Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Bab 11
Kamar hotel itu luas dan mewah, dengan satu ranjang king-size di tengah ruangan, lampu gantung berkilau, dan sebuah sofa panjang di dekat jendela. Revana masuk pelan-pelan, matanya langsung tertuju ke arah ranjang besar itu. Dadanya terasa sesak memikirkan kemungkinan yang tidak-tidak.
Adrian dengan tenang melepas jasnya, menggulung lengan kemejanya, lalu berjalan ke arah sofa.
“Revana, Kamu tidur saja di kasur. Aku akan tidur di sofa.”
Revana menoleh cepat, wajahnya tegang.
“Apa? Tidak bisa begitu. Bapak yang seharusnya tidur di kasur, bukan saya.”
Adrian meletakkan jasnya di sandaran sofa, menatapnya sekilas dengan senyum samar.
“Kamu sekretarisku, tugasku memastikan kau fit dan nyaman untuk besok. Kalau kamu tidur di sofa, kamu bisa sakit punggung. Itu justru akan menyusahkan pekerjaanku.”
“Tapi Bapak itu atasan saya. Harusnya saya yang mengalah.” Balas Revana.
Adrian menyandarkan tubuhnya ke sofa, melipat tangan di dada dengan ekspresi santai.
“Kalau kamu ingin membantuku, ikuti saja perintahku. Tidur di kasur.”
Revana menggertakkan giginya, masih belum mau menyerah.
“Saya tidak nyaman, Pak. Bagaimanapun, lebih baik Bapak yang tidur di kasur.”
Adrian mencondongkan tubuh, matanya menatap lurus pada Revana.
“Revana… aku sudah bilang aku tidak akan macam-macam. Jadi berhenti keras kepala. Anggap saja ini perintah kerja.” kata Adrian tenang, tapi penuh tekanan.
Revana terdiam. Sorot mata Adrian membuatnya sulit membantah, meski wajahnya masih memerah menahan kesal.
“Kenapa sih Bapak selalu saja keras kepala dan mau menang sendiri?” gumam Revana lirih.
Adrian tersenyum tipis, lalu berbaring santai di sofa.
“Karena aku tidak mau kalah denganmu, kamu harus menurut apa yang aku mau.”
Revana mendengus, meletakkan tasnya dengan keras di meja kecil, lalu naik ke ranjang sambil membelakangi Adrian. Ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.
Dalam hati Revana terus menggerutu. “Dasar menyebalkan… tapi entah kenapa aku merasa sedikit lega.”
Sementara itu, Adrian menutup mata di sofa, senyum kecil masih tersisa di bibirnya.
“Dia juga Keras kepala, tapi itu yang membuatmu berbeda dari yang lain, Revana.” batin Adrian
Malam kian larut. Lampu kamar hotel meredup, hanya menyisakan cahaya lembut dari lampu meja di sudut ruangan. Revana berulang kali membolak-balikkan tubuhnya di ranjang, matanya tetap terjaga. Pikiran tentang satu ruangan dengan Adrian membuatnya gelisah.
Akhirnya, ia bangkit perlahan. Tatapannya tertuju pada Adrian yang sudah tertidur di sofa, wajahnya terlihat tenang untuk pertama kali. Garis rahang tegas, alis yang rapi, hingga nafas teratur yang naik-turun di dadanya, semua terlihat begitu menawan.
Revana menghela napas kecil, lalu mengambil sebuah selimut tipis dari lemari. Dengan langkah hati-hati, ia menghampiri sofa. Ia menunduk, perlahan membentangkan selimut itu di atas tubuh Adrian.
Namun, bukannya segera kembali, pandangan Revana justru terpaku. Ada sesuatu yang aneh, dari jarak dekat, ia baru menyadari betapa tampannya pria itu. Aura dingin dan tegas yang biasanya membuatnya kesal kini tampak berbeda.
Dalam hati Revana bergumam.
“Kenapa… bahkan saat tidur pun dia tetap terlihat begitu…”
Belum selesai Revana meneruskan kalimat di batinnya, Tiba-tiba, sepasang mata terbuka. Tatapan gelap Adrian langsung bertemu dengan mata Revana.
“A-astaga!”
Revana terlonjak kaget, tubuhnya mundur terburu-buru, namun kakinya tersandung ujung karpet. Hampir saja ia terjatuh ke lantai.
Adrian dengan refleks meraih tangan Revana. Tubuh Revana kehilangan keseimbangan dan terhempas tepat di atas tubuh Adrian yang kekar.
Waktu seolah berhenti.
Revana membeku, kedua tangannya bertumpu di dada bidang Adrian. Jarak wajah mereka hanya sejengkal. Nafasnya tercekat, detak jantungnya berpacu liar.
Adrian menatapnya lekat-lekat, sorot matanya penuh arti, setengah geli, setengah menantang. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
“Kalau ingin menatapku dari dekat… katakan saja. Tak perlu pura-pura memberiku selimut.” suara Adrian rendah dan serak.
Revana terbelalak, langsung saja ia panik “Si—siapa yang menatap?! Saya cuma… cuma…”
Ia terbata, wajahnya memerah. Berusaha bangkit, namun genggaman Adrian pada tangannya masih kuat menahan.
“Hati-hati, Revana. Kalau kamu terus salah tingkah seperti ini… aku bisa salah paham.”
Tatapannya menajam, membuat Revana makin gugup. Dengan cepat ia menarik tangannya, lalu bangkit terburu-buru sambil mengalihkan pandangan.
