Mess Up!
Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.
Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 10 Setajam Pisau
***Warning*! Adegan Sensitif!**
Orangtua Lya bukan berasal dari keluarga terpandang, namun juga bukan dari golongan yang terbelakang. Seharusnya mereka bisa hidup layaknya keluarga normal, andai saja sang Ayah tidak terjebak dalam harga diri yang terlalu tinggi—harga diri yang menjadikannya keji, memaksa anaknya untuk mengangkat derajatnya. Beliau selalu berkata semua yang ia lakukan semata-mata demi mereka sendiri, namun Lya tidak dapat berpikir demikian.
Sejak memasuki sekolah menengah pertama, tekanan yang ia terima semakin berat. Melihat Anna, kakaknya, dianggap tak lagi punya harapan, sang Ayah justru beralih dan menumpahkan seluruh ambisi pada Lya. Harapan itu berubah menjadi belenggu, merampas kebebasannya—meski sesungguhnya, sejak awal Lya memang tak pernah benar-benar memilikinya.
”Maafkan aku, Lya... Karena aku, Ayah jadi seperti ini padamu. Aku akan berusaha dan memperbaiki situasi agar kamu tidak perlu menanggung ekspektasi tinggi dari Ayah. Bersabarlah, Lya. Kakak berjanji.”
Itulah kalimat yang sering Anna lontarkan pada Lya. Awalnya, Lya percaya. Setiap kali ia menangis karena dimarahi Ayah, setiap kali pundaknya gemetar oleh rasa takut, kata-kata Anna selalu menjadi pelindung kecil. Kalimat itu terdengar seperti janji bahwa semua beban ini akan berakhir, bahwa Anna akan menebus semuanya dengan caranya sendiri.
Namun seiring waktu, kata-kata itu kehilangan makna. Bagi Lya yang setiap hari terus menerima bentakan sang Ayah tanpa alasan, permintaan maaf itu justru terdengar seperti alasan kosong. Anna hanya bisa meminta maaf, sementara Ayah semakin keras menuntut. Hingga suatu malam, setelah nilai ulangannya tidak sempurna—mendekati angka merah karena Lya yang sempat tidak enak badan ketika ujian—dan Ayah mendapati lembar jawabannya penuh coretan merah, amarah pun meledak. Lya dipukul—tamparan keras yang meninggalkan perih bukan hanya di pipi, tapi juga di hatinya.
Tangan besar milik Ayahnya yang mendarat tanpa ampun di pipi membuat kepalanya sempat merasa pusing. Ia terhuyung, namun matanya masih bisa melihat sekeliling, menatap penuh mohon pada Ibunya yang seperti biasa hanya diam—menyeruput teh dicangkirnya—sedangkan Anna, ia berdiri mematung di ambang pintu ruang tamu—menutup mulut penuh kejut—tanpa bisa melakukan apa pun.
“Jangan ulangi kegagalan kakakmu!” bentak Ayah. Kalimat itu menancap lebih tajam dari tamparan itu sendiri. Setelah itu, Lya segera berlari ke kamar yang langsung disusul oleh Anna.
Di kamar, Anna kembali mencoba menenangkan. Senyumnya lembut, tangannya berusaha menyeka air mata Lya yang telah mengalir sekaligus mengusap pipinya yang memerah akibat tamparan.
”Sepertinya Ayah lebih temperamental hari ini karena mendapat kabar anak dari teman kerjanya baru saja diterima di perusahaan besar... Maafkan Kakak, ya Lya... Padahal kamu sudah berusaha keras meski sedang sakit saat mengerjakan ulangan ini...”
”Bersabarlah sebentar lagi... Kakak akan berbicara pada Ayah, Kakak akan segera lulus dan memenuhi keinginan Ayah... Dengan begitu, kau bisa bebas melakukan apapun... Hmm?”
Tapi malam itu, Lya sudah terlalu muak. “Berhentilah, Kak! Kata-katamu tidak mengubah apa pun. Semua ini terjadi karena kau terus membuang-buang waktu! Kalau saja kau tidak mengecewakan Ayah, aku tidak akan hidup seperti ini!”
Seketika wajah Anna memucat. Senyumnya kaku, matanya bergetar, namun ia tetap berbisik dengan suara serak, “Kau benar... Maafkan aku, Lya…” Sekali lagi, hanya itu yang dapat keluar dari bibir Anna sehingga membuat Lya frustasi.
