Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Seperti hari-hari biasanya, Axeline sudah siap dengan pakaian kerjanya. Ia mengenakan kemeja Korea berwarna putih atau Gangnam Top Blouse, yang membingkai tubuhnya dengan sempurna dan dipadukan dengan celana panjang hitam, yang memberi kesan profesional.
Axeline berdiri di depan cermin, mencoba meneliti penampilannya yang terlihat rapi dan sempurna. Namun sayangnya, tidak ada semangat yang terpancar dari matanya.
Dengan napas panjang, ia meraih tasnya dan melangkah keluar kamar.
"Aku malas sekali. Rasanya ingin berlibur saja," gumamnya lirih. Tidak ada gairah untuk bekerja, terutama sejak Keynan mengambil alih perusahaan.
Setiap hari, ia harus menahan diri. Menahan luka yang semakin menganga. Dan kini, semuanya terasa lebih menyakitkan sejak kehadiran seorang wanita bernama Agnes.
"Harusnya aku mendengarkan Daddy dan magang di perusahaannya saja," gerutunya pelan, sebelum akhirnya melangkah menuju ruang makan. Namun, langkahnya langsung terhenti begitu matanya menangkap sosok yang paling ingin ia hindari.
Keynan.
Ia duduk santai di meja makan, menikmati sarapannya dengan tenang, seolah tidak ada hal yang salah di antara mereka.
"Sayang, kau sudah siap? Ayo cepat ke sini dan makan sarapanmu," suara lembut Keyra membuyarkan lamunannya.
Axeline tersenyum kikuk sebelum akhirnya mendekat. Dengan enggan, ia menarik kursi yang kebetulan hanya tersisa di sebelah Keynan.
"Kenapa Kakak ada di sini?" tanyanya, berusaha terdengar biasa saja.
"Keynan datang untuk menjemputmu, sayang," bukan Keynan, tapi justru Keyra yang menjawab tanpa rasa curiga apapun.
Axeline menegang. "Aku kan sudah ... "
"Makanlah," sela Keynan tiba-tiba, nada suaranya tegas namun datar. "Nanti kau bisa terlambat."
Axeline menatapnya sejenak, mencoba mencari sesuatu di matanya. Tapi seperti biasa, Keynan pandai menyembunyikan perasaannya.
Dengan berat hati, Axeline akhirnya duduk dan mulai menyantap sarapannya, meski perasaan dalam hatinya semakin sulit untuk dikendalikan.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Axeline mau tidak mau ikut berangkat bersama Keynan karena desakan ayah dan ibunya untuk menerima tawaran itu, terutama karena kakaknya sedang dalam perjalanan bisnis dan tidak ada yang bisa mengantar selain Keynan.
Dia ingin naik taksi seperti sebelumnya, tapi ayahnya melarang tegas. Hingga akhirnya, dengan perasaan enggan, Axeline masuk ke dalam mobil Keynan.
Sepanjang perjalanan, keheningan menyelimuti mereka. Tidak ada satu pun dari mereka yang berusaha memulai percakapan. Axeline memilih menatap keluar jendela, memperhatikan lalu lintas yang bergerak perlahan. Namun, pikirannya melayang entah ke mana, membuat semua pemandangan di depannya terasa hambar.
Sementara itu, Keynan tetap fokus pada jalan, menyetir dengan tenang, seolah tidak terganggu oleh suasana yang begitu canggung di antara mereka.
Namun, keheningan itu akhirnya pecah ketika suara dering ponsel Keynan terdengar begitu nyaring.
Keynan melirik layar sebentar sebelum berdecak pelan, ekspresinya berubah sedikit kesal. Gerakan kecil itu menarik perhatian Axeline, yang tanpa sadar menoleh ke arahnya.
"Kenapa tidak diangkat?" tanyanya datar.
Keynan hanya menghela napas sebelum meletakkan kembali ponselnya. "Tidak penting," jawabnya singkat.
Axeline memiringkan kepalanya sedikit. "Kenapa? Bukankah itu dari kekasihmu?"
Keynan masih tetap fokus menyetir, tapi rahangnya tampak sedikit mengeras. "Sudah aku bilang, dia bukan kekasihku," sahutnya, kali ini dengan nada yang lebih dalam.
