Seorang pendekar tua membawa salah satu dari Lima Harta Suci sebuah benda yang kekuatannya bisa mengubah langit dan bumi.
Dikejar oleh puluhan pendekar dari sekte-sekte sesat yang mengincar harta itu, ia memilih bertarung demi mencegah benda suci itu jatuh ke tangan yang salah.
Pertarungan berlangsung tiga hari tiga malam. Darah tumpah, nyawa melayang, dan pada akhirnya sang pendekar pun gugur.
Namun saat dunia mengira kisahnya telah berakhir, seberkas cahaya emas, menembus tubuhnya yang tak bernyawa dan membawanya kembali ke masa lalu ke tubuhnya yang masih muda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biru merah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 11. Tiba Di Sekte
Sesudah Lin Yan dan Guru Bai meninggalkan desa itu dan melanjutkan perjalanan mereka. Setelah beberapa hari berjalan kaki menembus hutan dan lembah, akhirnya mereka tiba di depan gerbang megah Sekte Pedang Suci.
Melihat gerbang itu, langkah Lin Yan terhenti sejenak. Kenangan masa lalu kembali menyergap pikirannya.
Sekte ini... dulunya tempat yang damai dan penuh semangat. Namun setelah ia pergi, sekte ini diserang oleh aliran hitam. Banyak sekte kegelapan bergabung dan menghancurkan segalanya. Guru-guru dan para tetua tewas. Murid-murid pun tak ada yang tersisa.
Memori itu menyesakkan dada Lin Yan. Ia mengepalkan tangan dan bertekad dalam hati.
"Kali ini... aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi. Aku akan melindungi mereka yang berharga bagiku... walau harus mengorbankan segalanya."
Langkahnya kembali mantap saat mereka berjalan masuk. Beberapa murid luar yang menjaga gerbang melihat ke arah mereka.
“Hei, bukankah itu Tetua Bai?” bisik salah satu murid.
“Dia kembali? Bukankah dia menghilang selama hampir satu tahun?” sahut murid lainnya.
“Lihat, dia membawa seorang anak kecil. Apa dia murid barunya?” tanya yang lain.
Namun Guru Bai hanya tersenyum kecil, tidak menanggapi. Lin Yan pun diam tanpa menoleh.
Setelah melewati gerbang, mereka berjalan menuju sisi timur sekte. Guru Bai membawa Lin Yan ke sebuah vila sederhana yang tampak tua dan tak terurus.
“Yan’er, mulai sekarang tempat ini akan menjadi tempat tinggalmu,” kata Guru Bai sambil menunjuk ke bangunan bambu itu. “Namanya... Vila Bambu Merah.”
Mereka masuk ke dalam. Tampak debu dan daun kering berserakan di mana-mana. Udara di dalam lembap dan aroma kayu tua memenuhi ruangan.
“Maafkan guru. Tempat ini sudah lama tidak dihuni sejak terakhir aku tinggal di sini sebelum bersama denganmu,” ucap Guru Bai sedikit canggung.
“Tak apa, Guru,” jawab Lin Yan singkat. Ia mengangguk dan segera mengambil sapu.
Tanpa banyak bicara, Lin Yan mulai membersihkan vila itu. Ia menyapu, mengelap lantai, menata perabotan yang tersisa, bahkan memangkas rumput liar di sekeliling vila. Setelah hampir setengah hari bekerja, vila itu terlihat jauh lebih layak untuk dihuni.
“Selesai juga,” gumam Lin Yan sambil menyeka keringatnya.
Setelah itu, ia membersihkan diri dan mulai berlatih seperti biasa. Guru Bai sudah pergi ke ruang pertemuan untuk melapor kepada para tetua dan ketua sekte.
Di belakang vila, area latihan cukup luas. Terdapat hamparan bambu yang batangnya kemerahan, sesuai dengan nama vila ini.
Sambil mengayunkan pedangnya, Lin Yan berlatih mengulangi jurus-jurus dasar, lalu perlahan mulai memperdalam pemahamannya tentang Kitab Tubuh Surgawi dan Kitab Pembalik Surga.
Malam pun tiba. Setelah selesai berlatih, Lin Yan mandi kembali lalu duduk bersila di dalam vila. Ia mengeluarkan ginseng dari kantong penyimpanannya.
“Dengan ginseng ini, aku bisa memperkuat kualitas tulangku lebih cepat. Targetku... tulang naga.”
Ia mulai mengaktifkan teknik tubuh surgawi, perlahan menyerap energi dari ginseng tersebut. Aura hangat memenuhi tubuhnya dan tulangnya mengeluarkan suara retakan halus—sebuah tanda peningkatan kekuatan fisik.
