Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Tuan Guling, Penjaga Tanah Terlupakan
Langit mulai meredup saat Reno dan Ajo tiba kembali di desa. Raut wajah mereka tegang, tapi juga dipenuhi tekad. Informasi dari Mang Idun membuat segalanya jauh lebih besar dari yang mereka duga.
“Tuan Guling...” gumam Reno. “Dukun tanah yang tak bisa mati. Gila. Ini udah kayak cerita dongeng nenek-nenek.”
Ajo menatap ke arah bukit kecil di sebelah utara desa. “Tapi kita nggak bisa lari sekarang, Ren. Kalau Palasik cuma pembuka, berarti yang lainnya bisa lebih buas. Apalagi yang ada di bawah balai desa.”
Mereka tak langsung menuju lokasi Tuan Guling. Reno memutuskan untuk menemui Pak Samin terlebih dulu. Rumah Pak Samin diselimuti aroma dupa dan bunyi ketukan kayu dari dalam.
“Masuklah,” suara tua itu terdengar dari dalam.
Reno dan Ajo duduk bersila di atas tikar pandan.
“Kami sudah dari rumah Mang Idun,” kata Reno membuka pembicaraan. “Ia menyebut nama Tuan Guling.”
Pak Samin menunduk, lama.
“Dulu, saat aku masih muda, Tuan Guling adalah orang sakti di desa tetangga. Tapi ia tamak. Ia menggali ilmu dari tanah, memanggil kekuatan lewat kurban darah. Saat ia diadili oleh para dukun, ia dikutuk: tubuhnya tak bisa hancur, jiwanya tak bisa pergi.”
“Di mana dia sekarang?” tanya Ajo.
“Di tepi hutan Ujung Kampar. Ada gubuk tua. Kalau kalian ingin menemuinya, bawa air dari tiga sumber: pancuran, sumur tua, dan kolam hitam. Itu syaratnya.”
Reno mencatatnya. “Kami akan pergi besok.”
Keesokan harinya, mereka memulai perjalanan. Mula-mula mereka menuju Pancuran Limo—sumber mata air yang mengalir dari celah batu. Setelah itu ke sumur tua di belakang rumah bekas kepala desa yang telah lama kosong. Sumur itu dalam dan dikelilingi semak berduri.
Yang terakhir adalah kolam hitam, terletak jauh di dalam hutan kecil. Airnya berwarna gelap, seperti lumpur yang tak pernah jernih. Ajo meneguk ludah.
“Ini air apa minyak?”
Reno hanya menampung secukupnya ke dalam botol kaca. “Yang penting lengkap.”
Perjalanan menuju Ujung Kampar memakan waktu hingga senja. Hutan mulai sunyi. Angin hanya berhembus pelan. Di bawah sebuah pohon besar, mereka melihat sebuah gubuk berdinding anyaman bambu, sebagian sudah lapuk.
“Aku harap dia nggak makan orang,” bisik Ajo.
“Kalau dia makan orang, kita bawa Ajo duluan,” ujar Reno ringan.
Reno melangkah ke depan. Dengan tenang, ia mengetuk pintu kayu yang hampir copot dari engselnya.
Lama tak ada jawaban. Lalu suara berat, hampir seperti napas tanah basah, terdengar dari dalam:
“Masuklah, anak-anak yang mencari jawab.”
Pintu terbuka. Di dalam ruangan gelap hanya ada satu sosok yang duduk di atas lantai tanah. Tubuhnya kurus, hampir tinggal tulang dan kulit. Tapi mata... mata itu menyala kuning samar.
“Kalian bawa air dari tiga sumber?”
Reno mengangguk dan menunjukkan botol-botol itu. Sosok itu tersenyum tipis.
“Aku adalah Guling. Penjaga yang terlupakan. Yang dikutuk, yang pernah besar dan kini... tinggal diam.”
Ajo gemetar, tapi mencoba tetap tenang. “Kami mencari tahu siapa yang mencoba membuka segel kuno.”
Tuan Guling menunduk, lalu mencium salah satu botol.
“Orang itu... belum lama datang padaku. Membawa seekor burung gagak yang sudah mati dan darah dari anak kecil. Dia meminta pengetahuan tentang ‘jalan darah’.”
Reno tersentak. “Jalan darah?”
“Itulah jalur yang menghubungkan tiga titik segel: Bukit Merundung, Rawa Gunung, dan Lubuk Mati. Jika ketiganya terbuka... tubuh-tubuh dari masa lalu akan mencari kepala-kepala baru.”
“Siapa dia?” tanya Reno.
Tuan Guling tersenyum tipis. “Ia pakai topeng. Tapi dari caranya bicara... dia pernah hidup di desa ini. Mungkin kau kenal ayahnya.”
Reno menahan napas. “Kau bisa bantu kami?”
“Tidak,” jawab Tuan Guling. “Tapi aku bisa memberi kalian nama.”
Ia mencoret tanah dengan jarinya, lalu menulis huruf-huruf samar: R A K A S A.
“Dia yang mengatur. Dia yang membuka. Cari dia sebelum bulan purnama berikutnya.”
Ajo meneguk ludah. “Rasa-rasanya kita kayak nyari siluman beneran.”
Tuan Guling perlahan berdiri. Tubuhnya seperti tak punya tulang. Ia berjalan ke arah pintu dan menatap mereka dengan matanya yang tak berkedip.
