Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 - Hujan
Keheningan aneh memenuhi ruang sempit itu. Liliana duduk di tepi ranjang, masih mengenakan pakaian tipis dari kediamannya yang mewah, rambutnya jatuh seperti aliran sungai gelap di bahunya.
Sementara Sean berdiri di seberang ruangan, dengan hoodie basah dan kantong belanja yang belum sempat dibuka.
Canggung, sangat canggung. Sean berdehem pelan dan bertanya, "Jadi, ehm kamu tiba-tiba muncul, ya?"
Liliana mengangguk pelan dan menjawab, "Sepertinya begitu,"
"Dan kamu nggak tahu gimana caranya bisa ada di sini?" tanya Sean lagi merasa penasaran.
"Tidak, tapi aku senang bisa melihatmu lagi." jawab 'Tidak' Liliana singkat dan dilanjutkan dengan kata-kata yang volume suaranya dipelankan dengan menahan rasa gugup.
Sean menelan ludah, suasana di kepalanya riuh oleh pertanyaan.
"Teleportasi?"
"Mimpi kolektif?"
"Reinkarnasi yang terhubung?"
"Atau jangan-jangan dia sebenarnya bukan manusia?" teriak Sean di dalam pikirannya hingga Sean merasa bahwa gadis yang kini berada di depan matanya itu adalah seorang hantu.
Sean menggosok pelipis, bergumam sendiri, "Oke, kemungkinan pertama, ini efek dari koneksi emosional atau mungkin dunia paralel yang secara tidak sadar saling menarik atau bisa juga, dia—"
"Braaakk!"
Pintu tiba-tiba terbuka lebar, angin masuk bersama hujan, sosok Elio berdiri di ambang pintu dengan wajah lelah, sambil mengangkat sekotak pizza.
"Yo, Sean! Gue bawain pizza—" seru Elio yang baru saja membuka pintu dengan sekotak pizza di tangannya.
Elio langsung membeku, matanya langsung terpaku pada Liliana yang duduk di tempat tidur Sean, dengan rambut acak dan pipi memerah karena udara dingin, gaunnya lembut, nyaris seperti adegan film.
"..." Elio terdiam dan Liliana terdiam.
Sean menjawab dengan sangat cepat, "BUKAN SEPERTI YANG KAU PIKIRKAN!"
Elio masuk, perlahan menutup pintu dan berkata, "Aku, aku pergi sebentar, dan kamu langsung bawa pulang dewi dari kayangan?"
"Bukan, aku juga kaget, dia muncul tiba-tiba! Sumpah!" jawab Sean dengan tanpa sadar mengatakan bahwa Liliana muncul secara tiba-tiba.
Elio berbisik sambil mendekat, "Bro, kalau kamu punya kekuatan untuk summon cewek seindah ini ajarin gue."
Liliana tersenyum kecil dan malu-malu, "Aku bisa dengar kalian tahu!"
Mereka semua tertawa kecil, suasana sedikit mencair. Tapi, di balik tawa itu, Sean tahu ada misteri besar yang belum terungkap. Liliana tidak datang tanpa alasan dan meski sekarang mereka tertawa bersama, waktu akan menuntut jawaban.
Tawa kecil tadi baru saja mereda ketika Elio menaruh kotak pizza di meja, tapi sorot matanya masih tajam, penuh rasa ingin tahu, ia menyilangkan tangan, lalu menatap Sean dengan alis terangkat.
"Oke, serius sekarang, Lu bilang 'muncul tiba-tiba', maksudnya tiba-tiba gimana, Sean?" tanya Elio yang kini terlihat serius.
Sean langsung membeku, matanya melirik ke Liliana yang kini ikut menunduk, seolah ikut menyadari kalau jawabannya tadi sedikit terlalu jujur.
Sean berusaha tenang, dia pun menjawab dengan sedikit gugup, "Aku maksud ya, maksudku dia datang tiba-tiba aja gitu, enggak ngabarin dulu. Aku baru kenal dia beberapa hari lalu."
