Kau sewa aku, Kudapatkan cintamu
Semua berawal dari selembar kertas perjanjian.
Ia hanya butuh uang, dan pria itu hanya butuh istri… meski sementara.
Dengan tebusan mahar fantastis, mereka terikat dalam sebuah **pernikahan kontrak**, tanpa cinta, tanpa janji, hanya batas waktu yang jelas. Namun, semakin hari, batas itu mulai kabur. Senyum kecil, perhatian sederhana, hingga rasa yang tak pernah mereka rencanakan… pelan-pelan tumbuh menjadi sesuatu yang tak bisa disangkal.
Penasaran dengan kisahnya? Yuk ikuti ceritanya...
jangan lupa kasih dukungannya ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part. 1- KSA, KDC
Hidup memang tak pernah memberi peringatan sebelum merenggut apa yang paling berharga.
Begitu pula dengan hidup seorang gadis bernama Keira Prameswari.
Usianya baru delapan belas tahun, baru saja lulus SMA dengan prestasi yang cukup membanggakan.
Keira dikenal sebagai gadis cantik dengan wajah manis, kulit bersih, dan senyum ceria yang selalu berhasil menularkan semangat pada orang di sekitarnya.
Namun di balik keceriaan itu, tersimpan luka yang dalam, sebuah kehilangan yang tak pernah benar-benar pulih.
Sejak kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan sepuluh tahun lalu, Keira tinggal bersama keluarga pamannya.
Pamannya tidaklah jahat, hanya… terlalu sibuk dengan pekerjaan dan rumah tangga, sehingga seringkali Keira merasa dirinya seperti “penumpang” di rumah itu.
Ada atap untuk berteduh, ada makanan untuk dimakan, tapi kasih sayang yang hangat seperti orang tua, itu sesuatu yang tak lagi ia dapatkan.
Namun, Keira bukan tipe gadis yang suka mengeluh. Kesepian itu justru membuatnya tumbuh menjadi sosok yang mandiri.
Setiap sore, setelah pulang sekolah dulu, ia biasa menyibukkan diri dengan pekerjaan paruh waktu: menjaga toko kue, melayani di minimarket, atau menjadi kasir di kafe kecil dekat rumah. Semua ia jalani dengan ikhlas, demi satu hal, biaya kuliah.
“Kalau aku berhenti di sini, aku cuma akan jadi gadis biasa yang hidup numpang. Tapi kalau aku kuliah, aku bisa mengubah masa depanku sendiri.”
Itulah tekad yang selalu ia genggam erat.
Kini, setelah kelulusan SMA, semangat itu semakin berkobar. Keira tahu, jalan menuju mimpinya tidak akan mudah. Pamannya tidak sanggup menanggung biaya kuliah, dan tabungan hasil kerja paruh waktunya masih jauh dari cukup. Meski begitu, ia tidak mau menyerah.
---
Suatu malam, Keira duduk di meja belajarnya yang sederhana. Lampu belajar kecil menerangi wajahnya yang letih, tapi matanya tetap berbinar penuh harapan. Di tangannya ada brosur tentang beasiswa dan universitas.
“Entah bagaimana caranya… aku pasti bisa masuk kuliah,” gumamnya lirih, sambil menatap langit-langit kamar yang sempit.
Dari luar, terdengar suara anak-anak pamannya tertawa riang di ruang keluarga. Keira tersenyum tipis. Ada rasa hangat sekaligus getir yang di rasakannya.
Hangat karena ia masih punya tempat pulang, getir karena ia tahu, ia harus berjuang sendirian untuk masa depannya.
---
Keesokan harinya, Keira kembali sibuk. Ia bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko pakaian. Dengan senyum ramah, ia melayani pembeli, mengatur pakaian yang berantakan, hingga berdiri berjam-jam tanpa mengeluh.
“Keira, kamu nggak capek? Dari tadi berdiri terus,” tanya seorang pegawai senior dengan wajah prihatin.
Keira pun tersenyum sambil merapikan gantungan baju. “Capek, Kak. Tapi aku ingat, kalau aku berhenti sekarang… aku juga berhenti mengejar mimpi. Jadi ya, nggak boleh manja," Balasnya.
Jawaban itu membuat pegawai lain terkagum. Seorang gadis muda, yatim piatu, tapi masih bisa tersenyum cerah dengan beban sebesar itu, Keira memang berbeda.
---
Malam harinya, ketika ia berjalan pulang melewati jalan sempit yang sepi, pikirannya dipenuhi rencana-rencana besar.
Ia membayangkan dirinya duduk di bangku kuliah, memakai jas almamater, bahkan mungkin suatu hari bisa membahagiakan orang-orang yang ia sayangi dengan hasil kerja kerasnya.
Namun, Keira tak pernah tahu… bahwa langkah-langkah sederhana itu justru akan membawanya pada persimpangan hidup yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sebuah pilihan sulit yang kelak akan menjeratnya dalam perjanjian paling gila dalam hidupnya, 'sebuah pernikahan kontrak'
Dan malam itu, di bawah sinar lampu jalan yang redup, Keira berjanji pada dirinya sendiri:
“Aku nggak akan berhenti. Bagaimanapun caranya, aku akan melangkah.”
_____
__________
Pertemuan tak terduga.
Pagi itu, matahari bersinar cerah. Burung-burung berkicau di sepanjang jalan yang dilalui Keira dengan sepedanya.