“Kau tahu? Semakin lama kau terdengar seperti mesin yang hanya bisa meminta maaf. Menyebalkan! Pergi! Aku tidak mau melihatmu lagi!” teriak Lya, suaranya pecah. Usianya yang baru beranjak pubertas membuat emosi sulit ia kendalikan. Semua amarah ia lepaskan tanpa memikirkan apa pun, hanya ingin berteriak sampai lehernya terasa perih.
Sebagai pelampiasan terakhir, Lya mendorong tubuh Anna keluar dari kamarnya, lalu membanting pintu dengan keras di hadapan kakaknya. Ia tak menyadari, di lorong gelap itu, mata Anna sudah kehilangan sinarnya.
Malam itu berakhir dengan keheningan. Lya terisak di balik bantalnya hingga akhirnya tertidur, sementara di luar kamar, Anna yang sempat berdiri lama di lorong remang dan menatap kosong punggung pintu kamar Lya kini melangkah perlahan ke kamarnya sendiri tanpa sepatah kata.
Pagi harinya, suasana rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Ayah sudah berangkat kerja dengan wajah tegang, Ibu sibuk di dapur tanpa benar-benar memperhatikan siapa pun. Lya duduk di meja makan, masih kesal, menolak menoleh ke arah Anna yang tengah menyeduh teh di sudut dapur.
“Lya,” suara Anna terdengar pelan. Gadis itu menoleh sekilas, menunggu kelanjutan kata-kata yang keluar. Anna meletakkan cangkirnya, lalu menatap Lya dengan senyum tipis. “Ayo, hari ini kita keluar berdua. Tidak perlu melakukan apa-apa… hanya berjalan-jalan saja. Kau mau, kan? Besok Kakak, kan harus kembali ke kota rantau.”
Lya terdiam. Bagian dalam dirinya masih ingin menolak, masih dikuasai sisa amarah semalam. Namun tatapan kakaknya begitu lembut—lelah, tapi hangat—hingga sulit ia sangkal. Ia hanya mengangguk singkat, pura-pura acuh, padahal hatinya sedikit bergetar oleh nada mendesak yang tak biasa dari Anna.
Mereka pun berangkat. Tidak ada tujuan jelas, hanya berjalan di trotoar yang ramai, berhenti di warung kecil untuk makan tanpa banyak bicara. Anna lebih sering memandangi Lya daripada menelan makanannya. Ada sesuatu dalam tatapan itu—seakan-akan ia sedang menghafalkan setiap detail wajah adiknya, seperti takut melupakannya suatu hari nanti.
”Selesai makan, bagaimana kalau kita ke pantai yang sering kita datangi bertiga? Sudah lama, kan tidak ke sana? Leo sudah kuajak tapi dia tidak bisa datang karena sibuk mempersiapkan wisuda dan lamaran kerja, hahaha.”
Lya berhenti sejenak dari aktivitasnya saat ini sebelum menjawab dengan dingin, ”Terserah.”
“Baiklah, sudah diputuskan! Mari kita habiskan waktu berdua saja hari ini!” sahut Anna dengan nada riang yang terdengar agak dipaksakan.
Tak lama kemudian, Anna memesan mobil daring. Ia membuka pintu untuk Lya, lalu ikut duduk di sampingnya setelah memastikan adiknya masuk lebih dulu. Sepanjang perjalanan, mereka tidak banyak bicara—hanya ditemani suara mesin yang berdengung dan musik pelan dari radio sopir.
Jalanan kota perlahan berganti dengan pemandangan perbukitan kecil, sawah yang terhampar, lalu deretan pepohonan yang menutup langit. Butuh hampir satu jam sebelum aroma asin laut mulai merasuk lewat jendela yang terbuka.
“Masih ingat, kan?” tanya Anna sambil menatap keluar, suaranya pelan, seakan sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Dulu kita berdua sering merengek pada Leo, minta mampir ke sini setiap kali ada libur panjang.”
Lya hanya menanggapi dengan anggukan singkat.
Begitu tiba, Anna membayar ongkos, lalu mereka turun. Angin laut langsung menyapu wajah, membawa serta bau asin yang khas. Hamparan pasir terbentang luas, sementara debur ombak bergantian datang menyambut.
