Ini kisah tentang sepasang saudara kembar yang terpisah dari keluarga kandung mereka, karena suatu kejadian yang tak diinginkan.
Sepasang saudara kembar yang terpaksa tinggal di Panti Asuhan dari usia mereka dua tahun. Akan tetapi, setelah menginjak usia remaja, mereka memutuskan untuk keluar dari Panti dan tinggal di kontrakan kecil. Tak lupa pula sambil berusaha mencari pekerjaan apa saja yang bisa mereka kerjakan.
Tapi tak berselang lama, nasib baik mereka dapatkan. Karena kejadian tanpa sengaja mereka menolong seseorang membuat hidup mereka bisa berubah 180 derajat dari sebelumnya.
Siapa yang menolong mereka? Dan di mana keluarga kandung mereka berada?
Apa keluarga kandung mereka tidak mencari mereka selama ini?
Ayo, ikuti kehidupan si kembar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penpurple_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HATE THIS FEELING
“Kalung?”
Nanda mengangguk. “Iya, Kak. Kalung pakai tali hitam, mainannya kayak kayu ukiran panjang. Nah, disitu ada nama kita masing-masing, ibu jadinya ambil nama kita dari situ aja katanya.”
Nata jadi memperhatikan sekitar leher Nanda, membuat gadis itu terkekeh melihatnya. “Kalungnya aku simpen, Kak, yang Nando juga aku yang nyimpen.”
“Oalah, kenapa nggak dipakai aja?”
“Udah kecil, Kak, talinya. Udah nggak muat lagi di leher kita,” jeda Nanda tertawa kecil, lagi. ”Biar nggak ilang juga karena kalo semisal teledor nanti siapa tau bakal putus, terus jatuh di jalan, mending aku simpen,” lanjutnya membuat yang lebih tua paham.
Klik
Oke, Nata mematikan tombol rekam. Sudah cukup, pikirnya. Benar, dia memang sedari tadi merekam semua obrolan mereka menggunakan handphone-nya yang dia letakkan di samping kirinya dengan layar mati.
Tak tau saja Nata, kalau Nanda sadar gerak-gerik dan pertanyaan yang dia lakukan.
“Makasih, ya, Dek, udah mau dijawab,” ujar Nata, gadis itu tersenyum. “Iya, Kak, santai. Ini udah siap semuanya, ayo ke sana lagi," ajak Nanda dan Nata mengangguk menyetujui.
***
Saat ini semuanya sudah berkumpul di sofa depan televisi. Mereka memulai perbincangan sedari tadi. Lebih tepatnya Tama yang banyak bertanya pada si kembar. Nata juga ikut-ikutan dan Nanda hanya menjawab seadanya saja. Nando dan Naldo yang memang tidak banyak bicara hanya sesekali merespon.
Tak terasa sudah hampir dua jam mereka main ke Apartemen si kembar. Naldo tadi sudah mendapat chat dari ayahnya untuk menyuruh mereka agar segera pulang. “Pulang, disuruh ayah,” kata Naldo pada kedua adiknya. Tama dan Nata tampak cemberut. “Bentar lagi lah, Bang,” pinta Tama memelas.
Naldo bergerak menekan tombol panggilan tertuju pada Aditya. Setelah pria di sana mengangkatnya, dia menyerahkan handphone-nya pada Tama, membuat pemuda itu gelagapan dan menggeleng tak mau menerimanya.
“Izin kalo belum mau pulang,” jelas Nando dengan nada dingin. Tama lantas menempelkan handphone itu ke telinganya.
“Halo, Ayah. Boleh nggak pulangnya satu jam lagi?” tawarnya pada Aditya di seberang sana.
“Pulang sekarang, Tama, sudah lumayan lama kalian di sana,” titah Aditya mutlak dan mau tak mau Tama menghela nafas pasrah mengiyakan. Nanda terkekeh melihatnya. “Iya, Ayah, lima belas menit lagi sampai Mansion.”
“Ya. Berikan handphone ini pada mereka.” Mereka yang dimaksud Aditya adalah Nanda dan Nando. Tama memberikannya pada Nanda dahulu, tapi Nanda tak kunjung menerimanya.
