Semua wanita pasti menginginkan suami yang bisa menjadi imam dalam rumah tangganya, dan sebaik-baiknya imam, adalah lelaki yang sholeh dan bertanggung jawab, namun apa jadinya? Jika lelaki yang menjadi takdir kita bukanlah imam yang kita harapkan.
Seperti Syahla adzkia, yang terpaksa menikah dengan Aditya gala askara, karena sebuah kesalahpahaman yang terjadi di Mesjid.
Akankah syahla bisa menerima gala sebagai imamnya? ataukah ia memilih berpisah, setelah tahu siapa sebenarnya gala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Syahga 11.
Syahla benar-benar kaget mendengar suaminya yang menjadi imam di mesjid, ia sendiri yang paling dekat-pun belum pernah melihatnya shalat, apa benar itu suaminya?
Kepalanya berputar mengingat-ingat kembali namun tetap saja, syahla tak menemukan sosok suaminya yang tengah shalat dalam penglihatannya.
"Ya sudah ibu-ibu, saya pamit masuk kedalam," ujar Syahla berpamitan pada ibu-ibu yang menyapanya itu.
"Iya neng, jangan lupa ya. Kirim salam buat pak imam gala," sahut ibu cicin sambil tertawa nakal.
Syahla tak menyahutnya, ia justru melangkahkan kakinya untuk segera masuk ke dalam rumahnya. Ia tak suka dengan mereka yang sudah punya suami tapi masih genit pada suami orang, juga mereka selalu mengghibah orang seenaknya seolah mereka suci tanpa dosa.
Mungkin itulah pekerjaan emak-emak zaman sekarang kalau sudah berkumpul dengan teman sefrekuensi, ngomongin orang dan tak ingin terkalahkan dengan apa yang orang pamerkan.
Syahla menyimpan lauknya dilemari makanan dan menyisihkan beberapa barang yang akan dibawanya kekamar.
Gadis itu membuka pintu kamar dengan kasar hingga terdengar suara derit pintu yang kencang, gala yang tengah tidur-pun terbangun mendengar suara tersebut.
Ia itu duduk di tepi ranjang, melepaskan tas punggungnya lalu menaruhnya disampingnya dengan sedikit kasar.
Gala yang melihatnya pun merasa bingung, tapi dalam hati ia berdecak sebal.
"Gini nih, paling gue gak suka sama cewek. mendadak ceria, mendadak nangis, mendadak ngambek besoknya senyum-senyum sendiri kek kesambet kunti aja," gumamnya dalam hati.
"Mas gala, kok gak bilang kalau tadi jadi imam mesjid?" tanya Syahla dengan bibir cemberut tanpa menoleh.
Lelaki itu mengernyitkan alisnya, wanita ini pulang-pulang udah tensi hanya gegara dirinya jadi imam mesjid. Gala bangun lalu duduk tepat dibelakang syahla.
Gala menghela nafas berat seberat beban pikulnya.
Beruntungnya ia masih ingat tata cara shalat kalo gak, ia sudah jadi udang matang didepan banyak orang.
"Oh, itu. Gue terpaksa, karena ilham bikin rencana malu-maluin gue. Terus kenapa emang?" jawab Gala seadanya.
"Sasa juga mau di imam-in shalat sama mas gala," kesah Syahla menengok kebelakang lalu kembali ke posisi awal.
Ia merasa iri, karena baru beberapa hari menikah dirinya belum pernah diimami oleh suaminya, ia juga sempat pikir suaminya tak bisa shalat tapi nyatanya ia bisa dan mereka bilang suaranya merdu, kan syahla juga penasaran dengan suara suaminya kala melantunkan kitab suci.
Gala terdiam, memang ucapan syahla tak salah karena suami adalah imam dan istri adalah makmum, sudah seharusnya ia sebagai suami menjadi imam bagi istrinya termasuk dalam ibadah.
Entah kenapa? Ada secuil rasa bersalah saat mendengar keinginan syahla, gadis itu seakan membuka mata hatinya untuk kembali menjalankan ibadah seperti dulu.
"Ya Sudah, nanti malam kita sholat bareng," ujar Gala akhirnya.
Bibir syahla yang manyun mendadak berubah menjadi senyum yang mereka indah, ia berbalik lalu tiba-tiba saja memeluk suaminya.
Gala yang tak menyangka akan mendapatkan perlakuan tersebut hanya diam dengan mata melebar. kedua tangannya yang hampir saja mendorong malah bertumpu kebelakang, karena aksi istrinya yang tiba-tiba itu memaksanya untuk bersiaga.