Anna melepas sepatunya dan menggulung celana panjangnya, berlari kecil ke arah pantai. Ia sempat menoleh, melambaikan tangan sambil tertawa riang. “Ayo, Lya! Mari kita buat hari ini seakan kita anak kecil lagi!”
Lya berjalan perlahan, menatap sosok kakaknya yang tampak begitu bebas diterpa cahaya senja. Ada sesuatu pada punggung Anna saat itu—sebuah kesan yang sulit dijelaskan—rapuh, sekaligus seperti sedang berpamitan hanya saja, Lya masih terlalu buta untuk menyadari itu semua.
Begitu kakinya menyentuh pasir, Anna menghirup udara dalam-dalam, seakan ingin menyimpan aroma laut itu di ingatannya. Ia berlari kecil menuju ombak yang datang menyapu, lalu menoleh sambil tersenyum lebar ke arah Lya. “Rasanya segar sekali. Aku hampir lupa betapa tenangnya tempat ini.”
Lya hanya menatap dari jauh. Ada kehangatan samar di dadanya, namun rasa kesal yang tersisa membuat ia memilih diam. Langkahnya pelan, meninggalkan jejak rapi di pasir basah sebelum akhirnya berhenti di samping Anna.
Mereka berdiri bersebelahan, membiarkan air laut menyentuh pergelangan kaki. Matahari condong ke barat, mewarnai langit dengan semburat jingga yang indah.
“Tahu tidak, Lya?” suara Anna nyaris tenggelam oleh debur ombak. “Kalau aku bisa memilih, aku ingin hari-hari kita selalu seperti ini. Tanpa Ayah yang marah, tanpa Ibu yang tidak pernah peduli, tanpa beban, hanya kita berdua… bersama laut.”
Lya melirik sekilas, tapi kembali menatap ke horizon. “Kakak terlalu banyak bermimpi,” gumamnya dingin.
Anna tersenyum kecil, meski matanya basah oleh cahaya senja. Ia menoleh pada adiknya, lalu berkata dengan suara lirih namun mantap, “Maafkan Kakak, Lya… untuk semuanya. Kau mungkin tidak ingin mendengarnya lagi, tapi aku hanya ingin kau tahu—aku benar-benar menyesal.”
Lya menarik napas, tapi tak menjawab. Hanya ada hening, hanya ombak yang menjawab bagi mereka berdua.
Saat itu, angin bertiup lebih kencang, menerbangkan helai rambut Anna yang terurai. Sesaat, wajahnya tampak tenang—terlalu tenang, hingga Lya tidak menyadari bahwa senyum itu sebenarnya adalah salam perpisahan yang tidak pernah terucap.
***
Keesokannya, Anna tanpa pamit telah kembali ke kota rantau. Lya tidak peduli. Ia menjalani hari-harinya seperti biasa. Belajar, tidak bermain, dan kembali belajar. Hingga suatu pagi, kabar bahwa hari wisuda Leo sudah tiba membuatnya harus ikut berangkat ke kota tempat Anna tinggal.
Ia sebenarnya enggan, tapi Ayah dan Ibu menyuruhnya hadir—bukan untuk merayakan, melainkan untuk menjaga citra keluarga di mata keluarga Leo yang berada. “Jangan membuat malu,” pesan Ayah dengan nada dingin.
Setibanya di kota, Lya mencoba menghubungi Anna, berharap mereka bisa berangkat bersama menuju acara wisuda. Namun panggilannya tak pernah diangkat, pesannya pun tak berbalas. Sambil mengeluh pelan, ia akhirnya memutuskan untuk langsung menuju tempat tinggal kakaknya.
Siang itu suasana kos terasa sepi, lorong-lorong sunyi membuat langkah Lya semakin berat. Ia berhenti di depan pintu kamar Anna, mengetuk tiga kali. Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, lebih keras, bahkan berulang kali, namun tetap hening. Lya menunduk sebentar, mengecek ponselnya, tapi layar tetap kosong tanpa notifikasi apa pun.
Perasaan ganjil mulai merambat. Napasnya tercekat, jantungnya berdegup tak menentu. Dengan ragu, ia menggenggam knop pintu—sekadar untuk mencoba. Dan betapa terkejutnya Lya ketika knop itu bergerak lancar, pintu ternyata tidak terkunci.
Pintu berderit perlahan saat ia dorong, dan seketika hawa pengap bercampur bau aneh menyeruak keluar. Aroma itu membuatnya menutup hidung dengan refleks, tubuhnya menegang, tatapannya menyapu ke dalam ruangan yang remang.