Elio menyipitkan mata dan kembali bertanya, "Beberapa hari lalu?"
Sean mengangguk cepat, "Iya, kami ketemu pas, pas hujan juga, kayak kebetulan gitu, ya udah, ngobrol bentar, terus jadi kenal deh." jawab Sean dengan sedikit gugup meskipun kini keringat basah membahasi punggungnya.
Elio berjalan pelan ke arah Liliana, tersenyum ramah dengan matanya yang masih menyipit, "Baru kenal tapi udah sampe nginep di apartemen kecil cowok kayak gini?"
Liliana menoleh, senyum tipis terukir di wajahnya dan menjawab, "Aku merasa nyaman berada di sini."
Elio mengangguk, tapi tatapan curiganya tetap bertahan, ia lalu berbisik ke Sean sambil menyenggol sikunya.
"Bro, dia bukan seleb, kan? Model atau beneran bidadari? Soalnya aura dia tuh beda banget jir." bisik Elio.
Sean menjawab pelan, tapi tegas, "Dia, bukan siapa-siapa, tapi juga bukan orang biasa dan itu yang bikin aku nggak bisa sembarangan ngomong."
Elio melihat sahabatnya beberapa detik, lalu mengangkat tangan menyerah.
"Oke, gue ngerti, tapi inget, kalau nanti tiba-tiba ada portal kebuka di langit, atau kalian mendadak hilang kayak di film, gue ikut lari pertama."
Sean hanya tertawa kaku, tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu kebohongan kecil barusan bisa menjadi awal dari masalah besar.
Percakapan telah berakhir, pizza terbuka tapi belum disentuh, Elio duduk santai di sofa, menyandarkan tubuhnya sambil menonton televisi, tapi sorot matanya sesekali masih mengarah ke Liliana yang tetap tenang di pojok ruangan.
Sean melirik jam dinding, lalu ke jendela yang memperlihatkan hujan masih mengguyur dengan deras.
"Eh, Elio, akh rasa… aku harus anter Liliana pulang sekarang." kata Sean setengah gugup.
Elio menoleh cepat dan bertanya, "Anter pulang? Bro, itu hujan kayak neraka pecah, Lu mau naik bahtera?"
"Gak bisa nunggu, udah malam juga, dan dia gak bawa payung, gue gak enak nahan dia kelamaan di sini." jawab Sean.
Elio mengernyit, "Tapi dia keliatannya gak keberatan, tuh?"
Sean menelan ludah, ia mengingat kejadian malam itu bagaimana Liliana bisa menghilang begitu saja tanpa jejak dan sekarang, dengan Elio di sini, ia tak sanggup membayangkan bagaimana sahabatnya itu akan bereaksi jika itu terjadi lagi di hadapannya.
"Aku nggak pengin sesuatu aneh terjadi lagi, Li, maksudku, Liliana juga pasti pengin istirahat di tempat yang nyaman." kata Sean dengan nada tenang dengan penuh penegasan.
Liliana menatap Sean sejenak, ia tahu Sean menyembunyikan sesuatu dari temannya, dan ia mengerti. Ia pun mengangguk kecil, seperti memberi dukungan atas kebohongan kecil yang Sean buat.
Elio menarik napas, lalu mengangkat tangan. "Oke, oke, gue nggak akan nahan, tapi hati-hati, ya! Serius, Lu gak punya payung juga, kan?"
Sean mengangkat jaket basahnya.
"Kita bisa berteduh sebentar kalau perlu, yang terpenting gue anterin dia dulu."
Elio menatap Liliana sebentar, lalu tersenyum,
"Senang kenalan, Liliana, semoga kita ketemu lagi."
"Aku juga senang bertemu denganmu, Elio." jawab Liliana lembut dan sedikit menunduk sopan.
Sean membuka pintu, angin malam segera masuk bersama suara hujan yang deras. Liliana berdiri di sampingnya, dan keduanya melangkah keluar meninggalkan kehangatan ruangan dan memasuki malam yang penuh kemungkinan.
Pintu tertutup dan Elio menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menggumam, "Ada sesuatu yang aneh tapi gue gak yakin itu apa!"
