kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mulai menyusun strategi,sebelum Rencana letta dijalankan.
Di tengah dinginnya pagi Canberra yang masih diselimuti salju, Maya dan Vanya berlari menyusuri koridor mansion, langkah mereka terburu-buru.
Jantung mereka berdebar kencang, diselimuti rasa takut dan panik setelah mendengar rekaman suara Letta yang menunjukkan niat jahatnya. Mereka tahu, setiap detik sangat berharga.
Mereka tiba di depan pintu kamar Rico. Maya mengetuk pintu dengan tergesa-gesa, namun cukup keras untuk membangunkan penghuni di dalamnya.
Tak lama, pintu terbuka, dan muncullah Steven, yang memang sudah lebih dulu bangun dari Rico. Wajah Steven terlihat sedikit bingung, melihat Maya dan Vanya dengan raut wajah tegang.
"Ada apa, May? Pagi-pagi wajahnya tegang gitu?" tanya Steven, alisnya terangkat, menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
"Kak Stev... Kak Riconya sudah bangun belum?" tanya Maya, napasnya sedikit terengah-engah. Ia memegang tabletnya erat.
Steven mengangguk, lalu menoleh ke dalam. "Sudah masuk saja," katanya, memberi isyarat.
Maya dan Vanya segera masuk, dan tak lama kemudian, dari arah belakang, Vany ikut menyusul masuk, wajahnya masih sedikit cemberut karena ditinggalkan.
Mereka bertiga berdiri di sisi ranjang Rico yang baru saja terbangun, masih dengan rambut acak-acakan dan mata mengantuk.
Rico mengerjap, melihat ketiga gadis itu sudah berdiri di kamarnya. "Eh, sayang, sudah di sini saja? Kangen, ya?" goda Rico, suaranya serak khas orang baru bangun tidur, berusaha mencairkan suasana dengan candaan.
Di belakangnya, Mark yang juga baru terbangun, melirik ke arah Vanya dengan senyum tipis. Steven hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Rico.
Tiba-tiba, Mark dan Steven serta si kembar langsung memperagakan orang muntah, pura-pura jijik mendengar godaan Rico yang terlalu berlebihan.
Tawa kecil pun pecah, meskipun ketegangan masih terasa.
"Kak Rico, coba Kakak dengerin ini..." kata Maya, suaranya serius.
Ia tahu ini bukan waktunya untuk bercanda. Maya segera mengaktifkan rekaman di tabletnya, memutar suara Letta yang merencanakan kejahatan.
Sekejap, suasana berubah drastis. Senyum di wajah Rico memudar, digantikan oleh ekspresi serius dan rahang yang mengeras.
Begitu pula dengan Mark dan Steven. Mereka semua fokus mendengarkan, setiap kata dari rekaman itu bagai sengatan listrik yang menusuk ke jantung mereka.
"Gue harus bisa menjebak Axel, seolah-olah aku dipaksa melayaninya.ya,,,gue harus bisa masuk ke perusahaannya. Dan dengan begitu, aku bisa leluasa menjalankan misiku." Suara Letta yang dingin dan penuh perhitungan itu memenuhi ruangan, membuat bulu kuduk berdiri.
Rico, Mark, dan Steven saling pandang. Mata mereka memancarkan kemarahan dan ketidakpercayaan.
Bagaimana mungkin gadis yang mereka tolong, yang Rara sudah berikan tempat tinggal dan uang saku, bisa memiliki niat sejahat itu?
Mark, yang sedari tadi sempat tidak fokus mendengarkan karena pandangannya memandang sang pujaan hatinya, Vanya, kini tersentak.
Wajahnya berubah menjadi tegang, menyadari betapa seriusnya situasi ini. Ia menatap Vanya dengan tatapan khawatir.
"Brengsek!" umpat Rico, tangannya mengepal erat.
Ia tidak bisa menerima ini. Niat busuk Letta itu adalah penghinaan besar bagi kebaikan Rara dan juga ancaman serius bagi Axel.
"Kita harus segera beri tahu Tuan Axel!" kata Steven, wajahnya pucat.
"Tidak sekarang," potong Rico, menggelengkan kepala. "Tuan Axel tidak boleh tahu ini sebelum kita punya rencana.