“...Kak Anna?” panggilnya pelan.
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekik.
Lya melangkah setapak masuk, lututnya gemetar. Tirai jendela tertutup rapat, hanya menyisakan cahaya tipis yang menyusup. Di tengah ruangan, matanya akhirnya menangkap sosok yang membuatnya membeku seketika—Anna, tergantung dalam diam, tubuhnya kaku, wajahnya pucat tanpa kehidupan.
Tenggorokan Lya tercekat sebentar sebelum akhirnya teriakan pun meluncur, melengking, mengguncang seluruh lorong kos yang sunyi.
“Kak Annaaaa!!”
Teriakan Lya menggema panjang, memecah kesunyian kos yang selama ini terasa mati. Pintu-pintu kamar lain langsung terbuka, para penghuni berlarian keluar. Beberapa mendekat, ikut terkejut melihat hal mengerikan dari dalam kamar Anna. Dalam hitungan detik, semua menjadi heboh. Yang lain berlari mencari pengurus kos, ada pula yang segera menelpon polisi dan ambulance.
“Ya Tuhan…” bisik seseorang sambil menutup mulutnya.
Lya tidak mendengar apa pun selain detak jantungnya yang berpacu liar serta suara teriakannya yang menyakiti tenggorokan. Berkali-kali ia ingin mendekati jasad yang tergantung itu, namun anak kos lain menahan tubuhnya, berusaha menjauhkan Lya dari kamar tersebut dengan panik. Tangis Lya terus pecah, tubuhnya bergetar hebat hingga sulit bernapas.
Lya tidak tahu yang terjadi setelah itu. Seperti potongan film yang dilewati begitu saja, tiba-tiba ia dan keluarganya sudah berdiri di pemakaman, mengiringi kepergian Anna. Langit kelabu menggantung, seolah ikut meratap. Bau tanah basah bercampur wangi bunga menyesakkan dada Lya. Ia berdiri kaku di samping pusara, menggenggam tanah sebelum menjatuhkannya ke gundukan baru. Jemarinya gemetar, bibirnya bergetar tanpa suara.
Di sekelilingnya, ucapan belasungkawa dan isak tangis terdengar sayup-sayup, namun tak benar-benar sampai ke telinganya. Semuanya hanya gema jauh yang terpantul tanpa makna. Pandangannya kosong menatap batu nisan sederhana yang baru berdiri, seakan menegaskan garis akhir yang tak bisa diubah.
Sesekali Lya mendongak, menatap langit yang berat, lalu kembali menunduk. Perasaannya remuk, tapi di balik semua itu, ada satu kalimat yang terus menghantui—kata-kata kasar yang ia teriakkan pada Anna malam terakhir mereka bersama. Kata-kata yang kini menjadi penyesalan abadi.
Malam-malam berikutnya, penyesalan itu semakin menggerogoti. Setiap kali menutup mata, Lya melihat kembali sosok Anna, tersenyum getir di lorong gelap dengan mata yang hampa. Suara lirih Anna yang meminta maaf terus berputar di kepalanya, membuatnya sulit bernapas. Hingga pada suatu malam, dorongan putus asa membuatnya berdiri di depan cermin.
Dengan tangan gemetar, ia meraba lehernya sendiri—tempat yang mengingatkannya pada cara Anna pergi. Air mata bercucuran, dadanya sesak, hingga akhirnya ia menyerah pada rasa bersalah itu dan mencoba menyusul kakaknya. Menggaruk kasar, berteriak sekencangnya seperti pita suara akan pecah, dan memberi sayatan yang hampir fatal sehingga pernah berakhir di rumah sakit. Namun yang tersisa hanyalah guratan samar di leher, bekas yang tak pernah hilang, tanda abadi dari luka batin yang tidak bisa disembuhkan—
“Setelah itu, Leo lah yang selalu menenangkanku setiap kali aku kumat,” ujar Lya, suaranya datar saat menutup cerita. Matanya menatap jauh ke laut yang tampak sama pilu dengan isi hati. Kembali ia mengingat kejadian pagi tadi bersama Leo, berpikir dalam, mengingat ekspresi menyakitkan pria itu.
“Sekali lagi aku bersikap egois… mengira hanya aku yang hancur. Padahal masih ada orang lain. Leo juga kehilangan orang yang dia cintai pada hari yang seharusnya bahagia — itu pasti menyakitkan, kan?”
