Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
Kesabaran Anjani telah mencapai batasnya. Ia berdiri diam, menatap Adrian dengan rahang mengeras. Selama ini, ia bertahan karena Adrian tidak pernah menyakitinya secara langsung, hanya diam dan membiarkan ibunya serta Dita menginjak-injaknya. Tapi kali ini? Tidak lagi.
Dengan mata yang berkilat marah, Anjani mengangkat tangan nya dan plak…!
Tamparan keras mendarat di pipi Adrian ,membuat pria itu tersentak.
"Apa kau pikir aku akan diam setelah kau menamparku ?" suaranya bergetar, penuh luka dan kemarahan yang tertahan selama ini. "Aku sudah cukup sabar, Adrian! Tapi kau lebih memilih percaya pada ibumu dan adikmu daripada mendengar kebenaran dariku!"
Adrian terdiam, dadanya bergemuruh. Ia belum pernah melihat Anjani semarah ini.
"Aku bertahan selama ini karena masih menghormatimu sebagai suamiku," lanjut Anjani dengan mata berkaca-kaca. "Tapi sekarang? Aku mulai bertanya-tanya, apakah kau benar-benar pantas mendapatkan rasa hormat itu?"
Adrian memandangnya tanpa kata. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu menusuk hatinya—rasa bersalah yang selama ini tak pernah disadari.
Kemarahan Anjani memuncak, dadanya naik turun menahan emosi yang sudah tak terbendung lagi. Selama ini, ia diam, menerima semua perlakuan buruk dari keluarga Adrian dengan harapan suaminya akan membelanya. Tapi ternyata, Adrian justru menjadi orang yang paling menyakiti nya.
Dengan suara bergetar, ia menatap Adrian tajam. "Talak aku!"
Adrian tersentak. "Anjani, jangan bicara sembarangan—"
"Aku tidak main-main, Adrian!" Anjani memotong dengan tegas. "Aku sudah cukup bersabar. Aku sudah cukup menahan semuanya. Tapi sekarang, aku sadar… Aku tidak bisa bertahan dengan pria yang lebih memilih percaya pada ibunya dan adiknya daripada istrinya sendiri!"
Adrian membuka mulut, ingin membantah, tetapi tak ada kata yang keluar. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar kehilangan kendali atas keadaan.
Bu Rina dan Dita yang sejak tadi menguping di balik pintu saling melempar pandangan terkejut. Mereka tidak menyangka Anjani akan sampai pada titik ini.
Sementara itu, Anjani tetap berdiri tegak, menatap Adrian dengan penuh luka dan ketegasan. Kali ini, ia tidak akan mundur. Jika Adrian tidak bisa menjadi suami yang melindunginya, maka lebih baik semuanya berakhir di sini!
Bu Rina menyeringai dalam hati. Ini kesempatan emas untuk menyingkirkan Anjani dari kehidupan Adrian tanpa harus repot-repot mencari alasan lagi.
Dengan wajah penuh kepura-puraan, ia melangkah masuk ke dapur dan mendekati Adrian. “Kamu dengar sendiri, kan, Adrian? Dia sendiri yang meminta talak. Wanita seperti ini tidak pantas untukmu! Seharusnya sejak awal kamu mendengar kata-kata Mama.”
Dita ikut menimpali dengan nada sinis. “Iya, Kak! Kalau dia ingin pergi, biarkan saja. Jangan dipertahankan istri yang tidak tahu diri seperti dia.”
Adrian masih terpaku, pikirannya kacau. Ia tak pernah membayangkan Anjani akan mengatakan hal itu dengan penuh ketegasan.
Sementara itu, Anjani menatap mereka dengan tatapan dingin. “Kalian tidak perlu berusaha menghasut Adrian. Aku tidak butuh persetujuan kalian untuk pergi dari rumah ini.”
Ia berbalik, berniat meninggalkan dapur. Namun sebelum ia melangkah lebih jauh, Adrian tiba-tiba berkata, “Aku tidak akan menolakmu, Anjani.”
Anjani berhenti, mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia menoleh, menatap suaminya dengan mata penuh amarah dan luka. “Kenapa? Kau sudah tidak menganggapku sebagai istrimu. Apa lagi yang kau tunggu?”
Adrian terdiam. Ia sendiri tidak tahu jawabannya. Namun, ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak melepaskan Anjani begitu saja.
Anjani tertawa kecil, tapi tawanya penuh kepedihan dan ejekan. Ia menatap Adrian dengan sinis, sengaja memprovokasinya.
“Kau tidak mau mentalak aku, Adrian? Kenapa? Karena kau masih ingin mempertahankan status suami yang bahkan tidak bisa melindungi istrinya?” Suaranya tajam, menusuk langsung ke ego Adrian.
