Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelidikan Clarissa
Beberapa hari kemudian di kantor, Pak Dimitri tampak rapi, berwibawa, namun memancarkan kelelahan seorang pengusaha sukses. Adalah ruang sudut di lantai atas gedung pencakar langit. Jendela kaca setinggi langit-langit menampilkan panorama senja kota Jakarta yang padat.
Clarissa datang dia tampak elegan, membawa energi keras kepala dan fokus yang tajam, duduk di sofa kulit mahal, di seberangnya, Pak Dimitri duduk di kursi kerjanya yang besar. Ada selembar brosur properti mewah di meja.
Clarissa menunjuk brosur.
"Harganya 100 M, Pih. Fix price dan sudah dua tahun mansion itu kosong, belum ada yang mau beli."
Pak Dimitri menghela napas, meletakkan pena.
"Sayang, kamu tahu uang 100 M itu bukan uang jajan. Itu setengah dari modal awal proyek kita di Kalimantan. Kamu mau beli apa? Istana?"
"Bukan istana, Pa. Itu mansion yang letaknya persis di seberang mansion keluarga Ramon."
Pak Dimitri memijat pangkal hidungnya.
"Ramon. Maksudmu, keluarga tidak tahu diri itu? Yang anaknya menolak menikah denganmu?"
"Ya."
"Kenapa kamu harus beli tempat di sana? Mansion kita kurang besar? Atau kamu mau pindah ke sana biar bisa deketin Reno?"
Clarissa suaranya turun, ada nada konspirasi.
"Ini bukan soal ukuran atau pindah, Pap. Ini soal posisi. Aku harus berada di sana. Aku harus selalu mengawasi."
"Mengawasi siapa? Reno? Kamu bilang kamu ingin menjauhi dia karena dia membuatmu teringat pada sakit hati atas penolakan?"
Clarissa bersandar ke sofa, matanya menyipit.
"Aku harus mengawasi istrinya. Si Lilis yang bikin merinding dan licik itu."
Pak Dimitri terlihat bingung, kelelahan, dan bosan dengan drama ini.
"Clarissa, dengar Papa. Ini bukan novel roman yang kamu baca. Lilis adalah istri Reno. Apa masalahnya kalau dia menikah dengan Reno? Reno cintanya sama dia."
"Dia dicurigai bukan manusia , Pap. Dia lelembut yang sedang mengambil tempat. Dia sedang bergerak cepat untuk menguasai keluarga Ramon. Tante Ninda udah cerita."
"Lalu, kamu mau jadi pahlawan? Kamu mau jadi penjaga keluarga Ramon dengan menghabiskan 100 M untuk menjadi tetangga mereka dan mengintip dari jendela? Kamu tahu betapa gilanya kedengarannya, sayang?"
Clarissa berdiri, bergerak ke jendela dan menatap pemandangan kota. Wajahnya keras, tidak goyah.
"Aku tidak gila, Pa. Aku hanya realistis. Setelah Reno dan Lilis nikah, kehidupan Tante Ninda berubah drastis. Mansion mereka yang mewah berubah menjadi creepy seperti di bangunan-bangunan angker yang sering dikunjungi konten kreator horor."
Pak Dimitri menghela napas panjang.
"Ok. Anggap saja yang kamu katakan itu benar. Apa yang akan kamu lakukan setelah kamu berada di seberang mansion mereka? Menerobos masuk dan berteriak, aku tahu kamu itu hantu Lilis! Reno akan mengusirmu. Dia akan menganggap kamu stres karena gagal nikah samanya."
"Aku akan berada di posisi yang strategis. Semua yang Lilis lakukan akan terpantau dan aku yakin, aku bisa mengusir perempuan setan itu dari mansion keluarga Reno."
Dia berbalik, menatap ayahnya dengan tatapan penuh tekad.
"Aku butuh basis operasiku di sana. Aku akan menjebak Lilis Pap, dan untuk itu, aku butuh mansion itu."
Pak Dimitri memijat kening.
"100 M untuk basis operasi? Ini bukan film mata-mata, Clarissa."
"Ini jauh lebih penting, Pap. Ini tentang gentayangan dan ini juga tentang integritas. Aku tidak akan membiarkan entitas licik sepertinya menang. Aku tidak akan membiarkan Reno jatuh ke dalam perangkapnya."
Clarissa berjalan ke meja ayahnya, mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Transfer uangnya. Aku akan menutup transaksi besok pagi dan anggap ini sebagai investasi. Suatu saat mansion itu pasti akan naik harganya."
