NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: tamat
Genre:Tamat / Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kebakaran

Malam yang mencekam. Kurang lebih enam belas tahun sebelum hari ini langit merah membara. Desa nelayan keos. Api yang datangnya entah dari mana kini berubah menjadi lautan. Lautan yang membara.

Orang-orang berlarian, sibuk menyelamatkan diri. Harta benda sudah tak begitu penting dibanding nyawa. Di mana-mana kentongan dipukul bertalu-talu. Banyak orang berteriak panik 'minta tolong' dan 'kebakaran' terus-menerus. Anak-anak histeris, menangis mencari siapapun yang mereka kenal. Wajah-wajah penuh jelaga, keringat dan air mata berlalu-lalang.

Untuk sesaat desa yang penuh manusia itu tak ubahnya sarang lebah yang rungkad. Tak lagi berbentuk hunian. Lebah-lebah tanpa sayap berseliweran tak tentu arah, mencari selamat. Bedeng-bedeng bambu beratap alang-alang dan pandan pantai hampir habis seluruhnya dilalap api. Asap merajai udara. Perih di mata. Sesak di dada.

Gunung seperti kepala keluarga lainnya, berusaha menyelamatkan siapapun anggota rumahnya. Kain batik warna-warni yang tersimpul di atas dadanya menahan seorang balita yang digendong punggung. Satu tangannya membopong anak yang masih balita. Tangannya yang lain menggandeng istrinya.

Dengan wajah panik, Ayunita menurut saja ke mana pun suaminya menarik tangannya. Satu tangannya yang lain menarik seorang anak perempuan. Boneka lusuh didekap erat sang anak yang menangis dalam diam. Sama seperti Ayu, dia patuh ke manapun tangan Ayu menariknya. Tepat di belakang mereka, Suryani muda membawa tiga buntalan kain, sisa pakaian, uang, dan perhiasan yang selamat dari api.

"Pak, Yunus belum kelihatan. Tunggu, Pak!"

Sentakan keras Ayu pada tangannya membuat Gunung terpaksa menghentikan langkah. Ia berpaling menatap lurus mata istrinya. Katanya, "Cari tempat aman dulu. Yunus pasti lari juga menyelamatkan diri."

"Tapi, Pak, kalau dia kenapa-kenapa, gimana? Adikku tinggal dia," kata Ayu cemas. Wajahnya telah berlinangan air mata. Ia yakin suaminya tahu, ia mencemaskan Yunus. Hanya Yunus yang masih hidup. Tiga bersaudara itu kini tersisa dua setelah Satrio meninggal beberapa tahun sebelumnya. Tersisa dirinya dan adik bungsunya, Yunus.

"Yunus? Yunus?" teriak Ayu, berharap Yunus mendengar panggilannya. Namun suasana tengah ricuh. Di tengah keramaian yang kacau dan letusan-letusan bilah-bilah bambu yang terbakar lidah api, suara teriakan Ayu yang memanggil adiknya seperti angin yang berbisik. Atap-atap mulai rubuh, disusul dengan bangunannya, bagian per bagian.

"Bu, kita selamatkan anak-anak dulu. Tidak ada waktu. Ayo! Bu!"

Melihat keraguan di mata istrinya, Gunung mengambil langkah tegas. Dengan cepat ditariknya tangan Ayu dengan sedikit memaksa. Mau tidak mau tangan-tangan yang terhubung menggerakkan seluruh badan, hingga langkah mereka searah seirama dengan Gunung. Terus saja Gunung membawa mereka menjauh, lari sedikit ke atas bukit.

"Ayo, ayo, cepat, naik!" Tampak sudah ada banyak orang menunggu. Beberapa diantaranya berseragam loreng-loreng tentara. Mereka membantu para wanita dan orang-orang tua naik ke atas sebuah truk besar dengan terpal gelap.

Bantuan dari kampung sebelah juga sudah menunggu. Truk-truk pengangkut sayur dan buah, serta dua truk tentara besar mulai di penuhi penduduk desa nelayan yang menyelamatkan diri. Dari atas truk banyak mata tertuju pada sebuah area besar yang memerah. Sama seperti mereka, kini mata keluarga Gunung ikut terpana melihat desa tempat tinggal mereka mulai habis hancur.

"Mas, cari Yunus! Barangkali dia ada di truk lain," pinta Ayu. Gunung mengangguk lalu bergegas turun.