Lya menarik napas panjang, tangannya merangkak naik ke garis leher yang tak pernah benar-benar sembuh. “Akulah yang menghancurkan dunia kecil kami. Mulutku… kadang aku ingin merobeknya. Aku selalu berteriak sampai berharap—pada keesokan hari suaraku tak lagi keluar dari tenggorokanku.” Suaranya melemah, gemetar oleh penyesalan yang terasa tak akan pernah pudar.
Desir ombak seolah merenggang, memberi ruang bagi keheningan yang pekat. Langit jingga menebal, membawa hawa getir yang membuat bulu kuduk Ben ikut berdiri. Ia menatap Lya, lalu — tanpa kata — air matanya jatuh. Tetes demi tetes, sederhana namun penuh arti; satu kata terlintas di pikirannya: menyedihkan.
Ben mengulurkan tangan, ragu sejenak sebelum menyentuh punggung tangan Lya dengan lembut. Sentuhan itu kecil, namun cukup untuk menarik Lya kembali dari jurang ingatan. “Lya,” panggilnya, suaranya rendah, serak. “Aku di sini. Kalau kau mau, ceritakan lagi — atau diam bersama. Aku tetap di sisimu.”
Lya menoleh, menatap nanar wajah Ben yang sudah lebih dulu banjir air mata. Mereka bertukar pandang yang panjang, lalu membiarkan ombak menjadi satu-satunya saksi. Di antara keheningan itu Ben tidak berusaha menghapus rasa bersalahnya Lya — dia hanya menawarkan kehadiran dan pelukan, sesuatu yang sederhana namun nyaris suci di kala semuanya terasa hancur.
Detik berikutnya, Lya ikut menangis dalam pelukan Ben, keras seperti anak kecil yang kehilangan segalanya. Suaranya pecah di bahunya, “Aku merindukannya! Aku merindukan Kak Anna! Aku merindukan masa-masa itu! Saat kami masih berbahagia bersama, Ben!”
"Maafkan aku! Maaf karena sudah mengatakan hal yang menyakitkan! Harusnya aku tahu! Kak Anna bukanlah orang yang benar-benar kuat!"
"Maafkan aku karena menghancurkan dunia kecil kalian!"
"Aku tidak pernah pantas mendapat kasih sayang kalian berdua! Seharusnya aku saja yang pergi!"
Perkataan itu merujuk pada Anna dan Leo. Yang senantiasa melibatkan Lya dalam dunia kecil mereka.
Ben hanya bisa mengeratkan pelukannya, seakan ingin menyatukan kembali potongan jiwa Lya yang retak. Namun kenyataannya, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tidak bisa memutar waktu. Tidak bisa membangkitkan Anna. Tidak bisa menghapus penyesalan yang menjerat hati gadis di pelukannya.
Air mata Ben terus jatuh, kini membasahi rambut Lya. Semakin ia mendengar tangisan itu, semakin jelas ia sadar: luka di dalam hati Lya terlalu dalam, dan semua yang bisa ia lakukan hanyalah tetap ada di sisinya. Menjadi tempat bersandar, meski tahu ia tak akan pernah mampu menggantikan kehilangan itu.
Detik itu Ben berharap. Menatap pada cakrawala yang membelah lautan, ia memohon—seandainya saja semua rasa sakit yang bersarang di dada Lya bisa berpindah padanya, ia rela. Seandainya luka yang ditinggalkan Anna, bukan hanya pada Lya tapi pada semua orang yang mencintainya, bisa ia jahit kembali dengan tangannya sendiri, ia akan melakukannya tanpa ragu. Ia ingin menjadi penawar, menjadi perisai, menjadi apapun yang bisa mengangkat beban itu dari pundak gadis yang kini menangis dalam pelukannya.
Namun kenyataan menohoknya: Ben bukan penyembuh. Ia hanya seorang lelaki yang tak berdaya, yang bisa melakukan satu hal saja—menangis bersama, sambil terus merangkul agar Lya tahu, bahwa ia tidak perlu menyimpan perasaan pedih itu seorang diri. Ben akan selalu siap dengan segala kehancuran yang dimiliki Lya.
.
.
.
To Be Continue
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
✿⚈‿‿⚈✿
Tapi... Dahlah bodoamat🗿