NovelToon NovelToon
Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Pengasuh / Pengawal / Putri asli/palsu
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Kusuma

Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.

Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 Rencana Mengakrabkan Diri

Herald kembali berdiri di depan kamar Clara. Namun, pikirannya terus berputar, mencari cara untuk mendekati sang putri.

[Hm... langkah pertama, aku harus mengakrabkan diri dengannya. Tapi... bagaimana caranya? Dia bukan tipe yang suka banyak bicara… dan lagi, dia perempuan. Aku tidak terbiasa berurusan dengan lawan jenis.]

Herald menghela napas. Ini bukan tugas yang mudah baginya. Ia tak punya pengalaman berinteraksi dengan perempuan dalam situasi seperti ini, apalagi dengan seseorang seperti Clara—gadis pendiam yang mengurung diri di kamarnya.

[Aku butuh waktu... dan beberapa rencana.]

Saat sedang larut dalam pikirannya, tiba-tiba seseorang mendekat.

"Selamat siang, Tuan Herald," sapa sebuah suara lembut.

Namun, Herald sama sekali tidak menyadarinya.

"Tuan Herald...?"

Tak ada respons.

"Tuan Herald... Tuan Herald... Eh, Tuan—"

"Eh?!" Herald akhirnya tersadar dan menoleh kaget. "Susan?! Sejak kapan kamu di sini?!"

Pelayan itu—Susan—tertawa kecil melihat reaksi Herald. Ia adalah salah satu pelayan di mansion ini dan yang paling sering berinteraksi dengan Clara, terutama karena tugasnya mengantar makanan ke kamar sang putri. Karena sering bertemu saat bekerja, Susan dan Herald pun mulai saling mengenal.

"Aku baru saja datang," jawabnya santai. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu melamun seperti itu? Kau sedang memikirkan sesuatu?"

"Ah, itu..." Herald ragu sejenak, tapi akhirnya mengaku, "Aku sedang memikirkan cara agar bisa akrab dengan Tuan Putri. Tapi sejauh ini, aku tidak punya ide sama sekali."

"Heh?" Susan menaikkan alis, tampak terkejut. "Kau ingin mengakrabkan diri dengan Nona Clara?"

"Ya..."

"Benarkah?" Susan menyilangkan tangan sambil tersenyum geli. "Padahal kemarin-kemarin kau terus mengeluh soal keusilannya. Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Ada angin apa?"

Herald mendesah. "Itu... cerita lama. Memang sebelumnya aku kesal, tapi hari ini aku mengetahui sesuatu yang membuatku berpikir ulang. Selain itu, ini juga bagian dari tugasku sekarang."

"Ah, begitu..." Susan mengangguk paham. "Baiklah, kalau begitu aku akan membantumu mencari cara agar lebih akrab dengannya!"

"Serius?" Herald menatapnya dengan penuh harapan.

"Tentu saja!" jawab Susan dengan semangat.

Mereka pun mulai berdiskusi.

"Yang aku tahu," Susan mulai menjelaskan, "Nona Clara itu pendiam, jarang bicara, dan tidak suka menarik perhatian. Jadi kalau kau ingin lebih dekat dengannya, kaulah yang harus lebih aktif."

"Maksudmu...?"

"Kau harus lebih banyak berbicara dengannya. Cobalah untuk sering berada di dekatnya dan membangun percakapan, meski awalnya dia hanya diam. Kalau kau terus melakukannya, lama-kelamaan dia pasti akan mulai membuka diri."

Herald menghela napas panjang. "Jadi aku yang harus lebih agresif, ya..."

Ia memahami maksud Susan, tapi tetap saja, ini bukan sesuatu yang mudah baginya. Ia bukan tipe orang yang pandai berbasa-basi atau berbicara panjang lebar tanpa arah.

"Oh, dan satu hal lagi," Susan menambahkan. "Mulai sekarang, panggil dia 'Nona Clara' saat berbicara dengannya."

"Heh? Sampai harus memanggil namanya juga?" Herald mengernyit.

"Iya! Biasanya kau memanggilnya 'Tuan Putri', kan? Kalau ingin lebih dekat, kau harus mulai memanggil namanya secara langsung. Itu akan membuat suasana lebih akrab."

Herald mendengus pelan. "Ini akan merepotkan..."

Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba Susan berseru, "Astaga! Aku hampir lupa!"

Herald, yang terkejut dengan reaksinya, langsung bertanya, "Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba berteriak begitu?"

"Aku lupa mengantar makanan ke dalam! Seharusnya aku sudah membawanya ke Nona Clara dari tadi!"

Tanpa menunggu lebih lama, Susan segera mengambil nampan berisi makanan dan bersiap masuk ke kamar Clara.

"Kalau begitu, aku pergi dulu. Nanti setelah ini kita bisa lanjut membicarakannya!"

"Ah, baiklah," jawab Herald.

Susan pun berjalan melewatinya dan masuk ke kamar Clara.