Namun, melihat syahla yang memeluknya erat membuat jantungnya mendadak tak karuan, tiba-tiba saja bekerja berkali-kali lipat dengan nafas yang memburu seolah ia sudah berlari sejauh kiloan meter.
Syahla menatap suaminya dengan senyuman manis kemudian melepaskannya. "Makasih ya, mas," ucapnya lalu beranjak dari tempat duduknya.
Gala masih berada dalam posisinya, ia masih terkejut karena baru kali ini rasanya dipeluk oleh wanita lain selain ibu, adik-adiknya dan juga keluarganya yang lain.
tangannya luruh dan ia menghembuskan nafas lega, perlahan ia merebahkan tubuhnya tanpa bantal sembari menatap langit-langit kamarnya.
"Lama-lama gue bisa stroke kalo begini terus," gumamnya lalu memejamkan matanya.
Sesuai janji tadi sore, gala dan syahla akhirnya bisa shalat bareng. Lantunan ayat-ayat yang keluar dari bibir lelaki itu membuat gadis itu terharu, rasa syukur dihatinya terus terucap setelah ibadah itu terlaksana.
Imam yang ia harapkan sudah berada disampingnya membuatnya semakin enggan untuk berjauhan, juga ikut ke jakarta bukanlah hal yang akan ia sesalkan kelak, ia benar-benar siap untuk menjadi istri sholehah gala secara lahir dan batin.
Mereka bersalim kemudian dilanjutkan oleh do'a bersama, sebagai pasutri tentu mereka mendo'akan rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah.
Saat dua insan itu sibuk berdo'a, pintu terbuka menampakkan kang mus yang baru pulang dari pasar. Ia melangkah masuk kedalam rumah, menyisir tiap sudut hingga pemandangan indah menyapa indera penglihatannya.
Keraguan dihatinya tentang gala seakan pudar melihat pasangan itu tengah mengangkat tangannya dan berdo'a pada sang khalik.
Ia terenyuh melihat putrinya tersenyum, gala berbeda dengan ilham ia yakin itu. Ia masuk kekamarnya tanpa mengganggu mereka, disana ia lihat istrinya sudah tidur dengan telentang dan suara dengkuran yang biasanya ia dengar tiap malam.
Kembali pada pasangan menten anyar itu, gala dan syahla kini sudah merebahkan tubuh mereka di ranjang yang sama. Sempit bukan masalah bagi gala ia sudah terbiasa hidup susah sejak kecil, di panti asuhan yang mengajarkannya tentang arti hidup yang bahkan sudah ia lupakan.
"Mas, sudah tidur belum?" tanya Syahla.
"Belum," sahut Gala.
"Kenapa mas gak pernah shalat?" tanya wanita itu.
Mata gala yang tadinya terpejam kini terbuka mendengar pertanyaan istrinya, entahlah, gala pun tak begitu ingat yang jelas kesibukannya bertambah kala perusahaan pangan berada dibawah kendalinya.
"Gue sibuk," jawab lelaki itu yang kemudian memiringkan tubuhnya menghadap syahla.
Tentu gadis itu pun mengikutinya dan mengubah posisi tidurnya hingga wajah mereka saling berhadapan.
"Gue sejak lahir tinggal di panti asuhan, gue punya lima adik yang merepotkan. Mereka masih meminta jajan pada gue, jadi gue harus kerja," ujar Gala membuat syahla terkejut.
Cukup itu saja yang syahla tahu, untuk yang lainnya biar nanti saja gala cerita karena hatinya belum ada cinta yang tumbuh, ia hanya berusaha bertanggung jawab itu saja.
Syahla merasa iba, ia jadi tak nyaman menanyakan hal itu pada suaminya tapi dari pada ia penasaran kan lebih baik bertanya namun dalam hati terdalam ia merasa kagum.
"Jadi, jika nanti ada bocah bangor yang datang ke rumah kita, elo getok kepalanya biar dia tahu diri," ujar Gala lagi.
Syahla terkekeh pelan. "Kasihan-lah, mas. Masa kepalanya digetok," ujarnya.
"Hobinya minta jajan, jadi elo harus ekstra sabar meladeninnya. Kalo gak dikasih ia akan pura-pura tantrum, pahamkan!" kata Gala lagi.
Syahla mengangguk pelan.
"Bagus sekarang ayo tidur! Besok kan kerja," ajak Gala mengusap puncak kepala istrinya dengan pelan.
"Aku udah resign, jadi aku free mulai besok. Kan mau jadi istri sholehahnya mas gala," tutur Syahla tersenyum tenang seakan pilihannya adalah yang terbaik.
"Jadi, elo bener-bener mau ikut ke jakarta?" tanya Gala bertanya untuk meyakinkan istrinya.
