Cinta Terhalang System

'Kamu pikir yang aku inginkan hanya... uangmu... Love is money, love is money...'

Sembari mendengarkan penjelasan si wanita sistem, aku melantunkan bait lagu oleh Cinta Laura.

Selama aku mengenakan pakaian untuk bermain keluar dan memasukkan seragam sekolah yang sudah terkotori oleh muntahan pada mesin cuci, aku bertanya mengenai maksud 'sistem penguasa'.

Awalnya dia kembali enggan menjawab, tapi setelah aku mengatakan; "Aku perintahkan kau menjawabku!"

Dia menjawab.

[Perintah diterima.

Penjelasan: Saya adalah sistem untuk membantu dan melatih Anda menjadi seorang penguasa. Setiap misi bertujuan untuk mempersiapkan Anda, dengan hadiah uang dan bonus seperti skill dan poin status sebagai penghargaan karena telah menjalani misi.]

Di saat ini lah aku melantukan lagu Cinta Laura Kiehl berjudul Cinta atau Uang. Aku sudah tidak waras sepertinya.

Aku mengangkat kedua alisku di wajah tampan, berkulit cerah, mata kecoklatan dan hidung mancung. Aku bahkan sedikit menganggukan wajah, mevalidasi diriku yang tampan. Narsis memang.

"Kenapa aku harus menjadi penguasa?" tanyaku.

[Karena itu keinginan Anda yang paling terdalam.]

Hah?

Dari pantulan cermin di kamarku, wajahku semakin mengerut setelah mendengar itu.

Aku merasa tidak pernah ingin menjadi seorang penguasa. Sama sekali aku tidak pernah bermimpi menjadi pejabat publik. Tapi, jika dalam konteks ranah bisnis, menjadi 'penguasa' dari kerajaan bisnis, itu sudah menjadi mimpi semua orang bukan? Terlebih pada orang miskin sepertiku dulu, ingin menjadi entrepreneur. Bac*t banget.

"Penguasa apa? Presiden? CEO?" tanyaku menuntut penjelasan lebih lanjut. Aku bahkan hampir memekik.

[Apa pun.]

Dia menjawab dengan tegas dalam nada contralto-nya. Aku sudah tahu sekarang, bagaimana cara membuat dia akan menjawabku. Maka, aku mengeluarkan kartu as.

"Aku perintahkan kau menjawabku!" tuntutku. Aku tersadar dari apa yang telah terjadi, kata 'perintah' menjadi kata ajaib yang bisa memaksanya menjawabku.

[...]

Sialan! Itu tidak berfungsi lagi? Apa aku salah? Mungkin perintahku kurang jelas.

"Aku perintahkan kau untuk menjelaskannya lebih lanjut mengenai jawaban tersebut!" tuntutku sekali lagi. Aku hampir melipat lidahku karena ucapan yang belibet.

[...]

Anj*ng!

Sepertinya aku salah. Aku akan mencoba hal lain.

"Aku perintahkan kau untuk menjelaskan hadiah uang. Apa maksudnya dan apakah aku bisa memilikinya?" tuntutku kali ini lebih tenang.

Bukannya aku sangat menginginkan uang dari hadiah misi, iya sih mau, tapi apakah itu hanya sebatas tingkat kesulitan saja? Aku sudah merasakan hadiah skill dan poin status dari level up, walaupun aku masih meragukan jika benar-benar bermanfaat.

Selama ini aku menjalani misi berhadiah uang hanya untuk menyelamatkan diri dari serangan kejut. Ini tidak adil.

Sejenak dia masih tidak menjawabku.

Aku mengulangi pertanyaanku dengan mengubahnya menjadi lebih spesifik, dan berkali-kali aku menuntutnya, mulai dari tingkat kesulitan hingga cara mendapatkan uang.

[Penjelasan: Benar. Tingkat kesulitan misi dapat diukur berdasarkan jumlah hadiah uang. Berbeda dengan hadiah skill dan level up yang merupakan misi khusus.]

Hmm. Aku jadi tidak mengerti betapa sulitnya yang disebut misi khusus itu.

[Hadiah uang sudah dikirimkan ke dalam rekening bank Anda.]

Hah? Aku masih berusia 12 tahun. Aku belum memiliki rekening.

[Anda sudah memiliki rekening tabungan pendidikan yang dibuatkan oleh ayah Anda.]

Oh. Hebat juga ayahku ini, dia sudah berpikir jauh ke depan. Jadi seperti ini orang kaya mengatur uang mereka. Nanti akan kuminta kartu ATM milikku.

"Berapa total tabunganku?" tanyaku penuh kegirangan.

[Secara keseluruhan dari deposit oleh ayah Anda sebesar 300.000.000 rupiah dan dijumlah dengan akumulasi hadiah dari misi yang sudah terselesaikan selama 12 tahun serta suku bunga 1,5% per tahunnya, maka berjumlah

1.949.294.794,52 rupiah.]

Aku ternganga. Satu miliar. Satu miliar sembilan ratus juta. Kata-kata yang kudengar itu sontak membuatku syok. Itu jumlah uang yang tidak mungkin aku miliki dalam kehidupanku yang dulu.

Hanya bekerja sebagai Social Media Spesialist, tidak mungkin aku mencapai angka itu. Bahkan, jika aku kerja keras bagai kuda, aku mungkin mati lebih dulu sebelum mendapatkan uang itu.

Tapi, hei. Aku pernah mati, dan sekarang aku memiliki uang sebesar itu. Semua sudah bukan hal yang tidak mungkin lagi. Bahkan, aku punya kesempatan untuk meraih uang lebih banyak lagi saat ini.

Memikirkan semua itu, aku mendekat pada cermin panjang di ujung kamar. Senyumku melebar, mataku membulat, degup jantungku tak hentinya berdentum kencang.

"Yes! Yes anj*ng! Whuu!" Aku memekik kencang, sekencang-kencangnya, seraya melompat-lompat di atas karpet lantai coklat muda.

Dengan sudah berpakaian hoodie biru dan jins hitam serta sneakers hitam yang kubiasa pakai ke sekolah, aku berlari meraih tas di atas kasur.

Memasukkan seragam sekolah yang baru ke dalam tas, untuk dipakai nanti pulang, berpura-pura telah pergi ke sekolah. Untuk menipu orang tua butuh rencana yang matang.

Lalu, meraih dompetku yang tergeletak di meja komputer. Sisa uang dari pemberian Ayah dan setelah membayar teteh Farah untuk membersihkan rumah, aku masih punya 1,4 juta.

"Let's go party!" pekikku.

Pandanganku dari isi dompet beralih ke luar jendela. Sekarang sudah tengah hari. Sinar matahari sudah menembus kamar, membuat kamarku sangat terang. Namun, panasnya tidak terasa, mungkin karena ruangan ini ber-AC atau karena aku tinggal di Kota Bandung.

"Aku udah boleh bolos kan? Lagian udah telat banget ke sekolah juga."

[Tentu saja. Misi sebelumnya sudah gagal dijalankan dan Anda telah menjalani konsekuensinya.]

Tanpa pikir panjang lagi, aku membuka aplikasi taksi online, memesan untuk pergi ke mall. Aku mau makan dan ngopi sepuasnya di sana.

Setelah driver taksi datang, aku langsung pergi keluar rumah, tidak lupa mengunci pintu elektronik yang menggunakan sandi, dan aku pun beranjak dari rumah.

DING!

[Misi baru: Buat Rara ikut membolos dengan Anda.

Hadiah: 50.000.000 rupiah.

Batas waktu: Pukul 15:00.]