NovelToon NovelToon
Memori Kelabu

Memori Kelabu

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Cinta Murni
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Kenangan mungkin tak selalu berisi manis. Rasa pahit akan selalu menyertai. Amira sadar jika dirinya adalah orang yang telah memberi warna kelabu pada masa lalu kehidupan Vian. Kini rasa sesal tak lagi berlaku, sebab Vian telah melupakan semuanya. Semua boleh hilang, semua boleh terlupakan. Yang Amira harapkan hanya satu, Tuhan memberikan kesempatan untuk memperbaiki apa yang pernah ia sia-siakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keping ke-11

“Saboten lagi?”

Vian tersenyum. Ia tahu pasti jika Amira tidak akan pernah bosan datang ke tempat bernuansa Jepang itu. Jalan raya Dieng tak terlalu padat, mereka berdua menyeberang jalan dan sampai di restoran khas Jepang itu. Awalnya Amira langsung duduk di kursi dekat jendela, tapi Vian menggeleng, “”Jangan di sini.”

“Kenapa?”

“Pengen di ruang lesehan. Ayo.” Vian menarik pergelangan tangan Amira. Tangannya dingin. Seperti baru saja memegang es batu.

Vian mengajaknya menuju ruangan lesehan. Di mana hanya ada meja pendek dengan bantal duduk di sana. Amira tak protes jika memang Vian lebih suka duduk di bawah. Tapi saat mereka berdua sudah duduk berhadapan di sana, Vian yang menjelaskan tanpa diminta.

“Saya suka duduk di bawah. Rasanya seperti orang Jepang betulan.” Vian nyengir. Oke, Amira pasti akan suka apa yang Vian suka. Amira tersenyum dan menyahut, “Aku sependapat.”

Vian tersenyum puas.

Hening saat pesanan keduanya baru saja sampai. Vian tak langsung menyerbu makanannya, demikian juga dengan Amira yang sungkan jika makan lebih dulu. Amira merasa ada yang aneh dengan Vian.  Gelagatnya tak normal. Seperti tegang. Sama halnya dengan Amira. Berkali-kali ia meneguk ludah susah payah jika mengingat niat awalnya: mengatakan terus terang apa yang sebenarnya terjadi.

Tapi ia tercekat tiap kali mulutnya terbuka, dan apa yang hendak ia katakan buyar seluruhnya. Vian meraba note kecil di meja, note yang biasanya dipakai untuk memesan makanan. Ia meraih penanya dan menulis sesuatu.

“Kamu nggak makan?” Amira memecah hening di sekitar mereka. Lawan bicaranya mengangkat kepala lalu tersenyum, “Nanti.”

Amira tak mengatakan apapun setelahnya. Ia membiarkan Vian sibuk sendiri, sementara ia juga sibuk mengamati pemuda itu. Berusaha mengintip apa yang Vian tulis tapi tak berani menunjukkan gelagatnya. Tapi Amira penasaran, jadi ia memajukan punggungnya. Niat Amira bersamaan dengan Vian yang menyodorkan note itu padanya. Amira terkejut, tapi tak menunggu lama hingga ia meraih note itu dan membacanya.

Bening. Halus. Bergerak lambat. Saya tak menyadari pada awalnya.

Seperti udara dalam buih yang pecah. Menyebar. Menguar.

Tak bisa lagi saya tahan ini sendiri. Tapi jika saya katakan sebenarnya, mungkin hanya berakhir dengan gelakan tawa. Tak ubahnya saat melihat badut di pesta ulang tahun.

Biarlah.

Tertawalah, jika memang ini adalah hal paling konyol yang pernah saya lakukan.

Benar Amira tertawa. Melupakan semua perasaan gundah sebelumnya.

Antara malu dan kesal, tapi Vian tak mengatakan apapun hingga tawa Amira mereda. “Ini maksudnya apa?”