Axeline tersenyum kecil, tapi senyum itu dipenuhi sarkasme. "Jadi benar, ya? Itu telepon dari Agnes," gumamnya, sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Dia tidak tahu mengapa dirinya masih merasa sakit setiap kali nama itu disebut. Yang jelas, semakin ia berusaha mengabaikan perasaannya, semakin kenyataan menghantamnya tanpa ampun.
Keynan menggeram pelan, rahangnya mengeras menahan emosi. Tanpa pikir panjang, ia membanting setir dan menepikan mobil dengan kasar, membuat Axeline tersentak.
Sebelum Axeline sempat berkata apa pun, Keynan sudah melepas seatbelt-nya dan dengan cepat menarik lengannya, memaksa wanita itu menatapnya.
"Apa yang kau lakukan?" pekik Axeline, matanya membulat karena terkejut.
"Apa yang aku lakukan? Harusnya aku yang bertanya, ada apa denganmu, hah? Kenapa? Kau cemburu?" Keynan menatapnya tajam dengan suara yang terdengar tegas.
Axeline menatapnya dengan sorot mata dingin, meski di dalam hatinya terasa bergetar. Namun, detik berikutnya, ia memalingkan wajah, menolak untuk menunjukkan kelemahannya.
"Tidak," jawabnya singkat, seolah tidak peduli.
Namun, jawaban itu justru membuat amarah Keynan semakin memuncak. Seolah tidak puas, ia meraih bahu Axeline dengan lebih kuat, memaksanya kembali menghadap ke arahnya.
"Tatap aku, Lin!" desisnya. "Katakan jika kau memang cemburu."
Napas mereka saling beradu, ketegangan memenuhi udara di antara mereka. Mata Keynan menelusuri wajah Axeline, mencari sesuatu di dalamnya, entah itu kejujuran atau pengakuan.
Tapi Axeline tetap diam, menolak memberikan kepastian yang Keynan harapkan.
Jantungnya berdetak begitu kencang, tapi ia tidak ingin memberikan Keynan kepuasan atas kelemahannya. Jadi, ia hanya menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang seharusnya tidak pernah terucap.
Keynan menatap Axeline dalam-dalam, mencari jawaban yang tidak kunjung ia dapatkan. Namun, ia justru salah paham saat melihat Axeline menggigit bibirnya.
Tubuhnya bergejolak, hasrat yang selama ini ia tekan meledak begitu saja. Napasnya memburu, dada naik turun menahan sesuatu yang seharusnya tidak ia rasakan.
Dan tanpa berpikir panjang, ia mendekat, mengabaikan logika yang seharusnya menghentikannya.
Dalam sekejap, bibirnya menyapu bibir Axeline.
Axeline membelalak. Tubuhnya seketika menegang, otaknya berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Dan dengan panik, ia mendorong bahu Keynan, mencoba melepaskan diri.
"Mmhh—" ia mengerang tertahan, berusaha menghindar.
Namun, Keynan tidak memberinya kesempatan. Kedua tangannya mencengkeram pergelangan tangan Axeline, menahannya agar tidak bisa bergerak bebas. Tubuhnya menekan lebih erat, membuat Axeline tidak punya pilihan selain pasrah.
Bibir Keynan bergerak dengan lembut namun mendominasi, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tidak pernah bisa ia ucapkan dengan kata-kata.
Sementara itu, di dalam hati Axeline, perasaan yang selama ini ia pendam bergejolak hebat. Ini salah. Mereka seharusnya tidak seperti ini.
Tapi mengapa tubuhnya terasa lemah dalam dekapan Keynan? Mengapa hatinya berdebar begitu kencang?
Merasa tidak ada lagi perlawanan, Keynan menjauhkan sedikit wajahnya, memberinya jarak untuk menatap Axeline.
Napas mereka saling beradu dengan dada yang naik turun. Keynan menatap dalam kedua mata Axeline, lalu kembali mendekatkan wajahnya, mencium bibir Axeline dengan lembut.
Namun, yang tidak mereka tahu, ada seseorang yang sejak tadi memerhatikan mereka. Walaupun tidak terlalu jelas, namun ia cukup tahu apa yang mereka lakukan di dalam mobil sana.