NovelToon NovelToon
Dewa Petaka

Dewa Petaka

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur / Iblis / Epik Petualangan / Perperangan
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Arisena

Ketika yang semua orang anggap hanya omong kosong menyerbu dari utara, saat itulah riwayat Suku Gagak menemui akhirnya.

Tanduk Darah, iblis-iblis misterius yang datang entah dari mana, menebar kekacauan kepada umat manusia. Menurut legenda, hanya sang Raja Malam yang mampu menghentikan mereka. Itu terjadi lima ribu tahun silam pada Zaman Permulaan, di mana ketujuh suku Wilayah Pedalaman masih dipimpin oleh satu raja.

Namun sebelum wafat, Raja Malam pernah berkata bahwa dia akan memiliki seorang penerus.

Chen Huang, pemuda bernasib malang yang menjadi orang terakhir dari Suku Gagak setelah penyerangan Tanduk Darah, dia tahu hanya Raja Malam yang jadi harapan terakhirnya.

Apakah dia berhasil menemukan penerus Raja Malam?

Atau hidupnya akan berakhir pada keputusasaan karena ucapan terakhir Raja Malam hanya bualan belaka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arisena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode : 11 — Bentangkan Sayapmu

Chen Huang merasakan pukulan hebat di dadanya, seolah ada tangan raksasa yang menghantam dengan keras. "Tanduk Darah?"

"Mungkin."

Dia melihat sekeliling, semua kepala hanya mampu menunduk. Qin Mingzhu tampak hampir menangis, hanya harga dirinyalah yang dapat menahan air mata itu. Chen Huang juga melihat Ming Zhe, penasihat kepala suku, lelaki itu menghela napas berat.

"Bencana," Qin Sheng berkata tenang. Dari semua orang, hanya dia satu-satunya yang tampak tak terguncang. "Kau paham itu."

"Jadi, apa yang akan Suku Serigala lakukan?" bertanya Chen Huang dengan rasa tak nyaman yang tiba-tiba mendesak dadanya. Sejak tadi, tatapan Qin Sheng membuat rasa gugup semakin terasa.

"Pergilah dari sini, itu saja pesanku."

Setelah berkata demikian, Qin Sheng mengembuskan napas panjang lalu pergi dari sana, masuk ke ruangan lain melalui pintu kayu yang terhubung ke ruang ini.

"Hah?" Kepala Chen Huang serasa dihantam sesuatu. Pergi? Lelucon apa pula ini?. Chen Huang mengamati Ming Zhe. "Tuan, tolong jelaskan lebih jelas, saya masih belum terlalu paham."

Namun, jawaban Ming Zhe semakin mengejutkan Chen Huang. "Seperti yang dikatakan tuanku, kau harus pergi, Nak."

"Jadi para serigala sudah bosan dengan peliharaan gagak? Baguslah," Chen Huang menjawab dingin. Dia ingin marah mengingat gurunya hilang dalam penyergapan, dan rasa marah ini semakin berkobar setelah melihat sikap Qin Sheng yang seolah tak ada rasa khawatir sama sekali. "Aku berhutang budi besar kepada serigala, saya mohon pamit."

Akan tetapi, suara Ming Zhe berhasil menghentikannya. "Tuan adalah satu-satunya orang yang paling terpukul, Nak. Cobalah untuk mengerti."

"Mengerti? Bahkan wajahnya masih beku seperti biasa saat mengatakan keponakannya hilang." Pemuda itu menatap Qin Mingzhu yang juga sedang menatapnya. "Mungkin sudah lama berlalu, dua bulan, tapi apakah waktu dua bulan bisa membuat seseorang melupakan orang-orang terdekat kita? Benar, kan?" Ucapan ini ditujukan untuk Ming Zhe, tapi dia masih menatap Qin Mingzhu.

Bocah itu tampak lemah sekarang, jadi lebih pendiam.

"Serigala tak pernah menunjukkan kelemahannya kepada musuh," berkatalah Ming Zhe dengan nada tenang.

"Kaubilang aku musuh?"

"Namun," Ming Zhe menggantung ucapannya sejenak, "pemimpin sejati tak pernah memperlihatkan kelemahan kepada bawahannya."

Chen Huang mencerna kalimat itu.