Adrian mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Anjani, jangan bicara seperti itu.”
Anjani melangkah mendekat, matanya berkilat penuh kemarahan. “Atau mungkin… kau takut kehilangan seseorang yang selama ini bisa kau biarkan diinjak-injak oleh ibumu dan adikmu? Karena tanpa aku, siapa lagi yang bisa mereka hina setiap hari?”
Bu Rina dan Dita melotot marah, sementara Adrian terdiam, emosinya bercampur aduk.
Anjani tertawa lagi, kali ini lebih keras. “Kalau kau memang laki-laki, Adrian, katakan sekarang. Talak aku! Atau kau terlalu pengecut untuk mengucapkannya?”
Adrian mendadak terjebak dalam dilema. Amarahnya tersulut oleh kata-kata Anjani, tetapi di lubuk hatinya, ada sesuatu yang menahannya untuk benar-benar melepaskan wanita itu.
Amarah menyelimuti Adrian. Kata-kata Anjani menusuk harga dirinya sebagai seorang laki-laki, membuat emosinya meledak tanpa kendali.
Tanpa berpikir panjang, dengan suara lantang dan penuh amarah, Adrian berteriak, "Aku talak kamu, Anjani!"
Ruangan mendadak sunyi. Bu Rina dan Dita saling berpandangan, tak percaya bahwa Adrian benar-benar mengatakannya. Mereka ingin menyingkirkan Anjani, tetapi tidak menyangka akan semudah ini.
Sementara itu, Anjani berdiri diam, tubuhnya terasa ringan seolah beban yang selama ini menghimpitnya telah terangkat. Ia menatap Adrian, matanya basah tapi penuh ketegaran.
“Terima kasih,” katanya lirih, tapi cukup tajam untuk menusuk perasaan Adrian.
Tanpa menunggu reaksi dari siapapun, Anjani berbalik dan melangkah pergi. Ia tidak akan menoleh lagi. Tidak untuk Adrian, tidak untuk keluarga yang selama ini hanya menyiksanya.
Adrian menatap punggungnya yang semakin menjauh. Ada sesuatu dalam hatinya yang tiba-tiba terasa kosong. Namun, semuanya sudah terlambat. Kata-kata itu sudah terucap—dan tidak bisa ditarik kembali.
Anjani melangkah menuju kamar dengan tenang, meski hatinya masih bergejolak. Ia hanya mengambil barang-barang pentingnya—tidak banyak, karena selama menikah dengan Adrian, ia tidak pernah benar-benar memiliki apa pun di rumah ini.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia keluar dari rumah dengan kepala tegak. Bu Rina dan Dita hanya menatapnya dengan tatapan puas, sementara Adrian masih terpaku di tempat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Di luar, udara malam terasa dingin, tetapi Anjani tidak peduli. Ia berjalan ke tepi jalan dan segera menghentikan taksi yang lewat.
"Ke area kos-kosan terdekat, Pak," ucapnya pelan, tetapi penuh tekad.
Taksi melaju, membawa Anjani menjauh dari rumah yang selama ini hanya memberinya luka. Kini, ia tidak tahu kemana hidup akan membawanya, tapi satu hal yang pasti—ia bebas.
Di keluarga Robert, suasana makan malam berlangsung dengan tenang. William duduk bersama kedua orang tuanya, Robert dan Rose, menikmati hidangan yang tersaji di meja makan yang elegan.
Saat tengah menyantap makanannya, William membuka pembicaraan. "Hari ini Anjani melamar pekerjaan di kantor."
Rose yang sedang menyuapkan makanan ke mulutnya tiba-tiba berhenti. Ia menatap William dengan sedikit terkejut. "Anjani? Perempuan yang dulu kita tabrak?"
William mengangguk. "Ya. Aku tidak menyangka dia akan datang ke kantor untuk melamar pekerjaan."
Robert menghela nafas pelan, lalu mengangguk. " Kejadian itu memang berat, tapi Anjani sudah memaafkan kita sejak lama."
Rose meletakkan garpunya dan tersenyum samar. "Ya, dia memang perempuan yang kuat. Aku lega dia tidak menyimpan dendam. Kalau dia ingin bekerja di perusahaan kita, mungkin ini kesempatan baginya untuk memulai hidup baru."
William mengangguk. "Aku juga berpikir begitu. Dari yang kulihat, dia wanita cerdas dan punya tekad kuat. Kurasa dia bisa menjadi aset yang berharga bagi perusahaan."
Robert tersenyum tipis. "Kalau begitu, kita beri dia kesempatan. Tidak ada salahnya membantu seseorang yang sudah begitu tegar menghadapi hidupnya."
Rose menghela nafas lega. "Aku setuju. Semoga ini menjadi awal yang baik bagi Anjani dan juga bagi kita."
