"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: Semangkuk Nasi Sisa dan Doa yang Terjawab
(POV Bu Ningsih)
Setahun yang lalu...
Siang itu panasnya bukan main. Debu proyek beterbangan menempel di kulit, membuat siapa saja merasa lengket dan gerah. Di warung tenda kecilku, para kuli bangunan sedang berebut gorengan sambil mengeluh soal mandor yang galak.
Tapi mataku tertuju pada satu pemuda di pojokan luar tenda.
Dia kurus, kulitnya terbakar matahari, dan baju kaosnya sudah bolong di bagian ketiak. Dia cuma duduk di atas ember cat bekas, menatap nanar ke arah panci ayam gorengku. Dia tidak masuk, tidak memesan. Dia cuma menelan ludah berkali-kali.
Aku tahu tatapan itu. Itu tatapan orang yang dompetnya kosong tapi perutnya melilit.
"Le... sini Le," panggilku.
Pemuda itu kaget. Dia ragu-ragu mendekat. "Saya nggak beli, Bu. Cuma numpang neduh."
Hati ibu mana yang nggak perih dengarnya? Wajahnya mengingatkanku pada anak lelakiku yang sudah meninggal saat bayi.
"Siapa yang nyuruh beli? Ini ada nasi sisa kemarin, masih bagus cuma agak pera dikit. Sayurnya juga sisa kuah gulai. Mau nggak? Daripada Ibu buang mubazir," bohongku.
Padahal itu nasi baru matang. Kuahnya pun kuah kental yang dagingnya masih banyak.
Mata pemuda itu berbinar. "Boleh, Bu? Tapi saya nggak bisa bayar..."
"Uwis, makan aja. Anggap aja Ibu lagi sedekah biar laris."
Pemuda itu makan lahap sekali. Cepat sekali habisnya. Setelah selesai, dia menatapku dengan mata berkaca-kaca.
"Makasih ya, Bu. Nama saya Rian. Suatu hari nanti... kalau saya sukses, saya nggak bakal lupa sama Ibu. Saya janji."
Aku cuma tertawa kecil waktu itu. "Iya, Amin Le. Yang penting kamu sehat dulu."
Aku tidak pernah berharap dia membalasnya. Berapa banyak sih kuli bangunan yang bisa jadi sukses di Jakarta ini? Hari itu berlalu begitu saja. Rian pindah proyek, dan aku lupa wajahnya.
Satu Hari yang Lalu (Sebelum Penggusuran)...
Nasib memang roda yang berputar, tapi rodaku sepertinya macet di bawah.
"Uhuk! Uhuk!"
Suara batuk Bapak terdengar kering dari kamar belakang. Sudah seminggu Bapak nggak bisa bangun dari kasur. Kakinya yang lumpuh makin mengecil, dan sekarang parunya bermasalah.
Aku menghitung uang di kaleng bekas biskuit Khong Guan.
Dua puluh ribu. Sepuluh ribu. Recehan dua ribuan.
Total cuma Rp 65.000.
"Obat Bapak habis, Bu," lirih Bapak saat aku menyuapinya bubur polos.
"Nanti ya Pak, nunggu warung tutup. Hari ini pasti rame," hiburku, padahal hatiku menangis.
Siangnya, aku gelar tenda di trotoar seperti biasa. Tapi sepi. Orang-orang lebih memilih makan di food court gedung sebelah yang ber-AC. Belum lagi preman pasar yang minta jatah 20 ribu. Habis sudah untungku hari ini.
Malamnya, datang surat peringatan dari kelurahan.
"Trotoar harus bersih besok pagi. Atau diangkut paksa."
Dunia rasanya runtuh. Kalau warung digusur, aku jualan di mana? Kalau nggak jualan, Bapak makan apa? Beli obat pakai apa?
Malam itu aku sholat Tahajud sambil menangis sampai sajadahku basah.
"Ya Allah... Hamba ikhlas kalau harus susah. Tapi tolong suami hamba... Tolong beri jalan. Hamba sudah nggak kuat..."
Hari Ini (Siang Tadi)...
Doaku dijawab dengan cara yang aneh.
Saat Satpol PP itu membentakku, saat gerobakku ditarik dan panci sayur asemku tumpah ke aspal, aku merasa nyawaku ikut tumpah di sana. Itu modal terakhirku. Itu harapan hidupku.
"JANGAN PAK! JANGAN!" teriakku histeris.
Aku sudah pasrah kalau harus mati diinjak-injak di sini. Rasanya lebih baik mati daripada pulang melihat wajah Bapak tanpa membawa obat.
Tapi kemudian... suara itu muncul.
"BERHENTI!"
Seorang pemuda menerobos masuk. Dia bersih, wangi, dan auranya beda. Dia bukan orang sembarangan. Dia melawan petugas itu demi aku. Dia bahkan mau membeli gerobak bututku seharga jutaan.
Lalu dia berbalik. Menatapku.
"Bu Ningsih, ingat saya?"
Aku menyipitkan mata. Wajah itu... senyum itu...
Ah!
Si Rian! Si Kuli kurus yang dulu makan nasi "sisa"!
Ya Allah... inikah jawaban-Mu? Pemuda kurus itu sekarang berdiri tegap melindungiku seperti tembok baja.
"Ibu mau nggak kerja sama saya? Masak di dapur ber-AC, gaji 10 juta per bulan, dan suami Ibu saya jamin pengobatannya."
Sepuluh juta? Pengobatan Bapak ditanggung?
Kakiku lemas. Bukan karena takut, tapi karena rasa lega yang menghantam dadaku begitu keras sampai sesak napas.
Aku melihat Rian mengulurkan tangannya. Tangan yang dulu kasar penuh semen, kini halus dan hangat.
Aku menyambut tangan itu.
"Mas serius?"
Saat Rian mengangguk, aku tahu satu hal: Malaikat tidak selalu bersayap. Kadang mereka datang dengan kemeja santai, membawa kenangan semangkuk nasi sisa.
Hari itu, aku meninggalkan gerobak hancurku di trotoar tanpa menoleh lagi. Aku naik ke mobil Pak Rudi, meninggalkan kemiskinan di belakang punggungku.
Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih, Mas Rian.