"Kau paham, Nak." Ming Zhe tersenyum, ada sedikit rasa iba di sana. "Mungkin terdengar kejam, tapi inilah kenyataannya. Kuyakin sarang serigala tidak terlalu cocok untukmu, jadi pergilah."

Chen Huang masih berdiri di sana sampai cukup lama, saling tatap dengan kakek bongkok bertongkat itu. "Serigala sudah melepas budi kebaikan besar kepada saya, itu tak akan berubah." Lalu, dia memandang Qin Mingzhu, "dan kau tetap sahabatku, itu tak akan berubah." Chen Huang menjura hormat. "Sekali lagi, saya pamit. Ah, tapi sebelum itu, adakah desersi dari Suku Serigala?"

"Maaf, itu masalah dalam suku."

Chen Huang mengangguk mengerti. Dia lantas mengeluarkan koin emas bergambar serigala yang selalu ia simpan sejak hari itu. "Ini saya temukan di antara para mayat yang melintasi wilayah utara Desa Gagak sebelum malapetaka terjadi. Memang tidak penting, tapi saya harus mengembalikan ini dan mengatakan bahwa sejak saat itu, barangkali para Tanduk Darah sudah mengintai dari utara."

"Membunuh para desersi?" Ming Zhe berjalan melintasi ruang dan mengambil koin tersebut. "Terima kasih atas informasimu, Nak, tapi sayangnya kau benar, kau bicara terlambat."

"Kalau saja saya sudah mengatakannya sejak dulu, mungkin guru ...."

"Sudahlah, semoga gurumu itu baik-baik saja. Kalau memang sudah tak bernyawa, semoga dia tenang di sana."

Chen Huang mengangguk lantas menjura sekali lagi sebelum berbalik untuk meninggalkan ruangan. Akan tetapi, lagi-lagi suara Ming Zhe menghentikannya sejenak.

"Ingat, Nak."

"Apa?"

Ming Zhe tersenyum. "Ini pesan dari Qin Sheng," dia memasukkan koin itu ke dalam saku jubahnya. "Bentangkan sayapmu."

...----------------...

Chen Huang pergi dari Suku Serigala setelah mengganti pakaiannya menjadi hitam-hitam lengkap dengan mantel berkerah bulu. Jubah hitam itu ia dapat dari seorang gadis pelayan cantik. Selama ini, tak hanya sekali Chen Huang merasa gadis itu diam-diam melihatnya dari jauh.

Gadis itu menyerahkannya dengan malu-malu, berkata kalau dia yang membuatnya sendiri. Chen Huang hampir tak percaya melihat jahitan jubah itu yang luar biasa bagus dan rapi.

"Bagaimanapun, terima kasih, akan kuingat ini," katanya sebelum beranjak dari depan pondoknya.

Qin Mingzhu hanya menatap dari kejauhan, tapi bocah itu tersenyum simpul. Chen Huang membalasnya dengan anggukan singkat.

Budi terakhir yang dilepas Suku Serigala adalah seekor kuda coklat yang tangkas dan kuat. Sedikit terlalu tinggi untuk ukuran tubuhnya, tapi Chen Huang tak masalah.

"Semua orang akan mengingatmu," berkata seorang prajurit yang menyerahkan kuda. "Jaga dirimu baik-baik, walau kami percaya bahwa gagak hanya pembawa sial, hahaha."

Chen Huang membalasnya dengan tenang. "Terima kasih, mungkin kau benar. Tapi kalau aku ini pembawa sial, maka aku bisa memilih kepada siapa akan kuturunkan kesialan."

Prajurit itu berhenti tertawa. "Kepada siapa?"

"Kepada makhluk-makhluk yang membantai desaku dan membantai rombongan keponakan pemimpin kalian. Terserah kau mau berdiri di pihak siapa."

Si prajurit hanya tertawa, dia menepuk-nepuk pundak Chen Huang. "Jangan mati terlalu cepat, ya."

"Tidak akan!"

Chen Huang naik ke punggung kuda, lalu memacunya dan pergi meninggalkan Desa Serigala.

Sejak saat itulah perjalanannya dimulai, perjalanan yang dipenuhi batu-batu penghadang, rintangan tak berkesudahan atau bahkan saling tatap dengan mata kematian.

Namun, Chen Huang telah mengeraskan hati. Apa pun yang akan terjadi nanti, dia tak akan pernah lupa akan jati dirinya, akan takdirnya, akan kewajibannya.

