Kevin Xander AdiJaya adalah cowok yang sangat susah mendapatkan kebahagiaan yang tulus dalam hidupnya. Kevin selalu di setir oleh papah angkatnya sehingga membuatnya menjadi sangat muak dan memutuskan untuk pergi dari rumah.
Namun Kevin masih bertahan sejauh ini karena ada satu wanita di hidupnya, yaitu Adara Syila Alterina. Namun Kevin selalu gengsi menunjukan perasaannya kepada Dara, jadi ia selalu mencari cara agar bisa ribut dengan Dara.
Sampai suatu hari ada sepasang suami istri yang mengaku sebagai orang tua kandung Kevin, siapakah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang Menilai Hanya Dari Mata
Kevin menunduk. "Tidak ada, Pak."
Saksi yang dipilih guru tadi masuk dan langsung berkata, “Saya lihat sendiri, Pak. Rony cuma nggak sengaja nyenggol Kevin. Dia udah minta maaf, tapi Kevin langsung mukul dia.”
Kevin langsung menatap tajam. Ia mengenali siswa itu, anak suruhan Rony.
Guru itu menghela napas berat. “Kevin, ini sudah kelewatan. Kamu akan mendapat surat peringatan. Lain kali, kendalikan emosimu.”
Kevin diam. Wajahnya penuh amarah yang tertahan. Ia tahu, dunia ini terlalu memihak pada yang "terlihat baik" di luar.
Tanpa sepatah kata, ia mengambil surat itu, lalu berdiri dan keluar ruangan, meninggalkan guru itu yang masih mengocehinya.
Di luar, Dara menunggunya. Saat melihat surat di tangan Kevin, ia langsung meraihnya dan membaca cepat.
"Surat peringatan?" Dara bertanya tajam.
Kevin hanya mengangguk.
"Dasar keterlaluan!" Dara mendengus kesal. Ia meraih tangan Kevin dan menariknya menjauh dari kerumunan.
Saat mereka berjalan, suara bisik-bisik terdengar di mana-mana. Siswa-siswa bergosip, menunjuk-nunjuk Kevin, menghakimi.
Kevin berhenti melangkah, menatap sekelompok siswa yang sedang membicarakannya.
Wajahnya berubah tegang. Sorot matanya tajam, lalu ia berjalan menghampiri mereka.
Seketika, anak-anak itu langsung bubar berlarian, ketakutan.
"Jangan, Kev..." bisik Dara sambil memegang lengannya. "Nggak usah dengerin mereka."
Kevin masih terdiam, napasnya berat. Ia menatap Dara.
"Ayo," katanya pelan, tapi mantap. "Ke rooftop. Aku butuh udara."
Dara mengangguk. Mereka pun melangkah bersama menuju rooftop, di iringi dengan gosipan-gosipan panas.
Begitu langkah mereka menjejak lantai rooftop sekolah yang sepi, Kevin segera menutup pintu besi di belakang mereka dengan pelan.
Angin santai membelai lembut rambut Dara, membawa aroma khas yang baru saja turun perlahan. Kevin menatap langit sebentar, seolah sedang mencari ketenangan di balik awan yang bergulir pelan.
“Dara...” suara Kevin terdengar lirih, nyaris tenggelam oleh desir angin. “Boleh... aku peluk kamu?”
Dara menoleh pelan, menatap wajah Kevin yang tampak kusut oleh emosi. Ia bisa melihat luka yang tak kasat mata di balik sorot matanya. Tanpa banyak kata, Dara mengangguk pelan dan merentangkan tangannya.
“Ke sini,” ucapnya lembut.
Kevin melangkah pelan, lalu memeluk Dara erat. Kepalanya bersandar di bahu gadis itu, sementara kedua tangannya menggenggam kuat punggung Dara, seolah mencari perlindungan dari dunia yang terasa begitu tidak adil.
“Aku tahu... nggak akan ada yang bela aku,” gumam Kevin di pelukan Dara. “Mereka semua pasti belain ketua OSIS sialan itu...”
Dara mengelus pelan punggung Kevin, lalu naik ke rambutnya, membiarkan tangannya menenangkan laki-laki yang tengah terluka itu.
“Kev... sebenernya apa yang terjadi? Bisa kamu ceritain ke aku?...” bisiknya pelan, nyaris seperti bisikan angin.
Kevin menghela napas panjang, lalu melepaskan pelukannya sedikit agar bisa melihat wajah Dara, meski ia masih belum siap sepenuhnya melepaskan kehangatan itu.
“Tadi pas di kantin aku lagi Bawa semangkok bakso panas, dan... Rony nyenggol aku. Sengaja. Itu bukan pertama kalinya, Dar...” ucap Kevin, suaranya mulai bergetar.
“Maksud kamu?” tanya Dara hati-hati, alisnya mengernyit.
“Inget nggak waktu kita belajar di taman? Yang kamu balik ke kelas duluan dan bukumu ketinggalan di aku?” Kevin menatapnya sejenak, memastikan Dara mengingat.
Dara mengangguk pelan. “Iya, aku inget.”
“Pas bel masuk, aku bawa bukumu ke kelas. Nah, waktu aku jalan di lorong, aku papasan sama Rony. Dia nyenggol bahu aku sampai bukumu jatuh. Nggak ada minta maaf atau apa, dia jalan aja gitu, kayak nggak bersalah.”
“Terus?” suara Dara terdengar makin cemas.
“Aku tegur dia. Dia bilang ‘sorry’, tapi ya gitu... sambil jalan, nggak ada rasa bersalah sama sekali. Terus aku tahan emosi, Dar. Tapi tadi... dia keterlaluan banget.”
Dara menggenggam tangan Kevin erat. “Dia ngapain?”
Kevin menunduk. Suaranya nyaris tercekat saat ia berbicara.
“Dia bilang... mamah aku pelacur. Dan papah aku koruptor.”
Dara terdiam. Jantungnya serasa berhenti berdetak sejenak. Ia bahkan tidak yakin ia mendengar dengan benar.
“A—apa?” bisiknya nyaris tak terdengar.
“Iya,” Kevin mengangguk pelan, matanya memerah. “Padahal itu semua bohong. Mamah aku nggak kayak gitu, Dar. Papah aku... mungkin...iya aku nggak terlalu suka dia, tapi dia bukan koruptor. Aku tahu itu.”
Dara menatap Kevin dengan syok. Kata-kata itu terlalu kejam. Tak bisa ia percaya seseorang seperti Rony, ketua OSIS yang selama ini dikenal sopan, pintar, dan ramah, bisa melontarkan kalimat sebusuk itu.
“Tapi... Kev... itu beneran Rony? Ketua OSIS kita itu?” Dara mencoba memastikan, meski hatinya sudah tahu jawabannya.
Kevin hanya mengangguk pelan. “Kamu pikir aku bakal ngarang, tadi kamu juga liat sendiri,kan?”
“Bukan gitu maksud aku... Iya, tadi aku liat” Dara buru-buru menggeleng. “Aku cuma... kaget. Maksudnya, semua orang di sekolah ini lihat Rony sebagai cowok sempurna. Dia sopan, dia rajin, dia... dia nggak pernah kelihatan kayak orang yang bisa ngomong sejahat itu.”
Kevin tersenyum miris. “Itu dia. Semua orang liat dia dari luar. Tapi aku... aku lihat sisi lain dia yang orang lain nggak lihat.”
Dara menatap Kevin dalam-dalam. Ada luka yang terlalu dalam untuk bisa ditambal dengan sekadar kata-kata. Tapi setidaknya, ia bisa menjadi seseorang yang hadir di saat Kevin merasa semua orang menjauh.