"Yunus? Yunus?" Gunung mulai mencari adik iparnya. "Yunus?"

Dari dalam truk, Ayu pun ikut meneriakkan nama adik bungsunya. Namun yang dipanggil tak kunjung menampakkan diri.

Tiba-tiba terdengar sebuah ledakan besar dari arah desa mereka. DHUARR!

Semua orang panik. Semua kaget. Dari atas truk tampak jelas kobaran api menutup desa mereka. Tangis dan teriakan histeris memenuhi telinga. Sadar akan bahaya yang lebih besar sedang terjadi, Ayu berteriak sekuat tenaga.

"Yunuuus! Yunuuus!"

Ayu terduduk lemas. Kedua matanya terpejam. Ia menangis sejadinya. "Yunus? Yunus?"

Dirasakannya tangan Gunung merangkul lalu memeluknya. Habis sudah harapannya untuk hidup bersama adik bungsunya. Rasanya ia tidak ingin hidup lebih lama lagi. Satrio pergi. Sekarang Yunus. Dari tiga anak orang tuanya, tersisa dirinya sendiri. Sungguh sepi.

Kemudian tubuh Ayu diguncang perlahan. Samar ia dengar suara Gunung memanggilnya.

"Ayu? Ayu?"

Perlahan Ayu membuka mata. Kaget. Pemandangan di depannya berubah. Tidak ada lagi desa nelayan. Tidak ada lagi penduduk desa. Ke mana larinya truk-truk tentara dan truk sayur yang menunggu para penduduk desa? Jangan-jangan semuanya hilang! Yunus, bagaimana dengannya? Benar-benar hilang?

"Yunus? Yunuuus!" Ayu berteriak.

Gunung memeluknya, membiarkan kepala Ayu bersandar pada bahunya.

Ayu mulai mengatur nafasnya. "Yunus... Pak, kebakaran, Pak. Yunus hilang. Yunus, Pak!

"Bu, bangun! Astaga, mimpi buruk lagi?"

...*...

Matahari belum lama menampakkan diri. Masih lima menit menjelang pukul enam pagi. Suasana ruang makan sudah meriah seperti biasa. Si kembar sudah memulai keributan dengan berebut roti isi.

Sementara itu Rani, anak paling kecil bersiap mengetuk pintu kamar tidur bapak dan ibunya. Isi surat yang dibawanya membuat ia ragu. Semalaman ia sulit tidur memikirkan isi surat itu. Sambil memantapkan diri usai berdoa dalam hati ia akhirnya mengetuk pintu.

Tok-tok-tok!

"Bu? Ibu? Di dalam, nggak? Rani ada perlu."

Tidak lama kemudian pintu dibuka dari dalam. Rani bingung melihat orang yang keluar.

"Eh, Rani?"

"Lho? Kok yang keluar Bapak? Ibu mana, Pak? Masih tidur?"

"Sshhh. Vertigo Ibumu kumat. Biarkan Ibumu istirahat," Gunung melirihkan suara.

Rani mengangguk-angguk mengerti. Bibirnya membulat membentuk 'o' tanpa suara. "Tapi, anu e Pak, aku butuh tanda tangan Ibu. Ini lho, 'kan dari sekolah mau ada studi banding ke luar kota. Terus yang ikut nggak semua, Pak. Pesertanya dipilih oleh sekolah."

"Terus, kamu terpilih untuk ikut?" Gunung menggiring lengan Rani agar mengikutinya, sedikit menjauh dari pintu kamar. Tanpa protes Rani menurut sambil serius menjawab pertanyaan bapaknya.

"Iya, Pak. Makanya aku dapat surat permohonan izin untuk orang tua dari sekolah. Biasanya Ibu yang tanda tangan surat beginian, Pak."

"Oo, gitu. Berarti ndak harus sama Ibu, 'kan? Dengan Bapak juga bisa?"

"Ya bisalah, Pak. Tapi Bapak nanti jangan lupa bilang sama Ibu soal ini. Biar aku nggak ditegur Ibu nantinya."

Gunung tersenyum mengerti. Istrinya memang paling rewel jika menyangkut anak-anak. Seraya mengelus kepala putrinya ia mengangguk, "Ya. Beres. Ngomong-omong, mau studi banding ke mana, to?"

"Ke beberapa tempat, sih. Salah satunya ke bengkel kapal, Pak."