Dia pasti akan sangat marah dan itu bisa mengganggu liburan Rara.
Kita harus mengantisipasi ini tanpa dia tahu dulu." Rico berpikir cepat, menyusun strategi. Ia tahu Axel sangat protektif terhadap Rara, dan jika ia tahu tentang rencana Letta, liburan Rara pasti akan hancur.
"Kita harus atur strategi. Maya, Vanya, Vany, kalian tetap dekat dengan Rara. Jangan biarkan Rara lengah.
Aku akan menghubungi Tomy dan kita akan mulai mengawasi Letta dengan lebih ketat di apartemennya.
Kita akan pastikan dia tidak bisa bergerak bebas.
Dan kita harus mencari tahu, siapa di balik 'misi' yang dia sebutkan." Rico mengambil alih komando, suaranya penuh tekad. Mereka tidak akan membiarkan rencana jahat Letta berhasil.
Apa strategi yang akan mereka susun untuk menghadapi Letta? Akankah Letta menyadari bahwa dirinya sedang diawasi?
Di kamar Rico, suasana yang tadinya tegang karena rekaman suara Letta yang menunjukkan niat jahat, kini diselingi sedikit komedi.
Setelah mendengarkan rekaman itu, Mark masih terdiam, bengong memandangi wajah Vanya yang juga tampak khawatir. Otaknya seolah nge-lag, memproses informasi mengerikan tentang Letta dan kekhawatirannya akan keselamatan Vanya.
Rico dan Steven yang sudah sepenuhnya memahami situasi, tidak bisa menahan diri. Mereka melihat ekspresi Mark yang lucu, dan Rico pun dengan jahil menarik mark sampai jatuh dari ranjang, membuat mark mengaduh.
Seketika, tawa pecah dari mereka bertiga: Rico, Steven, dan Mark. Tawa keras mereka, yang sedikit mengganggu ketenangan pagi di mansion, menarik perhatian Axel yang berada di kamar sebelah.
"Shiiit, pagi-pagi sudah berisik banget!" geram Axel, suaranya dalam dan sedikit kesal karena tidurnya terganggu. Ia ingin turun dari ranjang, tetapi Rara yang masih memeluknya erat, menahannya dengan manja.
"Jangan, Maz. Biarin aja," bisik Rara, mengusap dada Axel. Ia tahu Axel butuh istirahat. Akhirnya, Axel kembali memeluk Rara, mengalah pada kelembutan istrinya, meskipun ia masih mengerutkan dahi mendengar keributan di kamar sebelah.
Sementara itu, di kamar Rico, Mark, yang sudah mulai menyadari posisinya di depan Vanya, pura-pura kesakitan demi mendapat perhatian Vanya. Ia mengaduh keras, mencoba menarik simpati.
"Aduh, kepalaku pusing sekali, Vanya..." rintih Mark, memegangi kepalanya, melirik Vanya dengan mata memelas.
"Gak cocok, deh, Kak Mark! Lebay gitu!" ucap Vany, dengan cepat meledeknya. Ia tahu betul Mark sedang bersandiwara. Vanya dan Vany hanya tertawa geli melihat tingkah laku Mark yang berusaha mencari perhatian.
Tiba-tiba, dering telepon Maya berdering nyaring, memecah tawa mereka. Layar ponselnya terang, menampilkan nama Letta. Mata Maya langsung memancarkan kilatan.
"Pucuk dicinta ulam pun tiba," ucap Vanya dengan nada sinis, menyadari siapa yang menelepon dan apa artinya. Ini adalah kesempatan emas untuk menjalankan rencana mereka.
Maya mengangguk, mengisyaratkan kepada Rico dan Steven bahwa ia akan mengangkat telepon itu.
Ia tahu ini bukan sekadar panggilan biasa dari Letta. Ini adalah awal dari permainan kucing dan tikus yang harus mereka menangkan.
Maya menekan tombol jawab, suaranya diusahakan terdengar normal dan ramah. "Halo, Letta? Ada apa?"
Di seberang telepon, suara Letta terdengar manja, berusaha membangun citra rapuh dan membutuhkan.
