Karena sering dibuli teman kampus hanya karena kutu buku dan berkaca mata tebal, Shindy memilih menyendiri dan menjalin cinta Online dengan seorang pria yang bernama Ivan di Facebook.
Karena sudah saling cinta, Ivan mengajak Shindy menikah. Tentu saja Shindy menerima lamaran Ivan. Namun, tidak Shindy sangka bahwa Ivan adalah Arkana Ivander teman satu kelas yang paling sering membuli. Pria tampan teman Shindy itu putra pengusaha kaya raya yang ditakuti di kampus swasta ternama itu.
"Jadi pria itu kamu?!"
"Iya, karena orang tua saya sudah terlanjur setuju, kamu harus tetap menjadi istri saya!"
Padahal tanpa Shindy tahu, dosen yang merangkap sebagai Ceo di salah satu perusahaan terkenal yang bernama Arya Wiguna pun mencintainya.
"Apakah Shindy akan membatalkan pernikahannya dengan Ivan? Atau memilih Arya sang dosen? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
"Berhentiiii..." Shindy berteriak dari pintu. Gadis itu kecewa menatap dua pria yang menurutnya tidak dewasa. Kenapa pula persoalan harus diselesaikan dengan perkelahian? Shindy khawatir jika tulang Arkan yang patah kemarin kambuh lagi.
Shindy melihat Arkan yang tersungkur di lantai hasil dari perkelahian itu segera berlari, kemudian membantunya berdiri. "Arkan masih belum sehat benar Pak" Shindy menatap pak Gun kecewa, padahal Wiguna tahu jika Arkan belum lama cedera. Bagusnya Shindy masuk tepat waktu, jika tidak entah apa yang terjadi dengan Arkan. Awalnya ia ngobrol di depan pintu bersama Dila, begitu mendengar keributan segera berlari ke dalam ruangan pak Gun.
"Anak ini harus diberi pelajaran agar tahu sopan santun Shindy" Wiguna kehilangan kontrol karena Arkan kelewatan.
"Maaf Pak" Shindy menarik tangan Arkan keluar. Shindy tidak mau bahu Arkan yang baru membaik patah lagi, padahal ia sudah merawatnya kurang lebih satu setengah bulan.
Wiguna membanting bokongnya di kursi, seketika introspeksi diri. Apa benar ia dosen yang pilih kasih seperti yang dikatakan Arkan? Tentu saja tidak. Jika skripsi Shindy tidak pernah ada hambatan karena memang hasilnya memuaskan. Bukan seperti yang Arkan tuduhkan, memberi nilai bagus karena mencintai Shindy.
Tok tok tok.
"Masuk" Wiguna menurunkan tangan dari kepala ketika seseorang mengetuk pintu.
"Selamat pagi Pak..." ucap Dila yang sudah hamil besar mengangguk sopan.
"Eh Ibu Bos" Wiguna segera menutup kekesalan hatinya yang disebabkan Arkan, dengan sedikit melempar candaan.
"Bapak ini" Dila risi dijuluki Ibu bos, tapi ia tersenyum ternyata pak Gun baik-baik saja, padahal Dila juga mendengar jelas bahwa pak Gun sedang bertengkar dengan Arkan.
"Silakan duduk" titah Wiguna.
"Terima kasih Pak" Dila pun duduk di depan Wiguna, kemudian membicarakan skripsi seperti yang dilakukan Shindy maupun Arkan. Seperti halnya Shindy, Dila yang memang pintar tulisannya bagus. Wajar jika harus revisi sedikit.
Sementara itu Shindy dengan Arkan sudah tiba di rumah. Dalam perjalanan Shindy sudah menahan kesal karena Arkan menghadapi masalah bukan dengan otak, tapi mengedepankan otot. Mending kuat padahal tenaganya lembek. Segera ia ambil kain basah, baskom, dan air hangat untuk mengompres pipi Arkan yang membiru.
"Rasanya ingin menuntut Wiguna ke jalur hukum gue, biar di penjara seumur hidup!" Arkan membawa kemarahan meluap-luap.
"Sudahlah Ar, kamu kan yang memukul duluan, wajarlah kalau Pak Gun membalas. Jika kamu menuntut, lalu pak Gun menuntut balik, kamu yang di posisi lemah" Shindy yang berada tepat di depan suaminya tengah mengompres lebam di pipinya sambil berusaha meluruskan.
"Terus kamu yang akan menjadi saksi membela Pak Gun, begitu bukan?" Arkan semakin kesal karena Shindy bukan membela dirinya.
"Ya nggak gitu lah Ar, kamu lupa kalau di sekeliling kampus banyak sekali cctv" Shindy heran kenapa Arkan menjadi linglung.
"Bela saja terus Shindy, dengan begitu akan lebih jelas jika kamu lebih memilih dosen itu daripada saya suami kamu sendiri!" Arkan berteriak, lagi-lagi salah memahami kata-kata Shindy.
Shindy sampai kaget mendengarnya. "Astagfirullah Arkan, tuduhan kamu itu tidak mendasar tahu tidak..." Shindy tidak habis pikir dengan kelakuan Arkan.
