The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.
Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.
Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batas Dunia
“Kalau memang ada jalan ke dua belas benua itu, kenapa tak ada satu pun catatan sejarah yang nyebut soal mereka?”
Pertanyaan Bagas itu menggantung di udara, sama seperti kekhawatiran yang belum mau turun sejak semalam. Mereka duduk bertiga di ruang taktis—tempat di mana biasanya rencana besar lahir. Tapi pagi ini, tak ada rencana. Hanya kecemasan dan peta dunia yang terasa terlalu kecil untuk pertanyaan sebesar ini.
Dira menyilangkan tangan, bola matanya menatap layar holo yang memutar ulang visualisasi artefak dari semalam. Tulisan di kulit itu sudah mereka salin, bahkan coba ditranslasi ulang—tetap saja jawabannya kabur. Dua belas benua, dua belas penjaga ilahi, dan tak satu pun petunjuk arah kecuali kalimat samar: “Tersimpan di balik batas dunia yang disembunyikan oleh kekuasaan.”
“Karena mereka memang disembunyikan,” suara tenang Yuni terdengar dari belakang.
Dira dan Bagas menoleh hampir bersamaan. Yuni berjalan pelan masuk ke ruangan, membawa dua cangkir kopi. Ia meletakkannya di atas meja tanpa banyak basa-basi, lalu duduk di ujung meja dengan posisi menghadap mereka berdua.
“Masih mikirin teori Noval?” Bagas mengangkat alis, mencoba tersenyum meski matanya lelah.
“Ya. Dan makin aku pikirkan, makin masuk akal. Bukan karena bumi datar atau bulat—itu nggak penting sekarang. Tapi idenya. Kalau memang ada batas, sesuatu yang sengaja disembunyikan... tempat yang dilarang dijamah siapa pun... Antartika adalah satu-satunya titik yang cocok.”
Dira menyipitkan mata. “Maksudmu... kita harus ke sana?”
Yuni mengangguk. “Setidaknya, kita harus coba lihat. Semua negara dunia sepakat untuk tidak eksplorasi penuh Antartika. Kenapa? Kalau bukan karena sesuatu yang besar, kenapa penjagaan militer di wilayah netral itu bisa begitu ketat?”
“Protokol perlindungan ekosistem kutub,” Bagas menjawab cepat, tapi kalimat itu sendiri terdengar hambar bahkan di telinganya sendiri.
Yuni menatapnya, tenang. “Dan kamu percaya itu alasan sebenarnya?”
Bagas terdiam.
Hening menyelimuti ruangan, lalu Dira berdiri. “Hubungi Noval. Minta semua dokumen dan teori konspirasinya. Bahkan yang paling gila sekalipun. Aku mau lihat semuanya.”
---
Satu jam kemudian, ruang briefing dipenuhi wajah-wajah familiar: Rivani duduk sambil menyilangkan kaki dan menggerutu pelan; Intan berdiri di dekat layar sambil menyilangkan tangan, tajam memperhatikan setiap kata. Rendi duduk di dekat pintu, tenang seperti biasa. Dan tentu saja, Noval—dengan raut penuh semangat yang nyaris terlalu cerah untuk suasana yang tegang.
“Gue tahu ini bakal terjadi,” katanya sambil menyalakan proyektor.
Slide pertama menunjukkan peta bumi klasik. Slide kedua... adalah versi ‘alternatif’ dari komunitas underground teori bumi datar.
“Menurut teori ini,” kata Noval sambil menunjuk, “kita hidup di dalam lingkaran besar, dikelilingi tembok es raksasa—itu Antartika. Tapi di balik tembok itu, ada benua-benua tersembunyi. Mereka nyebutnya: 'The Outer Lands'.”
“Teori siapa itu?” tanya Intan dengan nada skeptis.
“Orang-orang kayak Admiral Byrd, ada jurnal lama dia nyebut ‘daratan besar tak dikenal di luar kutub selatan’. Tapi jurnal itu katanya dibungkam. Terus beberapa whistleblower bilang militer dunia kerja sama nutupin sesuatu di sana. Bahkan NASA pun ikut jaga.”
Rivani mengangkat tangan. “Oke, stop. Kita beneran dengerin ini? Bumi datar dan benua rahasia? Ini makin nggak logis dari detik ke detik.”
“Riv, logis atau enggak, artefaknya jelas-jelas nyuruh kita cari dua belas benua,” sahut Yuni pelan.
“Dan apa salahnya nyari di tempat yang jelas-jelas nggak boleh didekati siapa pun?” tambah Dira.
“Kalau kalian pikir ini solusi... gue ikut. Tapi jangan harap gue bakal percaya bumi ini kayak piring pizza,” Rivani bergumam sambil bersandar.
Rendi yang sejak tadi diam, akhirnya angkat suara. “Pertanyaannya sekarang: gimana caranya kita nyusup ke Antartika tanpa bikin semua satelit dan drone militer dunia mendadak ngintip kita?”
Semua mata tertuju ke Bagas.
Dia menghela napas panjang. “Gue bisa coba pakai jalur lama Arka. Waktu dia masuk ke zona senyap Rusia, dia pernah tembus lewat perairan selatan, pake kamuflase suhu dan sistem pengacau radar. Tapi kita perlu kendaraan yang bisa tahan cuaca ekstrem dan... ya, mungkin bantuan dari ‘teman lama’.”
“Siapa?” tanya Dira.
Bagas tersenyum tipis. “Ingat Eko? Pilot yang pernah kerja bareng The Closer di Greenland? Sekarang dia tinggal di Ushuaia. Kota paling selatan di Argentina. Dia mungkin bisa bantu.”
Dira mengangguk. “Kalau begitu, kita mulai persiapan. Rivani, Intan, kalian bantu cek kondisi iklim dan pola satelit di sekitar Antartika. Noval, kumpulkan semua peta dan legenda tentang tempat itu. Rendi, siapkan logistik dan thermal gear. Yuni, kamu dan Bagas urus komunikasi ke Eko secara diam-diam. Kita nggak bisa pakai channel Vault biasa. Terlalu mudah dilacak.”
Semua langsung bergerak.
Namun bahkan setelah semua perintah diucapkan, udara di ruang itu tetap terasa berat.
Ada sesuatu yang belum mereka ketahui—dan semua orang merasakannya.
---
Malam itu, Dira berdiri sendirian di balkon atas markas. Angin malam Jakarta masih membawa bau hujan sisa. Lampu kota berkedip dari kejauhan, seperti bisikan halus dari dunia yang tak sadar bahwa nasibnya sedang dipertaruhkan.
Langkah kaki terdengar dari belakang. Bagas.
“Masih kepikiran?”
“Bukan cuma itu,” jawab Dira tanpa menoleh. “Aku ngerasa... sesuatu bakal berubah besar. Bukan cuma buat kita, tapi buat dunia. Kita masuk ke wilayah yang nggak pernah disentuh manusia modern.”
“Dan nggak ada jalan mundur,” gumam Bagas.
Dira menatap langit. Awan gelap menggantung berat, tapi di celahnya ada satu cahaya bintang yang menembus.
“Besok pagi kita berangkat. Ke ujung dunia.”
Bersambung.....