"Kak Maya, aku sudah di apartemen. Sendirian di sini, rasanya sepi sekali. Bolehkah nanti aku datang ke mansion lagi? Aku ingin bertemu Rara, aku rindu dengannya."
Maya mengangguk, meskipun Letta tidak bisa melihatnya. "Oh, sudah di apartemen ya? Enak kan apartemennya?" Maya sengaja mengulur waktu, mencari cara.
"Untuk sekarang, mungkin sulit, Letta. Tapi kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan telepon ya." Maya berhati-hati dalam memilih kata-kata, tidak ingin terlihat terlalu mencurigakan.
Letta terdengar sedikit kecewa, namun ia tidak menyerah. "Oh, begitu ya. Baiklah, Kak. Hati-hati di sana ya, Kak Maya dan Kak Rara." Ia mencoba terdengar tulus, padahal dalam hati ia sudah menyusun rencana lain.
Setelah telepon berakhir, Maya menatap Rico. "Dia ingin kembali ke mansion, kk ric."
Rico menghela napas. "Sudah kuduga. Dia akan mencoba mencari cara untuk mendekati Tuan Axel. Jangan lengah.
Kita harus pastikan dia tidak bisa masuk ke dalam mansion tanpa pengawasan ketat. Dan pastikan dia tidak bisa menyentuh Rara."
"Bagaimana dengan rencana gelang penyadap itu, May?" tanya Steven.
"Sudah terpasang. Aku yakin dia tidak menyadarinya. Sekarang kita tinggal menunggu dia bergerak," jawab Maya,
matanya memancarkan tekad. Mereka tahu, pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai.
Bagaimana rencana mereka untuk mengawasi Letta dari jauh? Dan bagaimana Rara akan bereaksi jika ia mengetahui rencana jahat Letta?
Pagi di Canberra masih diselimuti dingin yang menusuk tulang, namun di dalam apartemen yang disediakan Axel, kehangatan dan keheningan mendominasi.
Setelah Maya dan rombongan Axel berangkat menuju canberra, Letta merasa sendirian, namun bukan dalam kesepian yang hampa. Pikirannya dipenuhi dengan rencana. Ia tahu ini adalah kesempatan emasnya.
Ponsel di tangannya berdering. Itu adalah panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Letta menggeser tombol hijau.
"Pagi, Letta," sapa suara di seberang, sebuah suara yang Letta kenali sebagai Maya. Maya, yang memang sedang dalam mode 'pengawasan' terhadap Letta, memutuskan untuk melakukan panggilan inisiasi, memberi Letta kesempatan untuk memulai sandiwaranya.
"Pagi, Kak Maya," balas Letta, suaranya diusahakan terdengar rapuh dan sedikit manja. "Kakak lagi sibuk, gak...?" tanyanya, berusaha membuka percakapan.
"Tidak, Letta, kenapa?" tanya Maya balik, suaranya tenang, namun di balik ketenangan itu, Maya sudah menyiapkan diri. Ia tahu ini adalah awal dari pertunjukan Letta.
Letta menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian dan mempersiapkan sandiwaranya.
"Letta mau curhat, Kak, tapi jangan sampai Rara tahu ya, Kak," ucapnya, nadanya penuh rahasia, seolah-olah ia sedang membagikan rahasia paling pribadi dan mengerikan.
Ia tahu betul bagaimana memancing empati seseorang, apalagi dari orang sebaik Maya.
Maya, yang sedang mendengarkan rekaman suara Letta yang asli di tabletnya, mengernyitkan dahi. Ia tahu Letta berbohong, tapi ia harus tetap bermain peran.
"Soal apa, Letta? Jangan bikin Kakak penasaran, deh." Nada suaranya dibuat seolah penasaran, padahal ia sudah tahu inti ceritanya.
Letta menarik napas lagi, kali ini diselingi sedikit isakan yang dibuat-buat.
"Sebenarnya, kemarin pas Letta ke atas," ia memulai, suaranya bergetar, seolah menahan tangis.
"Tuan Axel tiba-tiba menarik tanganku, membawaku ke kamarnya. Di sana, Tuan..." Letta sengaja menjeda, membuat Maya dan pendengar rekaman itu (Rico, Mark, Vany, Vanya, dan Steven) menahan napas. Ia ingin efek dramatis.