Keesokan paginya, Guru Bai baru kembali.
“Yan’er, bagaimana tempat tinggal barumu?” tanya Guru Bai sambil duduk di beranda.
“Cukup nyaman, Guru. Sudah saya bersihkan kemarin,” jawab Lin Yan.
Guru Bai tersenyum. “Hari ini, aku akan menunjukkanmu isi sekte ini. Ayo ikut.”
Hari itu, mereka berkeliling sekte. Guru Bai memperkenalkan tempat-tempat penting seperti gedung penerimaan misi, tempat latihan umum, aula utama, dan perpustakaan. Ia juga menjelaskan peraturan sekte, dari hal sepele hingga yang bersifat fatal.
Meski Lin Yan sudah mengetahui semuanya, ia tetap mendengarkan dengan sabar. Ia tidak ingin gurunya curiga bahwa dirinya mengetahui lebih dari seharusnya.
Saat mereka kembali ke Vila Bambu Merah, seorang tetua datang memanggil Guru Bai.
“Ada tugas dari ketua sekte, aku harus pergi lagi, mungkin agak lama,” kata Guru Bai dengan nada menyesal.
Lin Yan mengangguk. “Hati-hati, Guru. Jangan sampai ceroboh.”
Setelah kepergian gurunya, Lin Yan kembali memfokuskan waktunya untuk berlatih. Kali ini ia mencoba kembali menggunakan jurus pertama dari Kitab Pembalik Surga: Jurus Penyatu Langit.
Di halaman belakang vila, terlihat sosoknya menari cepat seperti bayangan. Gerakannya lincah, tidak beraturan, namun jika diperhatikan seksama, setiap gerakan memiliki tujuan mematikan.
Kecepatan tinggi, pola tak terduga—itulah kekuatan teknik ini. Dalam waktu singkat, batang-batang bambu merah terpotong rapi tanpa suara.
Setelah beberapa putaran, Lin Yan menghentikan gerakannya dan terengah.
“Efek sampingnya masih berat… meskipun aku sudah di tahap tulang phoenix awal, tapi aku belum bisa menggunakannya terlalu lama,” gumamnya sambil menarik napas panjang.
Ia kembali ke vila dan mengistirahatkan tubuhnya.
Keesokan harinya, saat Lin Yan berjalan menuju perpustakaan untuk mencari kitab tambahan, sekelompok murid luar menghadangnya di tengah jalan.
“Hei! Tunggu sebentar!” seru salah satu dari mereka.
Lin Yan berhenti, memandang mereka tanpa ekspresi.
“Aku belum pernah lihat wajahmu. Kau murid baru, ya?” tanya si ketua kelompok, nada suaranya angkuh.
“Bukan urusanmu,” jawab Lin Yan dingin.
Jawaban itu membuat murid itu geram. Dengan cepat, dia mengayunkan tinjunya.
Namun gerakannya terlalu lambat bagi Lin Yan. Dengan mudah ia menghindar dan langsung membalas dengan satu pukulan ke wajah lawannya.
Pemuda itu terhuyung, memegang pipinya yang memar. “Sialan! Bunuh dia!”
Empat orang lainnya segera mencabut pedang dari pinggang mereka dan menyerbu.
“Aku ingin seluruh tulangnya dipatahkan! Lalu penggal kepalanya!” teriak si ketua dengan penuh amarah.
Namun dalam hitungan detik, Lin Yan menghindar, mencabut pedangnya, dan melumpuhkan mereka satu per satu. Gerakannya cepat dan akurat. Keempatnya tumbang dengan luka di pundak dan kaki, namun tidak fatal.
Dengan langkah mantap, Lin Yan mendekati si ketua yang mulai mundur ketakutan.
“Ka-kau… Jangan mendekat!”
Tanpa ragu, Lin Yan menebas lengan kanan pemuda itu hingga terputus.
“Aaaarghhh!”
“Jika bukan karena peraturan sekte yang melarang pembunuhan antar murid, kau sudah mati sejak tadi,” kata Lin Yan dingin.
Setelah itu, Lin Yan menyarungkan pedangnya dan kembali berjalan ke arah perpustakaan.
Sementara itu, pemuda yang kehilangan lengan segera berlari sambil menangis menuju kediaman ayahnya—seorang Tetua Luar dari Sekte Pedang Suci. Saat sang tetua melihat kondisi anaknya, kemarahan tak terbendung pun meledak.
Wajahnya memerah, napasnya memburu. Tanpa pikir panjang, ia segera melesat pergi—menuju tempat Lin Yan berada.