Digenggamnya kalung Jimat Hitam itu erat-erat. "Raja, aku datang ...."

...----------------...

Di lereng sebuah bukit, ketika Chen Huang sedang memakan bekal makannya yang tak seberapa dari Suku Serigala, dia melihat sebuah keindahan.

Ya, keindahan. Bukan tentang matahari terbenam di balik gunung yang bagai lukisan atau pantulan langit pada danau luas yang membuat ilusi seolah langit itu ada dua.

Maksud keindahan di sini adalah sosok bertubuh tinggi yang ramping dengan rambut panjang sampai ke pinggang, bibir merah basah tersenyum manis di bawah hidung mancung kecil serta warna kemerahan pada pipi yang putih halus itu.

Dengan matanya yang tajam, gadis lima belasan tahun itu menyapa dengan ramah. "Boleh aku duduk?"

Chen Huang bukan seorang yang bisa memercayai orang lain dalam pertemuan pertama, jadi dia menolak walau dengan setengah hati. "Siapa kau?"

"Manusia? Seorang wanita? Pengelana? Jawaban apa yang ingin kaudengar?"

"Kenapa kau ingin duduk di sini? Tempat ini luas," Chen Huang menunjuk batu besar yang sedikit lebih jauh darinya. "Kupikir di sana lebih teduh dan bersih. Jangan kaukira aku suka kotor atau tempat panas, hanya saja aku sudah duduk di sini dalam waktu lama sampai matahari bergeser menerangiku."

"Oh," gadis itu masih tersenyum, "begitu?"

Chen Huang menatapnya. Dia memilih menghabiskan roti isi itu sambil pura-pura tidak tahu, berharap manusia di depannya bisa segera pergi dari sana.

"Rotimu masih ada sisa?" sang gadis bertanya setelah diacuhkan Chen Huang selama beberapa waktu.

"Kau mau?"

"Kalau kau memaksa."

"Tidak ada yang memaksamu, maaf saja tapi aku bukan pemaksa."

Agaknya gadis itu sudah tak tahan lagi, buktinya dia langsung menubruk kaki Chen Huang dan membenturkan kepalanya ke tanah sampai terdengar bunyi buk cukup keras.

"Tolong aku anak muda, kau satu-satunya harapanku. Lima hari, lima hari terlewat dan perutku hanya makan daun obat yang rasanya pahit. Tolonglah ...."

Chen Huang terkejut. Bukan karena lima hari dan daun obat, melainkan karena tindakan gadis itu dan cara ia memanggilnya. "Anak muda? Kau memanggilku anak muda? Wajahmu bahkan tak tampak lebih tua dari aku."

Tiba-tiba, sang gadis mengangkat wajah, memandang dengan mata berbinar. "Wah, kau pandai sekali memuji, ya? Terima kasih." Sesaat kemudian, dia kembali bersujud. "Aku lapar ... tolong ...."

Chen Huang memutar bola matanya malas. "Bangun dan makanlah," katanya lalu menyerahkan satu roti isi lagi kepada gadis tersebut.

Dia mengganyangnya dengan liar. Memegang roti itu di kedua tangan dan membenamkannya ke wajah kuat-kuat. Matanya melotot sampai-sampai hampir keluar. Chen Huang melihat isi roti itu berceceran di ke banyak tempat.

Hanya dalam beberapa kedipan mata, roti itu benar-benar sudah habis.

Chen Huang menatap dengan terperangah. Ia tak pernah mimpi akan bertemu gadis cantik yang cara makannya sama sekali tidak cantik.

Si Gadis menatap sisa roti di tangan Chen Huang lalu meneguk ludah. Namun, setelah menyadari tatapan pemuda di hadapannya, dia tersenyum. "Namaku Bai Li, kalau kau memang ingin tahu."

"Aku bahkan tak pernah mengharapkan kedatanganmu."

"Wah, kau pemalu sekali. Baru kali ini bertemu seorang wanita, ya?"

Orang ini sinting

Gadis yang mengaku bernama Bai Li itu mengusap bibirnya dari sisa roti dengan kasar. "Kau mau pergi ke mana?"

Chen Huang menyipitkan mata, gerak-gerik si Bai Li ini agak mencurigakan menurutnya. "Tak ada tujuan pasti," ia menjawab hati-hati.