"Apa yang Tuan lakuin ke kamu?" tanya Maya, suaranya dipaksakan terdengar terkejut dan prihatin.
Letta membiarkan suara tangisnya terdengar samar.
"Dia melecehkanku, Kak," suaranya dibikin sedih dan bergetar, seakan akan mau menangis, namun di balik itu ada kepuasan tersembunyi.
Ia sengaja tidak memberikan detail, membiarkan imajinasi Maya mengisi kekosongan itu dengan skenario terburuk.
"Apa?!" Maya pura-pura kaget, suaranya meninggi, seolah tidak percaya. Ia tahu, di balik layar, para pengawal Axel yang mendengarkan rekaman ini pasti sedang menahan amarah.
Ini adalah bagian dari rencana Letta, untuk membuat Axel terlihat buruk di mata orang-orang terdekatnya, bahkan mungkin di mata Rara.
Maya memutar bola matanya diam-diam. Akting Letta memang sempurna.
Namun, ia tahu kebenarannya. Ia hanya perlu mengumpulkan bukti lebih banyak dan menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Permainan ini baru saja dimulai, dan Maya tidak akan membiarkan Letta menang.
Di kamar Rico, setelah panggilan telepon Maya dan Letta berakhir, ketegangan masih terasa kental.
Rico mengepalkan tangannya, amarahnya meluap. "Brengsek! Berani-beraninya dia memfitnah Tuan Axel!"
"Kita tidak boleh gegabah, Co," Steven mengingatkan, meskipun ia juga merasa geram.
"Kita harus punya bukti yang kuat sebelum bertindak. Kalau tidak, ini bisa jadi bumerang buat kita."
Mark, yang sedari tadi terdiam, akhirnya bersuara. "Kita harus mencari tahu, siapa yang menyuruhnya melakukan ini. 'Misi' yang dia sebutkan itu pasti ada dalangnya."
Vanya mengangguk setuju. "Kita harus lacak semua komunikasinya. Gelang itu pasti merekam semua percakapannya."
"Kita juga harus waspada," timpal Vany. "Dia pasti akan mencoba mendekati Tuan Axel lagi. Kita harus pastikan dia tidak punya kesempatan."
Rico menghela napas. "Kalian benar. Kita harus bekerja sama. Vanya dan Vany, kalian tetap dekat dengan Rara. Laporkan semua yang terjadi.
Steven, kau bantu aku melacak semua komunikasi Letta. Mark, kau awasi Tomy. Kita harus pastikan dia tidak berkhianat."
Mereka berempat menyusun rencana dengan hati-hati, memastikan setiap detail diperhitungkan. Mereka tahu, ini bukan hanya tentang melindungi Axel, tetapi juga tentang melindungi Rara dari bahaya yang mengintai.
Sementara itu, di apartemennya, Letta tersenyum sinis. Ia tahu, sandiwaranya berhasil. Ia bisa merasakan empati Maya, dan ia yakin, Maya akan menceritakan ini kepada yang lain.
Rencananya berjalan sesuai harapan.
"Sebentar lagi, Axel, kau akan menjadi milikku," bisik Letta, matanya memancarkan ambisi yang membara. Ia tidak tahu, di balik senyumnya, bahaya sedang mengintai.
Di kamar Rico, suasana masih tegang setelah rekaman suara Letta diputar.
Rico, Mark, Steven, Maya, Vanya, dan Vany duduk melingkar, wajah mereka memancarkan kekhawatiran bercampur amarah.
Mereka sedang merumuskan strategi untuk menghadapi Letta.
Tiba-tiba, dering ponsel Rico memecah keheningan. Layarnya menampilkan nama Tomy. Rico bergegas menggeser tombol hijau, firasatnya mengatakan ini bukan panggilan biasa.
"Iya, Tom, kenapa...?" tanya Rico, suaranya sedikit tegang.
Suara Tomy terdengar tergesa-gesa dari seberang. "Lapor, Tuan, Letta mengajak ketemuan! Anehnya, dari mana dia tahu nomor saya? Saya tanya, katanya Maya yang ngasih..." tutur Tomy, ada nada bingung dan curiga dalam suaranya.
