(Area orang dewasa🌶️)
Hidup Viola Amaral berubah drastis ketika sebuah kontrak mengikatnya pada kehidupan seorang jenderal berpengaruh. Bukan pernikahan impian, melainkan perjanjian rahasia yang mengasingkannya dari dunia luar. Di tengah kesepian dan tuntutan peran yang harus ia mainkan, benih-benih perasaan tak terduga mulai tumbuh. Namun, bisakah ia mempercayai hati seorang pria yang terbiasa dengan kekuasaan dan rahasia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon medusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
...Dengan langkah berat dan napas memburu, Revan memanggul tubuh Viola bagai karung beras menuju parkiran. Setelah membukakan pintu mobil dengan gerakan tak sabar, ia mendorong Viola masuk, lalu membanting pintu hingga menggelegar....
Bruk!
"Kau sudah gila?!" hardik Revan, menghempaskan tubuh ringkih Viola ke atas kursi dengan kasar.
"Benar! Aku memang sudah gila!" pekik Viola histeris, air mata mulai menggenangi pelupuk matanya.
"Kalian semua terus menyalahkanku! Apa salahku? Aku hanya ingin hidup tenang! Kenapa... kenapa kalian semua terus menyakitiku?!" Suaranya tercekat di akhir kalimat.
...Rahang Revan mengeras, otot-otot di wajahnya menegang. Dengan gerakan kasar, tangannya mencengkeram rahang Viola, menariknya paksa hingga wajah mereka berdekatan....
"Jangan pernah kau lupakan," desis
Revan dengan napas panas menerpa wajah Viola, matanya menyala penuh amarah. "Kau adalah biang keladi hancurnya hubunganku! Tanamkan itu baik-baik di otakmu!" Tatapannya menghujam kedua mata Viola yang kini berkaca-kaca.
"Ma-maaf..." bisik Viola lirih, air mata akhirnya tumpah membasahi pipinya. Ia memejamkan mata erat-erat, berusaha menahan gelombang kesedihan dan kepedihan yang menghantamnya.
"Kalau begitu, mari kita nikmati penderitaan ini bersama," ucap Revan dingin, sebelum menghempaskan cengkeramannya dari rahang Viola.
...Tanpa menunggu reaksi, tangannya bergerak cepat, mencengkeram kain gaun Viola dan merobeknya dengan kasar. Suara kain sobekan bergema di dalam mobil yang sunyi, hingga akhirnya tubuh Viola benar-benar polos, terbaring rapuh diatas kursi mobil....
"Aku tidak pernah menginginkanmu dalam hidupku," geram Revan, suaranya berat dan dingin saat ia menarik paksa kemeja dari tubuh atletisnya. "Kau datang seperti hantu, menghancurkan setiap hal berharga yang kumiliki. Dan kau bertanya apa salahmu? Itu lelucon yang sangat menyedihkan." Desisnya sambil menarik turun resleting celananya, memperlihatkan juniornya yang telah bangun.
"Revan... Tuan... kumohon, jangan lakukan ini lagi," lirih Viola dengan suara tercekat, kedua tangannya gemetar berusaha menutupi tubuhnya yang polos. "Di bawah sana... masih sakit sekali..."
"Bukankah ini yang selama ini kau dambakan, Viola?" seringai Revan sinis, tanpa menghiraukan permohonan Viola. Dengan kasar, ia melebarkan kedua kaki Viola.
Jleb!
"Akhhh!" Viola menjerit kesakitan, matanya terpejam erat saat Revan menusuknya dengan brutal. Air mata kembali membanjiri wajahnya, bercampur dengan rasa sakit fisik dan kepedihan yang tak tertahankan.
"Argh... nikmat sekali," batin Revan mengerang penuh kepuasan saat ia menghujamkan diri semakin dalam, bergerak liar di atas tubuh Viola yang ringkih.
...Setiap hentakannya mengguncang mobil dengan keras, menciptakan ritme yang kasar dan tak terkendali. Bobby, yang berjaga di luar, segera memberi isyarat kepada para ajudan yang berjaga di sekitar area parkiran untuk memperketat pengawasan di setiap pintu masuk....
"Sungguh melelahkan," gumam Bobby sambil membalikkan badan, memunggungi mobil dan menatap kosong ke arah tembok. Kelelahan dan kejemuan terpancar jelas dari raut wajahnya.
...Di dalam mobil yang berguncang, Viola berjuang menahan perpaduan rasa sakit dan sensasi aneh yang menjalari tubuhnya. Kepasrahannya bercampur dengan desahan-desahan kecil yang tanpa sadar lolos dari bibirnya. Suara-suara itu bagai bahan bakar yang semakin membakar kendali diri Revan....
...Tiga jam kemudian, setelah dua ronde penyiksaan berakhir, Viola terbaring tak sadarkan diri. Revan keluar dari mobil dengan penampilan kacau, rambut acak-acakan, dan keringat membasahi setiap jengkal kulitnya. Dengan santai, ia mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya, menyalakannya, dan menghisapnya dalam-dalam....
"Bobby," panggil Revan dengan suara serak.
Mendengar namanya disebut, Bobby segera berbalik dan dengan langkah cepat menghampiri Revan.
"Tuan," jawab Bobby sambil menundukkan kepala penuh hormat.
"Lantas, bagaimana perkembangan penyelidikanmu?" tanya Revan tanpa mengalihkan pandangannya, asap rokok mengepul dari bibirnya membentuk kabut tipis di udara.
"Situasinya sangat buruk, Tuan," jawab Bobby dengan nada prihatin, lalu ia mulai menceritakan secara rinci segala perlakuan kejam dan menyedihkan yang dialami Viola di rumah keluarganya sendiri.
...Ternyata, setelah meninggalkan kamar Viola, Revan diam-diam memerintahkan Bobby untuk menyelidiki segala kejadian di rumah keluarga Amaral tanpa sepengetahuan Viola. Rasa penasaran dan keinginan untuk memahami penderitaan gadis itu mendorongnya melakukan tindakan tersebut....
...Setelah mendengarkan penuturan Bobby, sebuah seringai sinis mengembang di bibir Revan....
"Jadi, dia melakukan semua ini hanya karena tidak pernah merasakan kasih sayang dari orang tuanya? Sungguh alasan yang menyedihkan," desis Revan dengan nada meremehkan. "Makanya dia begitu berambisi menghancurkan kebahagiaan orang lain."
...Bobby tertegun di tempatnya, otaknya mencerna dengan bingung jalan pikiran Revan. Ia sendiri merasa pilu mendengar kenyataan pahit yang menimpa istri atasannya itu, namun Revan justru menanggapinya dengan dingin dan sinis....
Revan membuang puntung rokoknya dengan gerakan kasar, lalu berbalik menatap Bobby dengan tatapan dingin. "Ayo, kita kembali," perintahnya singkat sebelum masuk ke dalam mobil.
...Bobby menghela napas panjang dan berat, lalu mengikuti Revan masuk ke dalam mobil. Dengan pikiran berkecamuk, ia menyalakan mesin dan mengemudikan mobil meninggalkan parkiran yang menjadi saksi bisu kejadian mengerikan itu, menuju kemegahan mansion yang terasa begitu ironis....
(Bersambung)