Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Malam sudah lewat tengah ketika Moira baru kembali ke markas kecil mereka. Wajahnya letih, tapi matanya tetap tajam, fokus pada catatan dan hasil rekaman yang dibawanya. Rio tertidur di sofa, Kiko dan Danu masih di luar berjaga.
Namun, begitu dia membuka pintu kamar belakang, langkahnya terhenti.
Gentha ada di sana. Duduk di kursi, kepala menunduk, sebatang rokok hampir habis di jari, tapi bara apinya tak kunjung dihisap.
“Tha?” panggil Moira pelan. “Lo kenapa? Muka lo… kayak abis liat setan.”
Gentha mengangkat kepala perlahan.
Matanya merah. Bukan karena marah biasa — tapi seperti ada sesuatu yang jauh lebih gelap di balik tatapan itu.
“Setan, ya…” dia tertawa pelan. Suaranya berat dan aneh. “Mungkin lo bener, Moira. Mungkin gue emang baru liat setan.”
Moira menatapnya, bingung. “Apa maksud lo?”
“Razka,” jawab Gentha datar. “Dia yang bunuh keluarga gue.”
Hening.
Kata-kata itu menggantung di udara seperti petir tanpa suara.
Moira mendekat satu langkah. “Tunggu—lo yakin?”
Gentha menatap lurus ke arahnya. “Gue denger sendiri dari mulutnya. Dia yang perintahkan pembakaran itu. Semua yang terjadi malam itu—rumah gue, nyokap gue, adik gue—semuanya kerjaan mereka. Razka.”
Tangan Moira langsung mengepal. Dia tahu perasaan itu — kehilangan. Dendam. Tapi yang dia lihat di depan matanya sekarang bukan Gentha yang dia kenal.
Wajah itu… kosong, tapi ada sesuatu yang hidup di baliknya.
“Tha, tenang dulu. Kita bisa atur ini—”
“Gue udah cukup tenang!” suaranya meninggi tiba-tiba, membentak hingga Rio yang setengah tidur di ruang depan berguling jatuh dari sofa. “Lima tahun, Moira. Lima tahun gue nahan diri buat nggak ngacak-ngacak dunia ini. Sekarang gue tahu siapa dalangnya, dan lo masih nyuruh gue tenang?”
Moira menatapnya tak berkedip. “Kalau lo bertindak sekarang, lo bakal gagal. Lo malah bakal nyeret semuanya—gue, lo, bahkan keluarga lo yang udah lo korbankan.”
“Jangan bawa keluarga gue!” Gentha bangkit, menatap tajam. Suaranya nyaris menggeram. “Mereka udah nggak ada, Moira. Tapi Razka… dia masih hidup dengan senyum di mukanya. Lo tahu rasanya liat orang yang ngambil semuanya dari lo masih bisa ketawa kayak nggak pernah ngelakuin dosa?”
Moira maju, menatap balik dengan dingin.
“Gue tahu rasanya, Tha. Karena gue juga kehilangan. Tapi kita nggak bisa perang pakai emosi. Lo lupa siapa musuh kita? Ini Razka. Satu langkah salah, lo bakal mati sebelum sempat nyentuh dia.”
Nafas Gentha memburu, tapi perlahan menurun. Ia membuang rokok ke lantai, memijaknya. “Gue nggak butuh strategi, Bi. Gue cuma butuh darah.”
“Dan kalau lo gagal?” tanya Moira tajam. “Kalau lo mati, siapa yang nerusin semuanya? Siapa yang nyelamatin nama keluarga lo? Gue?”
Kata-kata itu berhasil menghentikan langkah Gentha. Ia menatap Moira lama, seolah berusaha menembus pikirannya.
Akhirnya, setelah keheningan yang panjang, Gentha menarik napas panjang, lalu duduk lagi.
“Lo selalu tahu cara bikin gue ngerem, ya?” gumamnya dengan suara serak.
Moira hanya menatapnya pelan. “Gue bukan mau ngerem lo, Tha. Gue cuma nggak mau kehilangan lo juga.”
Untuk pertama kalinya malam itu, Gentha terdiam. Tatapan kerasnya perlahan luluh, berganti dengan pandangan hampa tapi jujur.
Namun, di balik ketenangan yang kembali, ada sesuatu yang lain — sesuatu yang berdenyut di dalam dirinya.
Sisi yang selama ini ia tekan… perlahan bangun lagi.
Di balik mata tenangnya, jiwa yang disebut Niklaus berbisik.
“Waktunya sudah dekat… Darah harus dibayar dengan darah.”
Dan Gentha, untuk pertama kalinya dalam lima tahun, tak lagi menolak suara itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah dan udara yang berat. Kota masih hidup, tapi di satu sisi gelapnya, Nitro sedang berdenyut — penuh rahasia, transaksi, dan darah.