DEG!

Gunung terdiam sesaat. "Bengkel kapal..., galangan kapal, maksudmu?"

"Iya, Pak. Tempat bikin dan benerin kapal itu lo, Pak," terang Rani.

"Iya, Bapak tahu. Tapi memangnya kamu tertarik jadi tukang kapal? Itu pekerjaan khusus cowok, lho!"

Rani protes, "Ih, siapa bilang? Buat cewek juga bisa kali, Pak."

"Ah, mosok, sih? Bapak belum pernah dengar ada cewek yang tertarik bekerja di galangan kapal, apalagi secara sukarela, bukan karena terpaksa atau terkondisikan alias kepepet, harus kerja di situ," bujuk Gunung.

Namun rupanya Rani sudah bertekad. "Mangkanya, perlu dibuktikan, Pak. Caranya, Bapak sama Ibu kasih izin buat Rani ikut studi banding itu. Jadi nanti Rani bisa lihat sendiri dan pasti deh bakal Rani ceritain kondisi aktual yang ada di sana."

Gunung tertawa. Inilah ciri khas anak bungsunya, selalu membujuk dengan cerdas tanpa ngotot dan tarik urat saraf. "Akalmu lho, Nduk! Ya sudah, mana suratnya?"

"Asiiik! Ini, Pak. Nah, di sebelah sini. Bapak tanda tangani sekarang, ya?"

"Sebentar, Bapak perlu baca dulu. Mosok langsung tanda tangan?"

Lalu Gunung membaca surat dari tangan Rani. Galangan kapal. Lokasinya masih di DIY. Tidak terlalu jauh. Kalau ada apa-apa, dia masih bisa segera bertindak. Masalahnya anak bungsunya fobia terhadap api. Fobia dari lahir. Bisa dibilang itu fobia yang aneh. Seandainya saja saat peristiwa kebakaran enam belas tahun lalu anak itu sudah lahir ke dunia dan ikut mengalaminya, fobia itu menjadi sedikit logis. Lantas sekarang si bungsu ini mau ikut studi ke galangan kapal. Kalau di sana ada yang mengelas logam lalu dia melihat api, bagaimana dengan fobianya? Melihat api lilin menyala saja anak itu berkeringat dingin, apalagi percikan api las?

"Dik, kamu yakin, mau ikut ke sini? Tahu risikonya, 'kan?"

Rani mengangguk cepat. "Tahu, kok. Tapi 'kan guru yang mendampingi udah tahu semua soal aku, Pak. Aku juga nanti sangu kacamata hitam. Jadi, aman."

Gunung memandang anak bungsunya sangsi.

"Bapak? Boleh, ya, Pak?" Rani menarik ujung kemeja bapaknya, merayu.

"Memangnya kacamata hitam saja cukup? Kalau kamu pingsan terus... "

"Sebelum pingsan aku telepon Bapak. Beneran, deh, Pak," Rani memotong perkataan bapaknya. "Please, please, boleh, ya, Pak? Kapan lagi ada kesempatan kayak gini?"

Hati Gunung tidak tega menolak permintaan anaknya. Tetapi ada risiko yang menghadang. Terakhir kali fobia Rani kambuh, dia menunggui anaknya di IGD selama dua jam sebelum siuman dari pingsannya. Akankah itu terulang? Bisa jadi, 'kan?

Iya, Gunung juga tahu. Dia paham sekali, setiap orang punya kesukaan dan minat sendiri. Begitu pula dengan anak bungsunya yang manis. Sudah beberapa tahun belakangan ini si bungsu semakin menggilai kapal, benda mengambang yang bisa mengarungi lautan. Saat melihat gambar kapal di kalender dinding, Rani kecil takjub dibuatnya. Tidak ada alasan yang jelas mengapa Rani bisa jatuh cinta pada kapal, perahu, kano, dan semacamnya. Gunung dan istrinya hanya punya satu dugaan yang tidak pernah mereka ungkapkan di depan anak-anak mereka soal itu.

"Pak? Bolehin, dong? Tanda tangan, please. Pak..., please?"

Gunung menghela napas panjang. "Kalau ada apa-apa, minta guru pendamping telepon Bapak atau Ibu." Lalu ditekennya surat permohonan persetujuan orang tua.

"Yess!" Rani bersorak lalu memeluk bapaknya penuh sukacita.

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!