Seperti biasa, ia mengayuh dengan semangat menuju toko tempatnya bekerja. Rambutnya yang dikuncir sederhana bergoyang tertiup angin, sementara wajahnya tampak segar meski belum sempat sarapan.
“Semoga hari ini lancar,” gumam Keira sambil tersenyum penuh semangat.
Namun, tak sampai lima menit kemudian, sebuah suara klakson motor yang kencang membuatnya kaget.
“Woi! Hati-hati, Mbak!” teriak pengendara motor yang melaju kencang, dan nyaris menyerempet sepedanya.
“Eh—!” Karena terkejut Keira tak sempat mengendalikan sepedanya. Roda depannya pun menabrak batu kecil di pinggir jalan, hingga membuat tubuhnya oleng dan—
Brak!
“Aww!” Keira terjatuh, lututnya tergores aspal, dan sepedanya terlempar ke samping. Rantai sepeda langsung terlepas, pedalnya pun bengkok.
"Aww!! Aduh!!." Keira mengerang pelan sambil mengusap lututnya. “Ya ampun, kenapa harus pagi-pagi begini sih?”
Beberapa pejalan kaki sempat menoleh, tapi segera berlalu dan tidak memperdulikannya. Dengan terpaksa, Keira mendorong sepedanya yang kini tak bisa dinaiki lagi.
Beberapa ratus meter kemudian, ia menemukan sebuah bengkel sepeda kecil di pinggir jalan. Bau oli dan suara besi beradu langsung menyambutnya.
“Pak, bisa benerin sepeda saya?” tanya Keira sambil menunjuk rantai yang lepas dan pedal bengkok.
Montir tua di bengkel itu menoleh, lalu mengusap keringat di dahinya.
“Bisa, Neng. Tapi agak lama ya, ini mesti diganti pedalnya. Duduk aja dulu, nanti saya kerjain.”
Keira menghela napas lega. “Iya, Pak. Terima kasih.”
Ia melirik sekeliling. Tak jauh dari bengkel itu, ada sebuah taman kota. Pohon-pohon rindang, bangku kayu berjejer, dan suara kicau burung membuat suasana begitu teduh.
“Daripada nunggu di bengkel, mending duduk di sana aja,” gumam Keira.
Keira pun melangkah ke taman itu. Ia lalu di salah satu bangku sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Pandangannya terarah pada anak-anak kecil yang berlari-larian, melihat tawa mereka membuat hatinya terasa ringan.
Namun, ketenangan itu tiba-tiba terusik oleh suara percakapan yang tak jauh dari tempatnya duduk.
“Aku serius, Rani. Aku benar-benar mencintaimu. Tolong terima cincin ini.”
Suara seorang pria yang terdengar penuh harap.
Keira spontan menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang berpenampilan rapi dengan jas mahal, tengah berlutut sambil menyodorkan sebuah cincin pada gadis bergaun elegan di hadapannya. Adegan yang mirip di drama televisi.
Melihat adegan itu, Keira pun menahan tawanya. "Wah, ada yang melamar pagi-pagi begini?" Batinnya.
Namun, tak lama kemudian, jawaban si gadis membuat Keira terperangah.
“Maaf, Arga. Aku… nggak bisa. Aku ingin mengejar karirku dulu." Nada suara gadis itu terdengar tegas, tanpa ragu sedikit pun.
Suasana pun hening sejenak. Si pria, yang ternyata bernama Arga, kini terdiam dengan wajah yang pucat, sedangkan cincin mahal itu masih tergenggam di tangannya.
Keira yang masih asyik menyaksikan kini menutup mulutnya, karena berusaha menahan geli. Tapi semakin ia tahan, semakin lucu rasanya. Hingga akhirnya—
“Pfft… hahahaha!”
Arga langsung menoleh ke arah Keira. Begitu juga dengan gadis bernama Rani itu. Keduanya menatapnya dengan tatapan kaget sekaligus tidak percaya.
Sadar akan situasi, Keira buru-buru berdiri dan melambaikan tangan. “A-aku nggak bermaksud ikut campur, sumpah! Cuma… cara nolaknya itu… terlalu kocak.”
Rani mendengus lalu pergi meninggalkan Arga yang masih terdiam dengan wajah memerah karena menahan malu.
Keira yang melihatnya pun semakin tak bisa menahan tawanya. "A haha...ya ampun, kayak drama banget sih. Kasihan juga sih, tapi… lucu!”
Namun tawa itu segera terhenti ketika Arga berjalan mendekat dengan wajah yang dingin. Tatapan matanya menusuk, hingga membuat Keira refleks menegakkan tubuhnya.
“Kamu…” suara Arga terdengar berat dan tajam. “Kau tau tidak, baru saja kau membuat harga diriku jatuh lebih dalam daripada penolakan itu sendiri?”
Glek!
Keira menelan ludahnya karena gugup tapi tetap mencoba membela diri. “Eh… maaf, aku cuma… ya, spontan aja. Nggak nyangka ada adegan live kayak gitu di depan mataku.”
Arga lalu mendekat selangkah lagi, hingga jarak mereka begitu dekat.
“Aku tidak tahu siapa kamu. Tapi, mulai hari ini… kamu adalah orang yang akan selalu kuingat.”
BERSAMBUNG...