NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 11 - Sebuah Rumah

“Kita akan berangkat sekarang,” ujarnya lagi sebelum sempat aku berkomentar tentang ucapannya sebelumnya.

“Tidak jadi sore?” Aku bertanya sembari mengikuti gerak-gerik Darius yang tampak seperti orang linglung.

Dia merogoh ponsel, memandagi layarnya dengan serius. “Lebih cepat lebih baik, bukan? Lagi pula perjalanan menuju ke sana tidak sebentar, aku tidak mau bermalam di jalan.”

Aku mengangguk pasrah. “Baik, aku akan segera berkemas.”

Sehari setelah pernikahan, Bu Mariana mengatakan perihal rumah milik Darius yang lokasinya jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Mungkin bagian pelosok? Tetapi Darius sendiri tak mengingat tentang apartemen tersebut.

Dia mungkin melupakannya. Ini suatu informasi baru, karena selain dari dia melupakan Soraya dan menganggapku sebagai tunangannya itu, dia juga melupakan rumah tersebut. Dan rencananya supir yang akan membawa kami ke sana.

Juga rencana lainnya, kami akan menetap di sana mulai sekarang. Tidak ada rencana bulan madu atau apapun—bukan berarti aku mengharapkannya, Darius sendiri pun mengaku akan mulai kembali ke kantor, tentunya akan sibuk.

“Kalau begitu bergegaslah. Semua pakaian dan barang-barangmu ada di dalam koper. Semuanya telah ayah siapkan,” katanya sambil menyerahkan padaku.

Aku hanya mengangguk, menatap ibu yang duduk di tepi ranjang—memunggungiku. Aku mengabaikan, tak ada waktu untuk sekadar bertanya atau berbasa-basi.

Embusan napas panjang aku keluarkan. “Kapan-kapan, kalau ada waktu luang, aku akan menyempatkan untuk datang mengunjungi Ibu dan Ayah.”

Pria paruh baya dihadapanku mengangguk. Perlahan Ayah mendekat, membawaku ke dalam dekapan—sekaligus memberi usapan di punggung. Suaranya yang lembut menyapa tepat di samping telingaku, Sekali lagi, maafkan kami ya, Nerissa.

Entah, rasanya aku ingin menangis saat mendengarnya. Tapi buru-buru aku mendongak, setelahnya angguk-angguk dan berpamitan singkat pada mereka. Kemudian aku menuju ke kamar Bu Mariana dan Pak Pram untuk berpamitan juga.

Sudah seminggu sejak pesta itu usai. Seminggu sejak kami resmi menjadi suami istri—di atas kertas, di hadapan keluarga, dan di hadapan dunia. Tapi tidak di hadapan hati kami masing-masing. Setidaknya, tidak untukku. Dan kupikir, tidak untuknya juga.

“Mobil sudah menunggu didepan,” kata Darius, dia mengambil alih koper di tanganku.

Usai kami mengemasi barang-barang dari hotel yang menjadi tempat kami tinggal sementara. Seharusnya ini terasa seperti perjalanan bulan madu yang menyenangkan, tapi yang kurasakan hanya ketegangan yang menggantung di udara, seperti benang tipis yang siap putus kapan saja.

“Kamu tidak membawa barang banyak, ya?” tanyaku dengan langkah yang sedikit dipercepat—mengejar langkahnya yang lebar.

“Untuk apa?” Darius menoleh singkat. “Ibu bilang, barang pentingku ada di sana semua. Aku hanya membawa sedikit barang, obat-obatan dan sisa makanan yang kamu buat tadi pagi.”

Aku berkedip cepat, aku menunggu sampai tubuh kami melewati pintu keluar hotel, barulah bicara, “Eh, kamu membawanya, Mas?”

Sopir yang hendak mengantar kami begitu sigap meraih koper—menyeretnya untuk dimasukkan ke dalam bagasi. Darius juga cekatan membukakan pintu mobil—entah mungkin karena kedua orang tua kami sedang memantau dari jauh.

Aku menunduk, masuk menyamping dan disusul oleh Darius yang sebelumnya kupikir akan memilih duduk di samping sopir. Jarak antar tubuh kami hanya tersisa sedikit, tapi itu cukup membuatku merasa canggung.

“Perutku mendadak mual, aku ingin sekali menghabiskannya tadi,” ujar Darius yang akhirnya menanggapi pertanyaanku tadi.

Aku menengok, dia membuang muka menatap pada kaca. “Aku bisa membuatkannya lagi nanti, jika kamu mau, Mas.”

Darius pun menoleh. “Aku tidak pernah lupa bahwa kamu tidak pernah pandai memasak, sekalinya memasak hari itu rasanya sangat aneh. Kalaupun memang bisa dimakan, itu terlalu keasinan.”

Aku meneguk ludah. Aku lupa, Soraya memang tak memiliki keahlian memasak—selain karena dilarang oleh ibu, sebab seorang model kecantikan mesti memiliki jari yang indah, dia juga tidak memiliki minat untuk belajar memasak.

Aku menyadari saat ini Darius menatapku lebih lekat, mengendus-endus keraguan. Suara pintu yang tertutup sedikit mengisi keheningan, sopir sudah duduk—menyalakan mesin dan suara desingan terdengar seiring mobil melaju.