Pak Dimitri memandangnya. Dia melihat tekad yang tidak bisa dipatahkan, sifat yang sama yang membuatnya sukses dalam bisnis, tetapi sekarang diarahkan pada obsesi yang berbahaya.
Pak Dimitri mengambil napas, mengalah.
"Kamu keras kepala sekali. Kamu sangat mirip dengan almarhumah ibumu."
Clarissa mengambil pena ayahnya.
"Jadi, apakah itu ok?"
Pak Dimitri mengangguk perlahan.
"Ok. Tapi kamu harus janji. Kamu hanya boleh menggunakan mansion itu untuk tinggal dan berinvestasi. Tidak ada drama. Tidak ada perkelahian di depan mansion tetangga. Jika kamu melanggar, Papa akan menjualnya kembali dalam seminggu."
Clarissa tersenyum. Senyum kemenangan yang dingin, mirip dengan kilatan di mata hantu Lilis.
"Janji. Terima kasih, Pa. Muach muach."
Dia bangkit dan berjalan menuju pintu, memegang erat brosur properti itu.
"Clarissa." panggil Pak Dimitri.
Clarissa berhenti di ambang pintu.
"Jangan sampai kamu menjadi lebih gila daripada yang kamu tuduhkan kepada istri Reno."
Clarissa tidak menjawab. Dia hanya memberi senyum kecil dan keluar, meninggalkan Pak Dimitri sendirian di kantornya, menatap ke luar jendela dengan perasaan gelisah.
Beberapa hari kemudian
Sebuah gerbang hitam tinggi terbuka. Mobil sport mewah berwarna gelap memasuki halaman mansion baru yang sunyi dan megah. Arsitekturnya klasik, luas, tetapi memancarkan aura dingin karena cukup lama kosong.
Clarissa dalam balutan busana kasual berkelas, keluar dari mobil. Di belakangnya, seorang asisten yang terlihat gugup, membawakan beberapa tas.
Clarissa tidak melihat ke rumahnya sendiri. Matanya langsung tertuju ke seberang jalan.
Di seberang jalan, berdiri megah mansion keluarga Ramon. Bangunannya tampak lebih tua dan lebih tertutup. Jendela-jendela besar di lantai atas terlihat gelap, seolah selalu diteduhi.
Clarissa tersenyum tipis, senyum yang sama dinginnya dengan yang dia berikan pada ayahnya.
"Posisi yang sempurna." ucap Clarissa.
Malam telah larut. Hanya ada sedikit cahaya yang datang dari lampu jalan kota.
Clarissa berdiri di balkon lantai tiga, yang menawarkan pemandangan langsung ke kamar utama mansion Ramon di seberang jalan.
Dia mengenakan jubah sutra, memegang teropong opera kecil dengan ukiran yang mewah. Di sampingnya, meja kecil dihiasi gelas anggur merah yang belum tersentuh.
Dia mengangkat teropong itu, mengarahkannya ke kamar utama mansion Ramon. Gorden kamar itu terpasang, tetapi ada celah kecil.
Melalui celah sempit itu, Clarissa hanya bisa melihat sebagian kecil interior kamar. Semuanya tampak remang-remang.
Clarissa menurunkan teropong, menghela napas, dan menyesap sedikit anggurnya.
"Lilis. Game dimulai."
Dia meletakkan gelasnya dan mengambil kamera digital profesional dengan lensa tele besar yang diletakkan di atas tripod. Ini adalah basis operasinya.
Angin malam berdesir. Clarissa duduk di kursi, matanya merah karena kurang tidur, tetapi fokusnya tajam. Dia menghabiskan malam-malamnya di sini.
Dia melihat ke seberang. Tiba-tiba, sebuah cahaya redup, berwarna biru pucat, menyala di kamar utama mansion Ramon.
Itu bukan cahaya lampu biasa, melainkan cahaya yang terasa tidak wajar dan memancarkan aura mistis.
Clarissa segera mengangkat teropongnya.
Melalui celah gorden yang sedikit lebih lebar dari biasanya, pandangan Clarissa menembus masuk.
Dia melihat Reno tidur di tempat tidur besar. Dia terlihat seperti tidak sadarkan diri, terbungkus erat dalam selimut tebal, meskipun hari tidak terlalu dingin.
Clarissa menggigit bibirnya, mencengkeram teropongnya lebih erat.
Tiba-tiba, pandangannya beralih ke sisi kamar.
Clarissa tersentak kaget, hampir menjatuhkan teropongnya. Dia segera meletakkannya dengan hati-hati dan meraih kamera dengan lensa tele.
Dia melihatnya. Di sudut kamar, dekat jendela, ada pergerakan. Itu bukan bayangan.
Bersambung