“Ayah mau ngomong sama kamu, Dek,” jelasnya tambah membuat Nanda mengernyit.
“Ayah?” beo Nanda tak mengerti. Tama menghela nafas, lalu menjelaskan, “Ayah Adit, Dek, yang kemarin itu, lho, om Adit.”
Walau masih dengan wajah heran, Nanda menerimanya. “H-halo, Om?” sapanya setelah menempelkan handphone itu ke telinganya.
Aditya tertegun mendengarnya. “Ah, halo, Nak. Saya minta maaf mewakili mereka karena telah mengganggu waktu kalian hari ini, ya,” ujarnya yang memang tidak ada pembahasan mendalam, alasannya saja tadi ingin berbicara pada si kembar. Dia hanya ingin mendengar suara mereka.
“Oalah, nggakpapa, kok, Om. Kita juga nggak sibuk hari ini, fun fun aja. Merekanya jangan dimarahin, ya, Om.”
Aditya di seberang sana tersenyum tanpa sadar. “Ayah, panggil saya ayah,” suruhnya.
Kini gantian jadi Nanda yang tertegun. Terdiam lama dia mendengarnya. Dengan terbata-bata, dia membuka suara.
“A-ayah.” Hanya itu kata yang spontan keluar dari mulut Nanda setelah mendengar suruhan itu tadi. Matanya terpaku dan jadi tak fokus mendengar apa yang Aditya katakan setelahnya.
Nata dan Tama jadi saling lirik dengan senyuman. Pun dengan Naldo yang menarik sedikit bibirnya membentuk senyuman kecil. Tidak dengan Nando yang kini jadi memandang kembarannya dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Ya, Nak, ini Ayah. Ayah tidak akan memarahi mereka, hanya sekedar menyuruh mereka untuk segera pulang saja,” jelas Aditya untuk yang tadi. “Boleh Ayah berbicara dengan Nando?” lanjutnya.
Seakan tersadar, Nanda gelagapan. Tanpa menjawab pertanyaan Aditya, dia langsung saja menyerahkan handphone yang masih terhubung itu pada Nando dengan paksa. Setelahnya dia beranjak dengan tergesa-gesa pergi ke arah toilet dapur tanpa mengatakan sepatah kata apapun.
“Nanda, hey, kamu kenapa?” tanya Nata panik, tetapi Nanda tidak mengubrisnya.
***
“Apaan ini, anjir? Perasaan apa ini? Gue benci kalo perasaan ini muncul lagi,” gerutu Nanda, tangannya bergerak kasar menghapus jejak-jejak air mata yang tiba-tiba saja mengalir di pipinya dengan mata tertuju pada cermin di depannya.
Dia menangis. “Air dari mana, sih, ini?” monolognya masih dengan tangan yang menghapus air matanya yang kini bertambah deras. “Stop lo air, gue kagak nangis, ya, monyet.” Terus saja berbicara sendiri. Setelahnya dia beraup dengan cepat, lalu mengusap wajahnya dengan tisu yang ada di sana.
Tak lama terdengar suara ketukan pintu. “Pey,” panggil Nando yang berdiri di depan pintu toilet. “Apa, Jo? Bentar,” sahut Nanda sembari menatap penampilannya di cermin sekali lagi, sebelum benar-benar membuka pintu toilet itu.
“Kamu ngapain lama di toilet?” Nando mengernyit penasaran.
“Kebelet gue, Jo, tetiba,” balas Nanda sedikit tertawa paksa. Sudah dipastikan kembarannya itu tau kalo dia berbohong. Tapi tak bertanya lebih lanjut.
Nanda berjalan mendahului kembali ke tempat mereka berkumpul tadi. Tapi saat sudah di sana, dia sudah tidak menemukan keberadaan mereka lagi.
“Lah, mereka ke mana, Jo?”
“Pulang,” jawab Nando singkat.
“Kok lo nggak manggil gue dulu?” Si gadis menatap kembarannya dengan mata memicing.
“Sengaja, aku bilangin kalo kamu lagi poop.”
“Wong edan.”
***
— t b c —