Kini Herald kembali sendirian, berdiri di depan pintu kamar sang putri. Ia masih memikirkan semua saran yang diberikan Susan.

"Sekarang... aku harus mulai dari mana?"

Tugasnya sudah jelas. Tapi eksekusinya? Itu adalah tantangan yang sepenuhnya berbeda.

Herald masih berdiri di depan pintu kamar Clara, pikirannya terus bekerja mencari cara terbaik untuk mendekati sang putri. Tatapannya tanpa sengaja tertuju pada meja makan yang dibawa Susan. Ia melihat meja itu berdiri kokoh, siap diantarkan ke dalam kamar. Saat itu juga, sebuah ide melintas di kepalanya.

"Susan, tunggu sebentar!"

Susan, yang hendak meraih gagang pintu, langsung menghentikan gerakannya. Ia menoleh ke Herald dengan ekspresi bingung.

"Ada apa, Tuan Herald?"

Herald sempat ragu sejenak, tapi akhirnya ia menarik napas dalam dan berkata, "Sebenarnya… aku punya satu permintaan."

Kamar Clara.

Clara duduk di atas kasurnya, tangannya menopang dagu, sementara perutnya mulai berbunyi pelan. Ia sudah menunggu lebih dari sepuluh menit, tapi makanan siangnya belum juga datang.

[Tumben Susan terlambat hari ini...]

Biasanya, pelayan setianya itu selalu datang tepat waktu, bahkan seakan bisa membaca kapan Clara mulai lapar. Jadi, keterlambatan ini terasa aneh.

Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara gesekan pintu terdengar. Telinga Clara langsung menangkapnya, dan ia pun menoleh ke arah pintu dengan sedikit lega.

[Ah, akhirnya!]

"Susan, kenapa lama sekali? Aku sudah kelaparan!" protesnya dengan nada sedikit kesal.

Namun, tak ada jawaban.

Yang terdengar hanyalah suara roda meja makan yang didorong masuk, disertai langkah kaki yang mendekat.

Clara mengernyit.

"Tunggu... langkah kaki ini berbeda."

Ia sudah terlalu terbiasa dengan suara langkah Susan—lembut, teratur, dan nyaris tak bersuara. Tapi yang ia dengar kali ini jauh berbeda: lebih berat, sedikit kasar, seperti suara sepatu bersol tebal menghantam lantai.

Dan yang lebih mencurigakan lagi, Susan tetap diam.

Saat Clara mendengarkan lebih saksama, ia tersadar. Suara langkah ini bukan suara asing baginya. Ia sering mendengarnya setiap sore hari.

"Pengawal?" Clara bertanya, matanya sedikit menyipit.

Orang yang membawa makanan itu terdiam sejenak. Lalu terdengar suara tawa kecil.

"Hehehe… ketahuan juga, ya."

Clara segera bangkit dari kasurnya, kini berhadapan langsung dengan Herald. "Kenapa kamu yang masuk? Dan kenapa kamu yang membawakan makananku? Di mana Susan?"

Herald menggaruk belakang kepalanya, tampak sedikit canggung. Ia tidak menyangka Clara bisa mengenali langkah kakinya secepat itu, padahal ia sengaja masuk tanpa suara.

Sebenarnya, tadi ia yang menghentikan Susan sebelum pelayan itu masuk. Ia mengajukan ide untuk membawa sendiri makanan Clara ke dalam sebagai cara untuk mulai berinteraksi dengan sang putri. Susan, meski awalnya terkejut, akhirnya setuju dan menyerahkan tugas itu padanya.

Tapi, tentu saja, Herald tidak bisa mengungkapkan kebenaran itu begitu saja.

"Jadi begini…" Herald mulai berbicara, suaranya dibuat sesantai mungkin. "Tadi Susan sudah datang ke sini membawa makan siangmu, tapi tiba-tiba perutnya sakit. Jadi dia menitipkan makanan ini kepadaku dan memintaku untuk mengantarkannya."

Ia mengakhiri kalimatnya dengan anggukan kecil, seolah menegaskan bahwa itu adalah kebenaran mutlak.

Clara menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas. "Oh… begitu, ya."

Ia tampaknya mempercayai kebohongan Herald tanpa curiga. Sementara itu, di luar pintu, Susan berdiri dengan kedua tangan di pinggangnya, berusaha menahan tawa.

[Hehehe, semangat ya, Tuan Herald!]

Ia diam-diam menikmati bagaimana Herald berusaha menjalankan misinya.

1
Hirage Mieru
.
Cindy
☕️ Untuk menambah semangat.
‎‎‎‎Wahyu Kusuma: uwawwww makasih 😆
total 1 replies
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Ada sedikit kesalahan pada bab 4😔 Jangan dibaca dulu
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Jangan lupa baca karya baru saya 😳 Ini adalah novel Romence pertama saya yang sudah melewati masa revisi. Kuharap kalian bakalan nyaman membacanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!