“Menyebalkan! Bapak sengaja ya pura-pura tidur…” Revana mendesah kesal.
Adrian terkekeh pelan, lalu kembali merebahkan diri di sofa kembali.
“Selamat malam, Revana. Tidurlah. Kamu butuh energi untuk besok.”
Revana bergegas naik ke ranjang, menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Tapi di balik itu, pipinya masih panas, dan jantungnya tak kunjung tenang.
Sementara Adrian menutup mata, senyum samar masih tersisa di bibirnya.
“Ya Tuhan… dia semakin sulit untuk tidak kuinginkan.” batin Adrian.
☘️☘️
Setelah Adrian pergi keluar kota, dan kedua anaknya memilih menginap di rumah oma opanya, suasana rumah besar itu menjadi hening. Namun keheningan itu tidak membuat Nadya merasa kesepian. Justru ada senyum puas yang muncul di bibirnya.
“Ah, akhirnya… beberapa hari ini aku bebas. Nggak ada Adrian yang sok mengatur, nggak ada anak-anak yang bikin ribet. Waktunya aku menikmati hidupku sendiri.” gumam Nadya sambil bercermin.
Tanpa menunggu lama, Nadya meraih ponselnya. Jari-jarinya lincah membuka grup chat bersama teman-teman sosialitanya.
Nadya mengetik cepat.
📱 “Girls, tonight’s the night. Kita ke bar langganan yuk. Aku traktir. 🍸✨”
Notifikasi balasan bermunculan. Semuanya antusias.
Nadya pun langsung menuju lemari pakaian. Dia memilih gaun mini berwarna merah marun yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Riasan tebal ia poleskan di wajah, bibirnya dipulas merah menyala. Aroma parfum mewah menguar memenuhi kamar.
Tak ada sedikit pun bayangan tentang suaminya yang sedang bekerja keras di luar kota, atau anak-anaknya yang tengah riang bersama oma dan opa. Dunia Nadya hanya tentang dirinya sendiri.
Malam itu, mobil mewah Nadya melaju menuju bar ternama di pusat kota. Musik berdentum, lampu neon berwarna-warni menyambutnya. Di dalam, beberapa temannya sudah menunggu, gelas cocktail sudah di tangan masing-masing.
“Nadya! Akhirnya kamu bisa keluar malam juga ya, suami dan anak-anak lagi nggak ada. Perfect timing!” ujar salah satu dari mereka.
Nadya menyeringai, lalu duduk anggun di kursi bar.
“Kalian pikir aku bakal buang-buang waktu sendirian di rumah? Please. Hidup terlalu singkat untuk disiksa pernikahan membosankan. Malam ini, kita bersenang-senang!”
Gelak tawa mereka pecah, bartender segera menyajikan minuman favorit Nadya. Musik makin kencang, suasana makin liar. Nadya larut, menari dan tertawa, seolah melupakan bahwa dirinya adalah seorang istri sekaligus ibu.
Musik makin menghentak, lampu warna-warni berputar, dan aroma alkohol bercampur parfum memenuhi udara. Nadya sudah melepas jaket tipisnya, gaun merahnya kini makin mencolok di bawah cahaya bar. Gelas demi gelas cocktail berpindah ke tangannya, tawanya makin lepas, matanya berbinar bukan karena bahagia… melainkan karena mabuk euforia.
Bella salah teman dekat Nadya, setengah berteriak di tengah musik.
“Nadya! Kamu gila banget malam ini. Udah lama banget kita nggak party kayak gini!”
Nadya tertawa keras, menenggak minumannya.
“Hahaha! Finally, Bella! Hidupku membosankan banget di rumah. Aku butuh ini, aku butuh kebebasan.!”
Mereka menari, bergoyang tanpa peduli waktu. Beberapa pria asing mencoba mendekat, menawarkan minuman, bahkan ikut menari bersama. Nadya menanggapinya dengan tawa genit, meski Bella sesekali menarik tangannya agar tidak terlalu jauh terbawa suasana.
Jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Bar mulai sedikit lengang, tapi Nadya dan Bella masih di sana, menutup meja dengan botol wine terakhir.
Bella menahan kepala Nadya yang mulai berat.
“Hey, cukup Nad. Kamu nggak bisa pulang sendirian. Kamu Udah parah banget.”
Nadya dengan mata sayu, berbicara terbata
“Aku nggak mau pulang… nggak ada siapa-siapa di rumah… aku ikut kamu aja malam ini.”
Bella mendesah, lalu mengangguk.
Sekitar pukul 3 pagi, Bella akhirnya membawa Nadya ke apartemennya yang modern di pusat kota. Dengan susah payah, ia membantu Nadya berjalan masuk. Nadya terjatuh di sofa, masih mengenakan gaunnya.
Bella meletakkan tas Nadya di meja.
“Besok pagi kamu pasti nyesel, karena terlalu mabuk, Tapi ya sudahlah, malam ini kamu tidur di sini. Kamar tamu ada, tapi kayaknya kamu udah nggak bisa jalan ke sana.” Gumam Bella
Nadya memejamkan mata, walaupun dia sudah mabuk, tapi ia masih bisa mendengarkan ucapan Bella.
“Aku kehilangan masa mudaku karena menikah dengan Adrian Bel...sekarang aku harus nikmati hidupku yang hilang kembali..”
Tak lama kemudian, Nadya terlelap di sofa, meninggalkan sisa parfum mahal dan aroma alkohol di udara apartemen Bella.
...☘️...
...☘️...
...☘️...