“Pergilah. Sebelum tanah ini bicara sendiri.”
Mereka meninggalkan gubuk itu tanpa suara. Malam semakin gelap, dan suara burung malam terdengar seperti bisikan pelan di telinga mereka.
Reno berjalan pelan, tapi pasti.
“Siapapun RAKASA, kita harus temukan dia.”
Pagi datang dengan sunyi yang mencurigakan. Desa Rambahan seperti menahan napas. Tak ada suara ayam, tak ada derit roda gerobak. Bahkan angin seolah enggan bertiup.
Pak Leman, kepala dusun, berdiri kaku di depan lumbung padi milik warga. Mukanya pucat, matanya membelalak tak percaya. Beberapa warga sudah berkumpul, tapi tak berani mendekat.
Reno dan Ajo yang baru pulang dari perjalanan panjang, segera mendekat begitu mendengar keributan.
“Ada apa, Pak?” tanya Reno.
Pak Leman menunjuk ke dalam lumbung. Di antara karung-karung padi yang tersusun rapi, tampak sebuah lubang menganga seperti liang. Di dasar lubang, genangan darah segar menghitam. Dan lebih dari itu, di dinding kayu bagian dalam, terdapat coretan aneh: simbol seperti mata terbalik dengan garis bercabang ke bawah.
“Ini... ini bukan kerja maling biasa, Ren,” gumam Ajo.
Reno merapatkan alis. Ia mendekat dan melihat bekas cakaran pada kayu. “Ini jejak... bukan manusia.”
Pak Leman berkata pelan, “Semalam, warga dengar suara tangisan dari arah lumbung. Kami kira suara bayi. Tapi siapa yang letakkan bayi di lumbung?”
Seorang ibu tiba-tiba menjerit, memeluk anaknya. “Pak, jangan bilang itu suara pancingan! Yang katanya dipakai hantu kepala untuk ngeluarin korban dari rumah!”
Kata-katanya mengguncang semua yang hadir. Reno menarik napas panjang. “Kita harus jaga malam ini. Kalau Palasik memang sudah mulai beraksi terang-terangan, kita nggak bisa tinggal diam.”
Malam hari, Reno, Ajo, dan beberapa pemuda desa berjaga di sekitar lumbung. Mereka membentuk lingkaran dengan obor kecil dan menyan yang dibakar.
Di sisi timur, Ajo duduk dengan Aris, seorang pemuda baru dari dusun tetangga yang berkarakter humoris tapi waspada.
“Jadi kalau Palasik itu kepala doang, dia ngunyahnya gimana?” bisik Aris sambil menatap gelap.
Ajo melirik kesal. “Kau ini, orang tegang malah ngajak bercanda.”
“Ya biar nggak beku otak. Nih, kalau kepala doang muncul, kita ajak main kelereng, gimana?”
Reno tertawa kecil di kejauhan. “Boleh juga idemu, Ris. Tapi jangan sampai diajak main petak umpet, nanti kita yang hilang.”
Suasana memang menegang, tapi tawa kecil membantu mereka tetap fokus.
Menjelang tengah malam, seekor anjing menggonggong keras dari ujung desa. Gonggongan itu disusul angin dingin yang berembus menusuk tulang.
Obor mulai meredup. Api seolah ditiup dari atas.
“Jaga lilin!” teriak Reno.
Lalu, dari kejauhan, terdengar suara... tangisan bayi. Tapi nadanya aneh. Seperti tangisan yang ditarik-tarik, tidak wajar.
Aris berdiri kaku. “Itu bukan suara manusia, Ren...”
“Semua tetap di tempat!” teriak Reno.
Tapi suara tangisan itu makin dekat... makin menusuk telinga.
Dari arah sawah, muncul bayangan merah menyala. Sebuah kepala—melayang, dengan rambut panjang acak-acakan, mata menyala merah, dan usus menggantung dari lehernya yang buntung.
“PALASIK!” teriak seseorang.
Warga berlarian, tapi Reno tetap berdiri. Ia menaburkan abu hitam pemberian Mang Idun ke tanah di sekelilingnya.
Makhluk itu melayang rendah, lalu berhenti saat menyentuh abu. Ia menjerit, terdengar seperti ribuan jeritan dalam satu suara.
“Jangan biarkan dia keluar dari lingkaran!” teriak Reno.
Ajo dan Aris segera menutup sisi lingkaran yang nyaris jebol. Aris, meski ketakutan, sempat nyeletuk, “Kalau tahu bakal begini, mending aku lanjut kerja di tambak aja!”
Palasik itu meronta, lalu melesat naik ke langit. Tapi sebelum pergi, ia menyambar satu karung padi dan melemparnya ke arah Reno.
Karung itu pecah, dan dari dalamnya... bukan padi yang keluar. Tapi potongan boneka-boneka kecil dari jerami, masing-masing bertuliskan nama.
Salah satunya bertuliskan: RAKASA.
Reno mengambil boneka itu. “Dia tandai siapa yang akan dimangsa.”
Ajo menggumam, “Dan nama itu muncul lagi.”
Aris menelan ludah. “Kayaknya kita butuh lebih banyak abu. Dan... satu karung humor, biar nggak gila.”
Malam itu mereka berjaga sampai fajar. Tapi satu hal jelas—Palasik kini sudah mulai bermain di siang terang.
Dan bayangan RAKASA semakin menghantui mereka semua.
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...