“Sup ayam kampung dan beberapa macam bubur yang kamu suguhkan untukku itu kamu sendiri yang masak?” tanya Darius kemudian.

Segera aku mengangguk, berusaha meyakinkan. “Tentu saja, aku yang masak. Selama kamu terbaring di rumah sakit, aku cukup sering belajar masak. Melalui resep yang dibagikan di internet ataupun resep yang ibu berikan.”

Saat mengatakannya, semaksimal mungkin aku menunjukkan tatapan yang bisa dipercaya. Mungkin Darius menyerah, ia lebih dulu memutus kontak mata. Kembali menatap pada kaca mobil, begitu pun dengan aku.

“Nanti aku akan melihatmu masak secara langsung,” katanya lagi di tengah keheningan yang menyergap.

Aku mengangguk tanpa ragu. “Boleh saja.”

Dia pikir aku akan takut? Tidak mungkin. Masak adalah salah satu hobiku. Dan aku tidak akan berpura-pura tidak tahu caranya menuangkan minyak pada wajan hanya untuk meniru mendiang kakak angkatku itu.

Satu dua kali aku menoleh, mengintip ekspresi Darius. Aku bisa lihat dari sorot matanya, dia seperti mengingat-ingat. Bahkan ekspresi kecilnya tak mampu menutupi kebingungan yang terlalu kentara. Tapi dia tidak bertanya lebih jauh, dan aku tidak mencoba menjelaskan.

“Dan kamu ... sudah resign dari pekerjaanmu?”

Aku buru-buru menyeret pandanganku ke depan—sebelum dia memergoki aku yang sedang mencuri-curi pandang.

“Aku dengar dari ibu,” tambahnya demikian.

Kepalaku manggut-manggut, teringat Bu Mariana yang telah membahas soal ini—sederhananya kami bersekongkol. “Setelah mengalami kecelakaan, aku merasa kurang percaya diri untuk berdiri di depan kamera lagi.”

“Kamu yakin? Tubuhmu tidak ada yang berubah, segalanya baik. Dan...”

Aku melirik padanya. Darius dengan gelagatnya itu seperti buru-buru ingin memberi klarifikasi.

“Maksudku, karirmu sudah cermelang bukan? Kamu yang menangis-nangis untuk berada di posisi itu sebelumnya,” katanya lagi.

Aku berpikir cepat—apapun yang muncul dalam kepala langsung kuucapkan. Tetapi ketika mulutku sudah siap terbuka, justru Darius segera menyerobot kembali.

“Atau sebelum kecelakaan itu kamu memang sudah berencana untuk resign?”

Keningku mengernyit. “Maksudmu, Mas?”

Darius terbahak sinis, terdengar mengejek. “Memangnya siapa yang akan menerima setelah mereka tahu bahwa kamu hamil? Lebih-lebih lagi, itu hasil dari perselingkuhan. Bisa gempar dunia modelling nanti.”

Meski aku bukan orang yang dimaksud, tetap saja perkataan itu menusuk. Bagaimanapun juga, Soraya adalah kakakku. Dan sampai detik ini, aku masih belum menemukan titik terang dari permasalahan mereka—jadi aku tidak bisa sembarang menghakimi.

Di lain sisi, aku merasa serba salah. Ingin menyahut untuk memberi sanggahan, tetapi mungkin yang kukatakan nanti justru akan menimbulkan masalah baru. Ketidaktahuan ini seperti membuatku tetap diam—setidaknya untuk sementara, kupastikan aku akan mengupasnya satu per satu.

“Kita hampir sampai, Tuan, Non.”

Perkataan sopir barusan memecah keheningan. Aku segera menatap ke depan,

Hening yang bukan sekadar nyaman—tapi canggung yang memantul di tiap dinding kabin.

Mobil yang kami tumpangi mengikuti jalanan kecil yang mulai ditelan semak di kanan kirinya. Angin dari arah laut membawa aroma asin yang familiar, samar-samar menenangkan tapi tak cukup menghilangkan ketegangan di dadaku. Dia duduk di sebelahku, diam, menatap lurus ke depan seperti mencoba mengenali tiap sudut jalan yang kami lalui.

“Rumah besar di depan sana, ya, Tuan?”

Entah karena terlalu fokus mengamati, Darius tak menjawab. Aku mengangguk mewakilkan, mobil pun berhenti. Kami turun bersamaan, sopir melesat menuju bagasi untuk mengeluarkan koper.

Rumah itu berdiri tak jauh dari garis pantai, setengah tersembunyi di balik pagar kayu dan pohon kelapa yang tinggi menjulang. Warnanya putih tulang, dengan jendela besar menghadap laut, dan teras kayu tua dan memiliki dua kursi senada dengan warna teras tersebut.

Aku tak berkedip beberapa saat. Bagaimana mungkin? Rumah ini persis seperti rumah impianku. Rumah dengan konsep yang selalu aku idam-idamkan sejak dulu.

Apa mungkin selera kami sama? Aku menoleh ke samping, pada Darius ... eh, astaga!

Aku berlari cepat—nyaris melompat untuk sampai ke sisi Darius. Dia seperti merasakan kesakitan, tubuhnya nyaris tumbang, terus memegangi kepala dengan mata yang mengerjap pening.

“Kamu kenapa, Mas?”

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!