"Aku ikut kau sajalah."

"Hah?"

1
Filanina
sayapnya kayak pedang ya?
Filanina
itu ubah jangan jadi Fox.
Filanina
mungkin orang-orang butuh komando, Chen Huang. ini kan pertempuran bersama
Ind
bisa yaa bikin cerita begini,.kalo aku nama yang digunakan aja susah bacanya,lidah orang ndeso 🤣🤣🤣
Arisena: cuma nulis doang, kalo ngucapin, lidah pun sering kepleset/Sweat/
total 1 replies
Filanina
Lanjut, Thor. Makin seru.

Gaya penceritaanmu udah pas menurutku. Enak diikuti. Entahlah, beberapa yang saya baca dan bagus malah sepi.
Saya kurang paham dg selera orang-orang zaman sekarang. Kadang yg minim narasi, typo bertebaran, catlog, cerita serupa, malah lebih banyak pembacanya.
Arisena: iya, cerita mereka emang bagus, tapi kalo gk ada perubahan ya klise juga jadinya.

Apalagi dengan sistem kebijakan baru, sulit promosi kalo gk dapet ban terbaik.

Nulis serasa judol, gacha🗿
Filanina: tapi bosan kan kalau gitu2 aja. Udah banyak modelan gitu yg bagus (dulu). Kalau mirip2 ya jenuh juga. apalagi yang ngikutin banyakan masih mentah udah diup.
total 3 replies
Filanina
Iya. Mereka.
Arisena: Mereka
total 1 replies
Filanina
Padahal udah bersedih-sedih hik.
Filanina
Wkwkwk... luar biasa. kirain mau dikorbankan ini Char. ternyata author masih sayang.
Arisena: heheh, Bai Li emang bikin galau. Bikin mati gk ya/Doge/
total 1 replies
Filanina
kenapa tadinya ada bab 65, jadi ga ada?
Arisena: itu cuma pengumuman nt eror, krena udah enggak(walau masih agak lemot), yaudah kuhapus/Sweat/
total 1 replies
Filanina
part ini cukup menyentuh.

persahabatan Bai Li apa tidak akan diromantisasi?

(dari siang kesel ga bisa komen)
Arisena: kukira cuma punyaku, ternyata semuanya/Sweat/
total 1 replies
Filanina
Dan pertolongan pun datang.
Arisena: masa mc gk kasih plot armor/Proud/
total 1 replies
Filanina
Kudanya lg cemas. Membahas keindahan...
Filanina
Tunggu dulu. Bukannya Chen Huang ada dalam rombongan gagak? Bukannya ga ada kultivator selain Chen Huang dan Bai Li?
Filanina: Kirain itu suku gagak semua. Cuma sedikit dong.
Arisena: Kekuatan Simbol Magis sejatinya gk boleh dipelajari oleh org selain Suku Gagak. Maka dalam rombongan itu, hanya keluarga Liu, Kai, Bai Li dan Chen Huang yg bisa menggunakan Simbol Magis. Selain itu, semuanya kultivator, baik anggota Gagak Pengembara atau Sayap Kegelapan.

Mereka kan cuma kelompok yg didirikan oleh org org Suku Gagak, bukan berarti jadi bagian dari Suku Gagak, makanya anggota dua kelompok tersebut termasuk kultivator.
total 2 replies
Filanina
Genre apa nih? Up di mana?
Arisena: Pengennya romance fantasi atau gk tetep fantim tapi bukan kultivasi, pendekar pendekar kuno gitu. Rencana pengen up di nt dulu sampe tamat baru dilempar ke pf lain.
total 1 replies
SLTN
/Smile/keren
Arisena: ✌️/Smile/
total 1 replies
Filanina
jadi bai lin terus dari tadi
Arisena: lah iya baru sadar, makasih udah diingetin🙏
total 1 replies
Filanina
kok berserabutan ya? Berhamburan mungkin?
Filanina
ya, ga maulah. kan belum nikah walau udah tua.
Filanina
bab ini kayak pendek
Arisena: normal kok, 1200 kata
total 1 replies
Filanina
Tanduk Darahnya itu siapa sih? ada alasan mereka jahat?
Arisena: nanti ada penjelasannya/Doge/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!