"Hem, kan istri harus ikut suami. Jadi aku akan ikut kemana suamiku pergi," ucap Syahla dengan mantap.
Gala merasa bersalah tapi ia tak bohong tentang dirinya yang tinggal di panti asuhan sejak lahir, namun mengapa ia merasa tak nyaman.
Andai syahla tahu tentang siapa dirinya, akankah keputusannya tetap sama.
Entahlah gala pun tak tahu, yang jelas itu lebih baik dari pada tinggal di rumah keluarga syahla yang justru hanya akan di jadikan babu.
Mereka terpejam setelah cukup lama mengobrol, dengan saling berpelukan yang entah siapa yang memulai.
Tiga hari berlalu, paket yang gala minta akhirnya datang ke rumah sederhana tersebut, ada alesia dan ilham yang menyambut kedatangan paket mewah milik gala.
Mereka berdua bingung tapi alamat yang ditujukan tidaklah salah, namun tetap saja kepala mereka bertanya-tanya, Apa benar semuanya milik kakak iparnya?
Ada paket ponsel dengan logo apel tergigit, ada mobil BMW yang terparkir di halaman rumahnya juga beberapa barang yang sudah alesia kira adalah barang-barang mahal.
Pasutri itu saling tatap dengan wajah yang sama-sama bingung, mereka melihat-lihat kembali paket-paket tersebut tanpa ijin pemiliknya.
Bukan mereka yang suruh tapi bu luna yang penasaran tentang paket-paket tersebut, hingga mau tak mau mereka pun membukanya.
"Jadi si gala itu orang kaya atau pura-pura kaya?" tanya Alesia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Pasti kaya, tak mungkin paket-paketnya datang ke alamat rumah kita," sahut bu luna melirik jam tangan dengan merk terkenal.
Wanita paruh baya itu lalu memakainya tanpa malu, dan memamerkannya pada anak dan menantunya.
Alesia dan ilham hanya diam, sore-sore begini mereka dikejutkan oleh banyak paket dan pemiliknya sedang pergi entah kemana.
"Mah, sudah masukin itu punya orang," ujar Ilham menasehati.
"Diam kau!" bentak bu luna pada menantunya lalu ia tertawa.
"Kenapa? Kau iri, iya. Karena tak mungkin sanggup membeli barang-barang ini," sindir bu luna dengan tajam.
Ilham merasa tersinggung, ia tak menyangka ibu mertuanya itu gila kekayaan bahkan sudah berani membanding-bandingkannya dengan pria yang tak ia suka, gala.
"Bukan gitu, mah. Gimana kalo semua barang ini hasil korupsi, mamah juga kan yang jadi ikut masalahnya," papar Ilham mengira-ngira.
"Betul juga sih, mah. Kata mas ilham," timpal Alesia.
"Siapa maksudmu yang korupsi?" suara bariton tegas membuyarkan mereka dari luar bersamaan dengan pintu terbuka.
Gala dan syahla masuk kedalam rumah yang sudah ada tiga orang yang tengah bercengkeram sambil melihat barang-barangnya, lelaki itu lihat paketnya sudah dibuka dan bahkan arloji miliknya di pakai soleh ibu mertuanya.
"Tolong, ya. Lain kali jangan bukain barang-barang milik orang lain, membukanya lalu memakainnya seenaknya," tegas Gala sekali lagi.
Mereka gelagapan melihat gala yang menatap tajam, ditangannya sudah ada beberapa kresek yang berukuran besar.
Aroma lauk yang gala pesan mengusik indera penciuman milik bu luna ia tahu itu adalah makanan kesukaannya.
Gegas ia bangkit dan mendekati anak tiri dan menantunya, ia menelan salivanya kala aroma itu semakin kuat.
"Nak, kalian membeli ayam bakar ya?" tanya bu luna hendak meraihnya namun segera gala menyingkirkan tangannya.
"Ini untuk kami, kalo kalian mau kalian beli saja sendiri, serakah amat jadi orang," sindir Gala.
Bu luna terdiam, sudah lama ia tak makan ayam bakar karena suaminya masih dalam mode marah.
"Eh, gala. Jangan sombong jadi orang, kalo di usir ayah kalian nyesel nanti," sela Alesia dengan tinggi hatinya ia yakin ayah nya akan mengusir kakak tiri dan iparnya.
"Tenang saja, kami memang berniat pergi dari sini makanya gue suruh bawahan bawa mobil dimari. Kalian kalo miskin jangan ngaku kaya," ujar Gala menyindir mereka.
Semua orang menciut, tapi bukan mendengar ucapan gala melainkan kedatangan seorang kepala keluarga, kang mus berdiri dibelakang gala dan syahla.
rambut panjang trus laki.