“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS22
Setelah melewati malam panjang di ambang hidup dan mati, Esma akhirnya membuka matanya. Cahaya pagi menembus kisi jendela batu, jatuh lembut di wajahnya yang pucat. Aroma obat-obatan herbal perlahan menusuk indera penciuman.
Seorang tabib tua mendekat, tatapannya lega. “Syukurlah, kau sadar,” ujarnya pelan sambil memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Esma. “Kau dan janinmu selamat. Namun, tubuhmu masih sangat lemah, kau masih perlu banyak istirahat.”
Setetes bulir bening langsung mengalir dari sudut mata, membasahi penyangga kepala. Esma mengusap lembut perut datarnya.
“Anakku selamat?” Bibirnya bergetar halus. “Alhamdulillah ... terimakasih atas perlindunganmu, Ya Allah.”
Di tengah rasa syukur dan haru yang bercampur, pintu ruangan itu terbuka. Bey Murad masuk dengan langkah tergesa, gurat cemas di wajahnya alangkah luar biasa.
Ia meraih dan menggenggam erat tangan Esma. Mengecup kening penuh kasih. “Pasti sakit sekali, ya? Maafkan aku yang terlalu lama meninggalkan dirimu, sungguh ... aku menyesal, Esma.”
Esma balas mengecup lembut jemari kokoh. “Terimakasih, Baginda. Terimakasih karena lagi-lagi menyelamatkan diri ini dari marabahaya.”
Bey Murad tersenyum lembut, menatap penuh cinta. Namun, keningnya berkerut ketika Esma tiba-tiba memalingkan wajah.
“Ada apa?” tanyanya heran.
“Hamba malu, Baginda,” jawabnya cepat.
“Malu?” Bey Murad mengangkat alisnya.
“Wajah cantik yang biasanya selalu memanjakan mata Baginda, kini telah berubah menjadi itik buruk rupa yang tak layak dipandang. Hamba malu, hamba merasa tidak pantas ditatap penuh cinta, hamba—”
“Ssssttt!” Bey Murad mengatup bibir istrinya dengan jarinya. “Aku tak ingin kau mengucapkan kalimat itu, Esma. Kau tetaplah cantikku, intan permata ku. Hanya kau satu-satunya yang berhasil membuat diri ini enggan menatap yang lain.”
Pria berkuasa itu mengusap lembut pipi memar nan bengkak. Esma hanya diam, menunduk malu mengharu biru.
Namun dibalik wajah berekspresi haru, hatinya berbisik senang, ‘Itulah yang ingin kudengar dari mulutmu, wahai Baginda ....’
Kemudian, manik unik itu mengedar pandang ke sekeliling. Menatap satu persatu penghuni harem yang turut membawanya ke Darüşşifa.
Keningnya berkerut sejenak, fokus menelisik penampilan Mansur Ağa dari kaki hingga kepala. “Apa yang terjadi padamu, Mansur? Apa kau baru saja diterjang kuda liar?”
‘Kau lah kuda liarnya,’ batin Mansur sambil menyibak jubahnya yang robek dan penuh lumpur kering. Pria itu memang belum sempat berganti pakaian sejak tadi malam.
Bey Murad mengulum senyum sambil menepuk-nepuk punggung sang kasim. Lalu beralih pandang pada tabib utama.
“Apa Esma sudah bisa kembali ke istana?” tanyanya pada sang tabib.
Pria tua bersorban yang semalaman merawat Esma pun mengangguk dalam. “Tentu bisa, Baginda. Namun, perjalanan ke istana harus dilakukan dengan sangat berhati-hati. Rahimnya masih sangat lemah. Setibanya di istana, Esma dilarang keras melakukan apa pun yang bisa menguras tenaga, termasuk dengan aktivitas hubungan suami-istri. Setidaknya sampai bulan keempat.”
“Apa? Bulan keempat?!” seru Bey Murad dan Esma serentak.
Bahu Bey Murad merosot pelan, wajahnya muram, Esma pun sama halnya. Terkecuali Mansur Ağa, ia tersenyum sangat lebar.
Batinnya terkekeh-kekeh. ‘Hehehe, setidaknya empat bulan ini aku bisa bersantai, HEHEHE.’
.
.
UHUK!
Safiye terbatuk serta memuntahkan darah segar, manakala cambuk yang digenggam Panglima Orhan menghantam kuat punggungnya.
Dayang setia Yasmin itu meringis sambil menatap nanar pada sosok pria yang ia cinta, seolah mendamba iba. Namun, remuk sudah hatinya ketika Orhan hanya membalas dengan tatapan bengis.
PLAK!
Orhan menghantam wajah Safiye dengan satu tamparan. “Kau masih juga enggan mengaku?!”
Safiye mengaduh, meringis, menangis.
“Demi Allah, hamba tidak bersalah, Panglima Orhan,” isaknya lirih. “Benar, hamba memang mengetahui rencana itu. Namun hamba bersumpah, hamba tidak terlibat apa-apa.”
Bukannya melunak, Orhan justru semakin kejam — pria itu menjambak serta mencekik. Dayang yang terkenal paling angkuh di harem pun seketika tersengal, berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya demi bisa bertahan hidup.
“Katakan, siapa orangnya?!” desak Orhan sambil terus mencekik.