Langit masih menangis, jalanan basah memantulkan cahaya lampu jalan yang pucat. Sean dan Liliana berjalan beriringan, tubuh mereka berlindung di bawah jaket tebal Sean yang kini makin basah oleh hujan.
Udara dingin menggigit, tapi ada kehangatan aneh yang tumbuh dari keheningan mereka. Langkah kaki mereka pelan, berirama dengan suara hujan yang menari di atas aspal.
Sean menghela napas, memecah keheningan,
"Aku tahu ini aneh tapi aku seneng kamu balik, maksudku, muncul lagi."
Liliana tersenyum pelan.
"Aku juga senang meskipun aku nggak tahu kenapa atau bagaimana aku bisa di sini."
Sean menoleh sedikit, alisnya terangkat dan bertanya, "Jadi kamu beneran nggak ingat? Tiba-tiba aja pindah dari rumahmu ke kamar apartemenku?"
Liliana mengangguk pelan dan menjawab, "Yang kuingat cuma hujan, rasanya seperti ada sesuatu menarikku lalu aku membuka mata, dan aku sudah di sana."
Mereka berhenti di lampu merah pejalan kaki. Mobil-mobil lewat cepat, menciptakan percikan air di sepanjang trotoar.
Sean berkata dengan pelan, hampir seperti menggumam, "Aku sempat takut kamu cuma mimpi, tapi ternyata kamu nyata bahkan Elio bisa melihatmu, jika dipikir-pikir kamu seperti hantu cantik!"
Liliana tersenyum lebar tapi lembut.
"Kalau aku mimpi kamu akan tetap percaya padaku?" tanya Liliana penasaran.
Sean menatapnya sebentar, matanya jernih meski ada kantuk menggantung.
"Kalau kamu mimpi mungkin itu mimpi terbaik yang pernah aku punya." kata Sean dengan senyuman tulus yang tidak dapat disembunyikan.
Liliana tertawa kecil, lalu buru-buru menutup mulutnya, malu. Lampu berubah hijau, mereka pun kini menyeberang.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan sebuah minimarket 24 jam, cahayanya memancar hangat dari dalam.
Sean menunjuk ke dalam supermarket dan berkata, "Aku beli payung dulu, tunggu sebentar, yah?"
Liliana mengangguk, berdiri di bawah atap kecil toko, Sean masuk ke dalam minimarket, sementara itu ia menatap langit yang masih menggelap seolah menyimpan rahasia yang lebih besar dari hujan itu sendiri.
Udara masih dingin, angin membawa tetes hujan kecil ke pipi Liliana yang mulai memucat. Ia berdiri di bawah kanopi sempit, memeluk tubuh sendiri sambil menunggu Sean yang kini tengah membayar di dalam.
Langkah kaki kasar terdengar dari ujung jalan. Tiga orang pria berjalan mendekat, tertawa keras sambil menghisap rokok dan salah satu dari mereka berhenti, matanya langsung tertarik pada sosok Liliana.
"Hoi, malam-malam begini sendirian aja, Nona?" tanya seorang preman menyeringai.
"Jangan-jangan ditinggal cowoknya, nih." ujar preman lainnya.
Liliana menoleh pelan, tapi tidak berkata apa-apa. Matanya tetap tenang, tapi tubuhnya jelas menegang.
Preman lainnya mendekat Liliana sedikit, dengan suara rendah berkata, "Sayang banget ya berdiri sendirian di tempat kayak gini, gimana kalau ikut kita? Kita bisa anter pulang."
Liliana melangkah ke sisi setengah langkah, tak ingin membuat keributan tapi juga tidak ingin terlihat takut. Tangannya perlahan meraih sisi gaunnya gerakan halus, nyaris tak terlihat.
Preman pertama mencondongkan tubuhnya dan mulai menyentuh gaun milik Liliana,
"Eh, jangan jual mahal gitu dong, kita kan cuma mau temenin, kamu cantik banget sih, kayak bidadari jatuh dari genteng?"