Vian tak lantas menjawab. Ia diam beberapa jenak dengan dahi mengernyit. “Tadi yang kamu tertawakan apa?” Vian hanya heran, kalau Amira tak mengerti, kenapa pula ia sampai tertawa berderai-derai begitu?

“Aku ketawa karena ini puisi pertama yang pernah ditulis cowok buatku, dan nyatanya aku nggak ngerti. Itu lucu.”

“Begitu?”

Amira mengangguk. “Maksudnya apa sih?”

“Maksudnya, saya pengen mengenalkan kamu sama Mama.”

“Ngenalin?”

“Sebagai pasangan.”

“Ha?” Amira melebarkan kelopak matanya. Sungguh, apa ia tak salah dengar? Apa baru saja Vian nembak secara halus?

“Maksud kamu...” Amira menggantung kalimatnya.

Rasanya Vian tak perlu lagi menjelaskan. Vian tahu Amira mengerti. Sangat mengerti. “Kamu mengerti. Kamu bukan orang bodoh, Amira.”

Vian diam. Menunggu hingga Amira mengatakan sesuatu. Tapi ketika Amira belum mengatakan apapun, Vian mulai gugup. Ia meminum jus mangganya tanpa sedotan, meneguknya cepat hingga tak terasa satu gelas penuh ia tandaskan.

“Boleh.”

Brussshh... Kemudian terbatuk. Vian memukul-mukul dadanya. Tersedak jus mangga yang baru saja melewati tenggorokan di depan Amira sungguh memalukan. Apalagi noda jusnya sampai membasahi kemejanya. Sial, melihat Amira menertawakannya sampai dua kali sungguh di luar prediksi.

“Kamu nggak apa-apa?”

Vian menggeleng lalu menegaskan, “Kamu serius mau?”

Amira mengangguk. Amira belum pernah bertemu dengan Mama Vian sebelumnya. Bagaimana wajahnya, bagaimana sifatnya, Amira tak tahu. Meski sebenarnya, jauh di sudut hatinya, ada dominasi rasa bersalah dan takut pada wanita itu.

***

“Nggak usah jemput, aku udah nyampe nih, di depan rumahmu.” Sambungan telepon terputus begitu Amira selesai dengan pemberitahuannya. Pemutusan sepihak itu tidak terlalu Amira hiraukan, karena terdengar derap kaki dari dalam rumah Vian. Amira tersenyum penuh kebanggaan, suara derap kaki itu... derap kaki panjang dan kasar penuh kekhawatiran, Vian...

“Amira?!” Benar kan, Vian membuka pintu depan dengan tergesa lalu gerak tubuhnya terhenti di beranda. Menatap Amira tak percaya, mata Vian setengah melotot dengan kedua sudut alis yang terangkat. Pemuda berkaus abu-abu itu berlari ke arah pagar depan begitu kakinya berhasil memakai sendal.

“Ra? Kok...?”

Ah, Amira tersipu pada ekspresi panik pemuda di hadapannya. Engahan napas Vian seketika membuatnya tertawa. “Apa? Kenapa panik gitu sih?” Reda dengan tawa, senyum Amira mengembang.

Vian berusaha mengatur napas. Mendadak merasa kepanasan, ia tarik-tarik kausnya demi mendapat sedikit angin untuk mendinginkan kulit dadanya. “Ah, kenapa kamu malah tertawa?”

“Nggak... aku cuma ngerasa kamu emang beneran lucu. Aku udah nyampe sini, tapi kamu malah panik gitu? Jangan-jangan...”

“Jangan-jangan... apa?” Vian menggaruk ujung hidungnya.

“Jangan-jangan kamu belum nyiapin apapun buat nyambut kedatanganku?” Amira menyodok pelan lengan kanan Vian, bergurau.

Vian kembali menggaruk ujung hidungnya, meski tak terasa gatal. “Saya bahkan tidak menyiapkan apapun.”