Dengan napas tersendat-sendat, Safiye mengangguk-angguk, sebagai kode setuju untuk membuka mulut. Orhan pun segera melepaskan cengkraman nya.
“Halimah. Dia pelayan yang ditempatkan Yasmin Hatun di ruangan Ibu Suri demi mendapatkan beberapa informasi penting. Dia lah yang membuntuti Alena, lalu menyelinap masuk ke kamar Fatma untuk menuangkan semua sisa racun,” ungkap Safiye.
“Tentunya atas perintah Yasmin, bukan?” Orhan tersenyum sinis.
Safiye susah payah menelan ludah serta sisa darah. “Tuanku, Anda tidak bisa memberi hukuman untuk Yasmin Hatun. Dia sedang mengandung keturunan dinasti. Itu adalah dosa besar.”
“Dosa? Lalu, mencemari nama istana bukan dosa baginya?” Orhan mendengus lalu menatap ke arah penjaga. “Seret dia keluar, lalu bawa Halimah kemari!”
Salah satu penjaga mengangguk patuh, segera berlalu menjalankan perintah.
...***...
“Yasmin?” Bey Murad mengangkat alis.
Ia menatap serius ke arah Orhan yang baru saja kembali dari penjara bawah tanah, membawa informasi penting.
“Benar, hamba telah mendapatkan pengakuan langsung dari Halimah — bahwa Yasmin lah yang memberi perintah. Sesuai dengan prasangka Anda, Baginda.”
“Hmmm ....” Bey Murad meraup kasar wajahnya. Ia memang sudah menduga, tetapi ia tetap saja tak menyangka, bahwa Yasmin bisa bertindak sejauh ini. “Apa yang harus aku lakukan padanya, Orhan?”
Orhan menunduk, ia dapat memahami kegundahan yang membebani hati sang Padishah. Sebagai seorang raja, Bey Murad tentu ingin memberikan hukuman setimpal atas kejahatan Yasmin. Namun, darah Dinasti yang mengalir dalam rahim wanita itu, seakan mengikat tangan sang Baginda dengan peraturan kekhalifahan yang begitu ketat. Hukuman mati bukanlah pilihan, namun membiarkan Yasmin lolos begitu saja akan menjadi preseden buruk bagi kekuasaannya. Sungguh dilema yang teramat rumit.
“Baginda, hamba mengerti betapa beratnya keputusan ini, terlebih lagi — Yasmin Hatun anak dari seorang Perdana Menteri. Mungkin, kita bisa mempertimbangkan hukuman yang tidak melanggar aturan kekhalifahan, namun tetap memberikan efek jera yang kuat. Misalnya, mengasingkan Yasmin ke tempat yang jauh dari pusat kekuasaan, mencabut semua gelar kebangsawanannya, dan menempatkannya di bawah pengawasan ketat. Dengan begitu, ia tidak akan memiliki kesempatan untuk mengulangi perbuatannya, dan Baginda tetap menjunjung tinggi hukum yang berlaku.”
Jemari Bey Murad mengetuk-ngetuk meja, tengah menimbang-nimbang. Sementara Orhan kembali berkata—
“Baginda, mungkin ini adalah saat yang tepat untuk memperkuat sistem pengawasan dan keamanan di istana. Kita perlu memastikan bahwa tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang berniat jahat. Hamba siap membantu Baginda dalam merancang strategi yang lebih efektif untuk melindungi kerajaan ini.”
Akhirnya, Bey Murad mengangguk mantap.
“Orhan, saranmu sangat masuk akal. Mengasingkan Yasmin mungkin adalah jalan tengah yang terbaik. Hukuman itu cukup berat untuk memberikan efek jera, namun tidak melanggar aturan kekhalifahan. Aku setuju dengan usulanmu untuk memperkuat sistem pengawasan di istana. Kita tidak boleh lengah lagi. Pastikan semua celah keamanan ditutup rapat.”
Bey Murad mengalihkan pandangannya ke jendela, menatap langit senja.
“Siapkan surat perintah pengasingan untuk Yasmin. Tempatkan dia di sebuah desa terpencil di perbatasan wilayah kekuasaan kita. Pastikan dia tidak memiliki akses ke kekayaan atau kekuasaan apapun. Aku ingin dia merasakan akibat dari perbuatannya,” sambung Bey Murad. “Aku mempercayaimu untuk mengawasi proses ini, Orhan. Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Aku tidak ingin ada kesalahan sekecil apapun.”
Orhan menunduk dalam. “Titah Baginda akan segera hamba laksanakan,” jawabnya. “Hamba akan segera menyiapkan surat perintah pengasingan dan memastikan semuanya berjalan sesuai kehendak Baginda. Hamba juga akan menugaskan orang-orang terbaik untuk memperketat keamanan di seluruh wilayah istana. Semoga ... keputusan ini akan membawa kedamaian bagi Baginda dan seluruh kerajaan.”
Di dalam hatinya, Orhan merasa lega karena Bey Murad telah mengambil keputusan yang bijaksana. Ia tau bahwa ini adalah jalan terbaik untuk menghindari pertumpahan darah dan menjaga stabilitas kekhalifahan, meskipun, ia juga menyadari bahwa tugas berat menantinya di depan. Ia harus memastikan bahwa pengasingan Yasmin berjalan lancar dan keamanan istana diperketat tanpa menimbulkan kecurigaan yang berlebihan.
.
.
PLAK!
*
*
*