru matang ke dalam toples besar.
Mak Leha memang terkenal sebagai pembuat peyek paling laris di kampung Jati Miring. Hampir setiap hari ada saja yang pesan, bisa sampai 15 kilo. Dengan harga 25 ribu per kilo, lumayanlah jadi tambahan penghasilan. Lagipula, sampai sekarang belum ada yang bisa menyaingi rasa peyek Mak Leha. gurihnya pas, renyahnya tahan lama.
Melihat wajah anaknya yang masih manyun, Mak Leha menggeleng kecil.
"Mita… jangan merengut terus. Takut mamak liatnya, kayak orang baru dimarahi seisi kampung."