Percakapan mereka berlanjut ke hal lain, tetapi dalam hati, Rose tidak bisa berhenti memikirkan Anjani. Ia berharap wanita itu benar-benar menemukan kebahagiaan setelah semua yang telah terjadi.
Robert menatap putranya dengan penuh keseriusan. Dengan suara tenang namun tegas, ia berkata, "Bimbing dia supaya berhasil, Nak. Aku bisa melihat kalau Anjani penuh dengan tekanan. Jika dia memilih bekerja, berarti dia ingin mengubah hidupnya. Keluarkan dia dari penderitaannya."
William terdiam sejenak, mencerna kata-kata papinya. Ia memang memperhatikan bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam sorot mata Anjani saat wawancara tadi—seperti seseorang yang berusaha bertahan, tetapi menyimpan luka dalam yang tak terlihat.
Rose mengangguk setuju. "Iya, Papi benar. Anjani bukan hanya mencari pekerjaan, tapi juga mencari jalan untuk membangun kembali hidupnya. Jika dia memang punya potensi, kita harus membantunya berkembang."
William menarik napas panjang, lalu mengangguk mantap. "Baik, Mami, Papi. Aku akan memastikan dia mendapat kesempatan yang layak. Jika dia ingin bangkit, aku akan membantunya."
Robert tersenyum puas. "Bagus, Nak. Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa membantu seseorang mendapatkan masa depan yang lebih baik."
Percakapan mereka berakhir dengan tekad yang semakin kuat dalam diri William. Ia berjanji dalam hati, jika Anjani benar-benar ingin keluar dari penderitaannya, maka ia akan menjadi orang yang membantunya meraih kesuksesan.
Bu Rina terdiam sejenak, antara tak percaya dan senang dengan apa yang baru saja terjadi. Ia menatap Adrian dengan penuh harapan, lalu berkata dengan suara tegas, "Adrian, ini kesempatanmu untuk menata hidup kembali. Kamu harus melupakan Anjani."
Adrian menghela napas berat, menatap kosong ke arah lantai. Hatinya masih bergejolak, tetapi Mama tidak memberinya ruang untuk ragu.
"Mama nggak mau lihat kamu terpuruk hanya karena perempuan itu," lanjut Bu Rina dengan nada tajam. "Dia sudah pergi, artinya dia nggak pantas buat kamu. Sekarang fokuslah pada masa depanmu. Mama akan cari wanita yang lebih baik untukmu."
Dita yang duduk di sebelahnya tersenyum sinis. "Iya, Kak. Buat apa mikirin Anjani lagi? Dia sendiri yang minta cerai, kan? Udah saatnya Kak Adrian move on."
Adrian mengepalkan tangannya, matanya penuh emosi. Ia tahu seharusnya ia membenci Anjani setelah semua yang terjadi, tapi hatinya berkata lain. Namun, melihat ekspresi puas di wajah Mama dan Dita, ia memilih diam.
Bu Rina tersenyum puas melihat Adrian tidak membantah. Dalam pikirannya, ini adalah awal yang baik—awal untuk memastikan Anjani benar-benar pergi dari kehidupan putranya.
Taksi berhenti di depan deretan kontrakan yang cukup besar. Anjani menatap bangunan sederhana itu dengan napas berat.
"Non, saya hanya tahu kontrakan ini yang dekat dengan perusahaan tempat Non bekerja. Kalau kosan, jaraknya cukup jauh," ujar sopir taksi sambil menoleh ke belakang.
Anjani mengangguk pelan. "Baik, Pak. Terima kasih," ucapnya sebelum menyerahkan uang ongkos dan keluar dari mobil.
Malam semakin larut, dan suasana di sekitar kontrakan tampak sepi. Dengan koper kecil di tangannya, Anjani melangkah masuk, berharap menemukan tempat yang bisa memberinya ketenangan setelah semua yang terjadi.
Setelah melihat-lihat setiap sudut rumah, Anjani akhirnya memutuskan untuk mengambil kontrakan itu. Rumahnya cukup besar, sederhana tapi nyaman, dan lokasinya strategis dekat dengan kantornya.
Tak ingin menunda, ia segera menemui pemilik kontrakan, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah. "Bu, saya ambil kontrakan ini," ucapnya tegas.
Pemilik kontrakan mengangguk senang. "Baik, Nak. Rumah ini memang cocok untuk ditinggali sendiri atau bersama keluarga kecil. Kita urus administrasinya sekarang, ya."
Anjani mengangguk. Ini bukan hanya sekedar tempat tinggal baginya, tetapi juga awal dari kehidupan baru yang akan ia jalani sendiri, tanpa bayang-bayang penderitaan masa lalu.
hrs berani lawan lahhh