Moira berjalan cepat di lorong belakang gedung lama yang kini digunakan sebagai tempat pertemuan anggota Nitro. Topeng wajah palsu masih terpasang, suaranya berubah lewat modulasi kecil di telinganya. Di tangannya, alat perekam mini terhubung dengan earpiece tempat suara Gentha dan Reno terdengar samar.
Reno (via comm): “Semua aman di luar. Kamera mereka masih belum nangkep lo, Bi.”
Moira: “Bagus. Gue butuh sepuluh menit buat nyari file di ruangan data.”
Namun, di sisi lain gedung — Gentha tidak lagi di posisinya.
Dia berdiri di dekat tangga besi menuju lantai atas, rokok di tangan tapi belum dinyalakan. Matanya kosong menatap pintu ruangan tempat Razka barusan masuk. Dia masih bisa mendengar gema suara Razka dari rekaman yang diambilnya semalam.
“Bakar saja Keluarga Salvador sapu bersih.”
Kata “bakar” itu berputar di kepalanya seperti mantra neraka.
“Lo yang bakar rumah gue…” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Suara di kepalanya — bukan Reno, bukan Moira — tapi sesuatu yang lain, dingin, licik, namun familiar.
“Lihat dia, Gentha. Bernapas, tertawa, berdosa. Lo mau biarkan begitu?”
Tangannya mengepal keras sampai buku jarinya memutih.
Napasnya berubah berat.
Reno (via comm): “Tha? Lo masih di posisi, kan?”
Gentha: “Iya…” suaranya datar. “Masih.”
Tapi matanya kini gelap — pupilnya sedikit melebar, wajahnya berubah tenang tapi berbahaya.
Niklaus telah bangun sepenuhnya.
Sementara itu, Moira berhasil masuk ke ruangan penyimpanan data. Dia membuka komputer lama, menyalin file, dan menemukan beberapa dokumen rahasia Transfer dana dari Nitro ke akun atas nama Evander.
Matanya melebar. “Ini nggak mungkin…”
Moira: “Reno, Gentha… dengerin. Gue nemuin data—ada transfer ke nama keluarga Gavintara. Nitro ngirimin uang ke mereka bertahun-tahun lalu.”
Reno: “Apa? Jadi keluarga Gavintara terlibat juga?”
Moira: “Entah… tapi ini berarti Razka nggak sendirian. Ada dalang lain di atasnya.”
Namun, jawaban dari Gentha tak pernah datang.
Moira menoleh ke arah lorong lewat kamera kecil di jam tangannya. Di situ terlihat Gentha — berjalan perlahan ke arah ruang rapat tempat Razka dan dua anak buahnya sedang bicara.
Langkahnya pelan, tapi auranya mematikan.
“Tha? Lo ngapain?” Moira berbisik cemas. “Jangan gegabah, ini belum waktunya!”
Tidak ada jawaban.
Di dalam ruangan, Razka sedang membahas pengiriman senjata. Tapi sebelum ia sempat menutup map di mejanya —
PRAAANG! —
pintu mendadak terbuka keras.
Tiga pasang mata menoleh.
Gentha berdiri di ambang pintu, rokok di bibirnya, wajahnya diselimuti bayangan.
“Razka,” suaranya tenang tapi dalam. “Masih inget rumah yang lo bakar lima tahun lalu?”
Razka mengernyit, bingung. “Gentha—”
Belum sempat selesai, Gentha sudah melesat maju. Satu pukulan keras menghantam wajah Razka hingga terlempar ke meja kaca. Dua pengawalnya langsung menarik pistol, tapi Gentha menangkis dengan brutal — gerakannya cepat, efisien, tanpa ampun.
Moira yang menonton dari layar kamera langsung berlari. “Sial! GENTHA!”
Sementara itu, Reno di luar markas melihat dari jauh lampu-lampu ruangan berpendar merah — alarm berbunyi.
“THA KELUAR DARI SANA!”
Tapi Gentha tak mendengar.
Atau lebih tepatnya, Niklaus yang kini mengendalikan tubuhnya tidak peduli.
Dia menatap Razka yang kini tersungkur di lantai, darah menetes di dagunya.
“Gue udah nunggu lama buat liat lo kayak gini…” ucap Gentha dengan senyum dingin. “Sekarang waktunya lo ngerasain apa yang keluarga gue rasain waktu lo bakar mereka hidup-hidup.”
Dia menarik pisau kecil dari sakunya.
Namun, tepat sebelum pisau itu menembus dada Razka—
“GENTHA!!”
Moira muncul di ambang pintu, wajahnya pucat, napasnya berat.
Tatapan mereka bertemu. Untuk sepersekian detik, jiwa Gentha yang asli muncul — gentha yang manusia.
Tangan itu bergetar.
Pisau nyaris jatuh.
Razka tersungkur, melarikan diri keluar ruangan.
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/