“Hee?” Amira melotot jengkel pura-pura.

“Bercanda...” Vian tertawa. “Emm, saya cuma tidak menyangka kamu tahu alamat rumah saya.” Vian membuka pagar dan mempersilahkan Amira melangkah ke halaman.

Mereka berjalan beriringan, pelan. Amira memperhatikan keadaan rumah Vian. Masih sama, sungguh tak ada yang berubah, sama sekali tak berbeda dengan saat ia berkunjung diam-diam waktu SMA.

“Aku... ah, aku kan paparazi,” alibi. Amira setengah gugup saat tanpa sadar bibir Vian mendekat tepat ke matanya. “A‒anu...”

“Jadi kamu tidak hanya mencuri foto-foto saya, tapi juga mencari tahu tentang alamat rumah saya?” Mendadak ekspresi Vian berubah serius.

Terpaksa Amira mengangguk membenarkan. Meski sebenarnya memang sudah dari dulu ia tahu semua tentang Vian. “Iya dong, aku kan—” Amira terdiam, bingung memberi alasan.

“Kalau begitu sudah selayaknya kita menjadi lebih dekat.” Vian meraih lengan kanan Amira dan menggeretnya masuk rumah dengan manja.

Amira menghembuskan napas lega, bersyukur Vian tidak mengiterogasinya lebih lanjut.

“Ma! Mama! Vian bawakan calon mantu nih!” teriak Vian dengan riangnya.

Amira mencubit pelan sisi perut Vian. “Kamu apa-apaan? Jangan ngomong gitu ah, malu tahu...”

Vian tergelak saat disadarinya wajah Amira memerah. Ia tahu pasti bahwa saat ini degup jantung mereka bekerja lebih cepat dari biasa. Vian suka, ya, suka mengerjai Amira. “Bohong kok.”

“M‒maksudnya?” tanya Amira.

“Mama belum pulang ngajar. Ahaha!”

“Iiiih! Nakal...” Kali ini bukan hanya sisi perut Vian yang kena cubit Amira. “Padahal aku udah terlanjur deg-degan...”

Vian masih cekikikan. “Sorry, Mama pulang sebentar lagi. Sekarang masih baru keluar tempat LBB. Yang sabar...”

“Apanya sabar? Kesannya kayak Mamamu aja yang mau jadian sama aku.”

“Memang... jadian sebagai calon mertua dan calon mantu.” Vian tersenyum malu. Amira pun tak kalah tersipu.

Tiba-tiba langkah Amira terhenti di ruang tengah, melamun. Amira sama sekali tidak sadar Vian menyuruhnya duduk.

“Amira?” Vian menyentuh pundak gadis yang dipanggilnya.

Amira tersentak. “Ah, anu... kuperhatikan di dinding rumahmu nggak ada foto-fotomu, atau foto orang tua—”

“Oh, itu. Saya sudah tidak punya Papa, dan Mama juga malas berfoto. Foto-foto kami bertiga yang lama sudah disimpannya.”

Lidah Amira kelu seketika. Kepalanya memanas, badannya limbung. Amira lah penyebab hal buruk terakhir yang membuat foto-foto keluarga Vian tak lagi dipajang.

“Amira? Kamu kenapa?”

Amira menggeleng lemah. “Aku... duduk dulu...”

“Ya sudah, tunggu di sini ya. Saya ambilkan minum, dan beberapa cemil—” Gerak badan Vian terhenti begitu membalik badan. Tangan Amira menahan pergelangan tangannya.

“Ayo... kita buatkan Mama sesuatu.”

“Sesuatu?”

1
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya.
Subber Ngawur: terima kasih 🥰
total 1 replies
Anita Jenius
Salam kenal kak
Subber Ngawur: halo, salam kenal
total 1 replies
Lucky ebj
ceritanya menarik,, bikin penasaran
Subber Ngawur: Terima kasih sudah mampir baca 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!