Arkan mendorong tangan Shindy dari pipinya dengan kasar ketika pertengkaran suami istri itu semakin memanas
Brak!
Arkan tiba-tiba berdiri menendang baskom yang Shindy pegang hingga membentur wajah Shindy. Shindy meraup wajahnya yang basah dengan air bekas kompres, dan campur air mata, lagi-lagi bibir Shindy Istigfar.
"Kamu tega Arkan...." lirih Shindy menatap Arkan dengan mata merah. "Kamu yang bertengkar dengan Pak Gun kenapa saya yang kamu jadikan pelampiasan" imbuh Shindy dengan suara serak.
"Karena kamu main-main di belakang aku!" Arkan menuduh Shindy selingkuh dengan pak Gun.
"Kamu yang selingkuh Arkan! Selama ini saya berusaha untuk sabar dan menerima kamu apa adanya. Tapi kamu melempar batu sembunyi tangan" Kemarahan Shindy pun meledak akhirnya pertengkaran sengit pun terjadi lagi. "Kamu masih belum sadar juga Arkan, ada wanita yang mengaku kamu hamili, dan minta tanggung jawab. Kamu sadar tidak Arkan?!" Shindy mengulangi
"Kamu yang selingkuh Shindy, selalu membela Wiguna! Apa itu namanya jika bukan main hati di belakang Aku?!"
"Aku membela Pak Gun bukan karena selingkuh Arkan, tapi dia selalu benar!"
Plak!
"Arkaaannn..." Adisty berlari ke dalam kamar, melihat kelakuan Arkan yang sudah mulai main tangan berteriak kencang. Adisty berdiri mematung memandangi kamar yang sudah berantakan. Air menggenang di lantai, baskom tergeletak, dan bantal guling yang Arkan lempar-lempar selama bertengkar pun menambah suasana kamar seperti kapal pecah.
"Kamu sudah mulai kasar Arkan..." Shindy pun akhirnya berdiri, baju yang ia kenakan basah hingga ke bawah. Hati Shindy sakit, begini balasan Arkan setelah pengorbanan sebagai istri yang hanya dianggap boneka oleh Arkan, tetapi Shindy berusaha untuk bersabar.
Arkan membuka lemari ambil jaket menyampirkan di pundak, kemudian pergi entah ke mana.
"Shindy..." Adisty mendekati menantunya yang tengah menangis memeluknya erat. Sepi, di kamar itu selain isak tangis Shindy yang terdengar semakin kencang. Dadanya terasa sesak memikirkan perjalanan hidupnya yang begitu menyiksa.
Hingga beberapa detik kemudian Adisty melepas pelukan. Ia menatap lekat wajah Shindy yang memerah gambaran telapak tangan Arkan itu menyayat hatinya. Tanganya mengusap air mata Shindy yang berlinang dengan jari.
"Maafkan Shindy Ma, sekarang saya menyerah" bibir Shindy bergetar. "Ternyata saya masih belum bisa menjadi istri yang baik untuk Arkan Ma. Biarkan saya belajar lagi" lanjut Shindy bahunya semakin bergetar.
"Apa maksud kamu sayang..." Adisty tidak mengerti.
"Biarkan Shindy pergi Ma..." tanpa menunggu jawaban Adisty, Shindy menyeret kakinya menuju lemari pakaian. Tidak ada keraguan lagi, menata pakaian ke dalam koper.
Shindy tahu, dalam agama yang ia yakini seorang istri tidak boleh pergi tanpa izin suami. Namun, Shindy hanya manusia biasa yang ada batas kesabaran.
"Shindy... Mama mengerti perasaan kamu sayang... tapi kamu mau tinggal di mana?" Adisty tentu saja khawatir. Ia tahu Shindy tidak mempunyai tempat tinggal di Jakarta.
"Mama jangan khawatir" Shindy sudah tidak akan merubah keputusannya lagi.
"Kalau gitu Mama antar ya" Adisty hendak memesan taksi lalu mengajak Shindy mencarikan apartemen.
"Terima kasih Ma, tapi maaf, biarkan Shindy mandari" Shindy menolak dengan halus sembari menarik koper keluar dari kamar itu.
Adisty kebingungan entah harus bagaimana, ia segera hubungi Arkan tapi nomor handphone nya tidak aktif. Jika ada supir tentu saja akan menyuruh mengantarkan Shindy kemana pun dia pergi. Namun, supirnya saat ini tengah mengantar Alexander ke bandara, hendak kunjungan bisnis ke luar negeri menggantikan Arkan karena sedang skripsi.
Adisty pun keluar kamar mengejar Shindy, begitu sampai di halaman, taksi yang Shindy tumpangi sudah melesat pergi.
"Kamu mau kemana Shindy?" Adisty bergumam memandangi taksi yang sudah menjauh dari luar pagar.
...~Bersambung~...
Sabar Iya Shindy
terus suruh si ulat bulu yg merawatnya,,
biar nyaho tu si pelakor ngerawat suami yang dia rebut🤭🤭