Mendengar namanya disebut dan tuduhan yang tidak benar, Maya yang berada di dalam kamar itu, langsung menyambar handphone Rico.
Matanya menatap tajam ke arah ponsel, seolah bisa menembus ke seberang sana.
"May enggak tahu nomor Kak Tomy, ya!" ucap Maya dengan tegas, suaranya mengandung kemarahan yang tertahan.
Ia tidak percaya Letta berani mengkambinghitamkan dirinya.
Di sana, di kamar Rico, Steven menggelengkan kepala. "Mencurigakan sekali," gumam Steven, "Di sini dia mengkambinghitamkan Maya." Hal ini semakin memperkuat kecurigaan mereka terhadap Letta.
Vany, si bungsu yang terkenal dengan ide-ide briliannya dalam situasi genting, tiba-tiba angkat bicara.
"Gini saja, Kak Tomy, ikuti ajakan dia, tapi Kak Tomy pakai penyadap juga, takutnya gelang yang dipakai Letta dilepas." Usul Vany terdengar cerdik dan penuh antisipasi.
Ia tahu Letta adalah gadis licik yang bisa saja menyadari keberadaan gelang penyadap di tangannya.
Steven, Mark, dan Vanya saling pandang, lalu mengangguk setuju. Usulan dari si bontot ini memang masuk akal. Mereka tidak bisa mengambil risiko kehilangan jejak Letta.
"Baik, Tomy, dengar Vany," perintah Rico, mengembalikan ponselnya kepada Steven untuk berbicara dengan Tomy. "Pasang penyadap, dan laporkan setiap detail. Jangan lengah."
Tomy pun mengakhiri panggilan. Ia mengiyakan ajakan Letta untuk bertemu, sambil dalam hati ia sudah merencanakan bagaimana ia akan memasang penyadap tambahan. Ia tahu, tugas ini tidak main-main.
Setelah percakapan penting itu, Maya dan si kembar merasa perlu memberi ruang bagi Rico, Mark, dan Steven untuk menyusun strategi lebih lanjut.
Maya dan si kembar pamit keluar, berniat kembali ke kamar mereka.
Saat Vany berbalik hendak melangkah, tiba-tiba tangannya ditarik oleh Steven. Vany sedikit terhuyung, jatuh ke dalam pelukan Steven yang sigap menangkapnya.
Steven, yang biasanya serius dan kaku, memberikan kecupan ringan yang lembut di kening Vany, sebuah gerakan spontan yang penuh kasih sayang.
Vany terdiam sejenak, wajahnya merona merah. Ia tidak menyangka Steven akan melakukan hal itu. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.
Rico dan Mark, untungnya, masih terlelap tidur lagi setelah ketegangan tadi, jadi mereka tidak menyaksikan momen manis itu.
Waktu terus berjalan. Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Sebentar lagi, waktu sarapan pagi. Maya dan si kembar sudah segar setelah mandi dan berganti pakaian.
Rambut mereka tertata rapi, dan aura positif memancar dari mereka.
Di sisi lain, tim cowok masih berantakan. Hanya Steven yang sudah mandi dan terlihat segar. Rico dan Mark masih bergumul dengan selimut mereka, mencoba melawan rasa kantuk.
Steven menatap Rico dan Mark dengan gemas. "Rico, Mark, bangun! Sudah jam tujuh! Keburu Tuan Axel turun ke meja makan, kalian dihukum lagi!" ucap Steven, suaranya sedikit meninggi. Ia tahu betul bagaimana Axel bisa menghukum mereka jika terlambat.
Mendengar kata 'hukum', kedua pria itu langsung tersentak. Mata mereka terbelalak, rasa kantuk seketika lenyap.
Dengan serempak, mereka bangun dan langsung kocar-kacir menuju kamar mandi, berebut satu sama lain. Suara gedebuk dan umpatan kecil terdengar dari dalam kamar mandi, membuat Steven dan ketiga gadis itu tertawa geli.
Bagaimana suasana sarapan pagi itu? Apakah ada hal yang mencurigakan akan terjadi di meja makan, atau akankah semua berjalan lancar?
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu