"𝘏𝘢𝘭𝘰, 𝘪𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘬𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘳𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘪𝘳𝘪𝘮, 𝘮𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘱𝘢𝘮 𝘤𝘩𝘢𝘵 𝘢𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨.
𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵,
𝘑𝘢𝘷𝘢𝘴—𝘬𝘶𝘳𝘪𝘳 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘫𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢!"
Bagi Javas, seorang kurir dengan sejuta cara untuk mencuri perhatian, mengantarkan paket hanyalah alasan untuk bertemu dengannya: seorang janda anak satu yang menjadi langganan tetapnya. Dengan senyum menawan dan tekad sekuat baja, Javas bertekad untuk memenangkan hatinya. Tapi, masa lalu yang kelam dan tembok pertahanan yang tinggi membuat misinya terasa mustahil. Mampukah Javas menaklukkan hati sang janda, ataukah ia hanya akan menjadi kurir pengantar paket biasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Resti_sR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Dia hantu atau manusia?
Beberapa kali motor Javas nyaris melaju tanpa arah. Saking gemetarnya tangan Javas, pria itu sampai tidak lagi memikirkan resiko gimana ngebutnya dia melewati gang yang justru seperti di awal datang, dia seolah di permainkan.
“Sialan, begini lagi?” Desisnya tertahan, saat gang yang sama sudah dia lewatkan dua kali putaran. Sesekali Javas menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa, hanya terpaan angin yang membuat punggungnya makin terasa dingin.
Hingga saat motornya benar-benar berada di jalur jalan besar, barulah Javas menghela nafas berkali-kali, menormalkan degup jantungnya yang seperti orang habis lari maraton, berdetak kencang.
“Ya Allah, cobaan macam apa ini,” Gumamnya memperbaiki karung paket yang ada di jok belakang. Dia berhenti sebentar, memperhatikan beberapa pengendara di jalan besar itu, lalu beberapa lainnya orang-orang yang sedang menikmati suasana malam yang temaram di depan rumah mereka.
“Jujur ini pengalaman pertama yang tidak akan pernah aku lupakan…” ujarnya lagi. Dia meraih ponselnya, melihat sebentar benda pipih itu.
081******: [Mas, kenapa pergi?] Mata Javas membulat saat membaca pesan yang baru saja terkirim dari nomor familiar itu. Tangannya gemetar, dia berniat memblokir nomor itu. Namun saat tangannya bergerak untuk memblokir, sebuah pesan lainnya terkirim
081******: [Sudah tau ya mas?] Javas menjatuhkan ponselnya lantaran kaget. gegas, dia kembali ketakutan. Memungut ponselnya itu lalu dia matikan. Setelahnya dia kembali ke atas jok motor, kali ini wajahnya lebih pucat dari sebelumnya, dan dari sudut matanya, ada cairan bening yang keluar. Javas menangis. Sebelum melajukan motornya, kepala javas terasa berat dan seketika di sekitaran itu beberapa detik tampak sepi. Dia melaju cepat, dalam hati terus menggumamkan doa, hingga motornya benar-benar sampai di depan kos.
...****************...
Javas berlari kencang masuk dalam kamar kosnya. Dia duduk tertahan di lantai, menekan area bawahnya yang nyaris meledak. Dari dalam celana, tampak basah dan… ya, Javas kencing dalam celana saking takutnya.
Javas terduduk di lantai, napasnya setengah terengah, setengah memaki dirinya sendiri.
“Ya Tuhan… martabatku barusan ke mana?” gumamnya lirih, menatap celananya yang sudah basah sepenuhnya.
Setelah beberapa saat berlalu, dan tubuhnya sudah kembali agak tenang, Javas terbangun. Dia meraih handuk, berjalan ke kamar mandi dengan perasaan yang entah.
Tidak lama, dia keluar dengan tubuh yang sudah tampak segar. Menggantikan pakaiannya dengan cepat, kemudian dia membersihkan lantai kamar kos yang basah dengan bau yang menyengat.
“Gila… pengalaman ini luar biasa, tidak akan pernah aku lupakan selamanya,” desisnya sendu. Setelah semua pekerjaan itu dia lakukan, Javas membawa tubuhnya ke kasur.
Ponselnya dia raih, mengaktifkan kembali, kemudian membuka aplikasi hijau, mencari nomor nyokapnya.
Beberapa kali dia berusaha menghubungi, hingga teleponnya tersambung.
“Mommy…” rengek Javas dengan mata yang kembali berair. Jujur saja, meski dia sudah mandi dan tampak baik-baik saja kelihatannya, tapi masih ada sisa rasa takut yang ada dalam hatinya. Apalagi ketika mendengar suara lembut dari sang ibu dari seberang sana, rasanya hal yang baru saja berusaha dia lupakan seketika menyerangnya dan itu membuatnya seperti seseorang yang cengeng.
{Kenapa sayang, Javas… hei kamu kenapa?} Suara Mommynya dari seberang juga tampak panik.
“Aku mau pulang, Mi… Javas nggak mau lagi di sini, nggak mau kerja lagi, hiks…” tangisnya pecah. Tubuhnya meringkuk di bawah selimut. Suaranya bergetar takut.
{Kenapa, ada yang ngejahatin anak Mommy? Bilang sama Mommy sayang,} dia menggelengkan kepalanya meski tahu sang ibu tidak akan melihatnya dari seberang.
{Terus kenapa?}
“Javas takut, Mom… ada hantu…” Gumamnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. Di seberang ibunya terdengar menghela nafas beberapa kali. Entah menahan tawa atau merasa tidak percaya dengan perkataan putranya barusan, yang jelas Javas menyadari sebuah ejekan tersembunyi.
“Sudahlah, Mom. Aku matiin teleponnya!” Tukasnya dengan nada kesal, mematikan sambungan telepon sepihak dengan ibunya.
Setelahnya dia mengeser layar, melihat nomor Damar yang beberapa hari laku mengirim pesan.
““Apa jangan-jangan wanita itu yang ketabrak dua hari lalu…?” gumamnya berusaha menyambungkan benang merah, “Soalnya menurut Damar, kecelakaannya pas banget di jalan dekat alamat pertama dia. Terus dia menghilang dua hari tanpa kabar… lalu baru muncul lagi hari ini. Eh, alamatnya pindah. Dekat pemakaman pula…”dia tampak berpikir keras, menggabungkan beberapa hal yang menurutnya terasa janggal.
Javas menegakkan badannya, bulu kuduknya meremang lagi. “Masa tiba-tiba rumahnya berada di dekat pemakaman, mana seperti rumah hantu lagi, gelap.”
“Eh, tapi… masa wanita cantik tadi itu hantu?” gumamnya. Bahkan saat mengatakan itu pun, pikirannya langsung terbelah, setengah percaya, setengah menyangkal, dan setengah lagi… ya, cuma Javas yang bisa punya tiga bagian dari satu pikiran.
Dia akhirnya menggeleng pelan, seperti ingin mengguncang keluar seluruh ketakutan dari kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan itu cuma membuatnya makin parno, dan dia tahu betul tidak ada jawaban yang bisa dia dapat malam ini, kecuali makin takut sendiri.
“Udah, udah. Stop.” katanya pada dirinya sendiri.
Tidak mau berlarut-larut, Javas melempar ponselnya entah ke mana. Mungkin ke ujung kasur, mungkin ke lantai, mungkin ke dunia lain. Apa pun itu Yang penting jauh dari tangan dan pikirannya.
Lalu dengan gerakan cepat, ia menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya, seperti anak kecil yang percaya selimut adalah perisai anti-hantu.
“Besok aja mikirnya… kalau masih hidup,” gumamnya lirih.
Dia menepis rasa lapar yang tiba-tiba muncul, entah karena takut atau karena memang perutnya kosong sejak magrib. Tapi malam ini, tidur jauh lebih penting daripada mengurus perut yang keroncongan.
Lelah badan, lelah batin, lelah mental… kombo sempurna untuk membuat Javas menyerah total pada kasurnya.
Tanpa banyak pikir, ia menarik selimut hingga menutupi telinga, memejamkan mata, dan membiarkan kegelapan menelannya perlahan.
Dalam hitungan detik, napasnya mulai teratur, tubuhnya mengendur, dan Javas pun tenggelam dalam tidur, menjemput alam mimpi, semoga tidak mimpi yang ada hantunya.
...----------------...
Pagi datang lebih cepat dari yang Javas harapkan.
Sinar matahari yang menembus celah jendela kamar kosnya langsung menusuk matanya seolah alam semesta sengaja ingin mengingatkan bahwa hidup tetap berjalan meski dia semalam hampir mati ketakutan.
“perasaan baru saja aku tidur,” Dia merenggangkan otot-otot nya yang terasa pegal, matanya tampak berat, masih ada lingkar hitam yang menghiasi wajahnya.
Dia bergegas turun dari ranjang bersiap untuk membersihkan diri lalu bekerja lagi.
“Hari baru, paket baru, semoga nggak ada hantu baru…” ujarnya bergidik sendiri.
Dia berusaha tersenyum, tapi senyumnya terlihat lebih mirip orang yang sudah kehilangan harapan. Tatapannya kembali pada motor yang terparkir di depan kosnya. Javas menarik nafas panjang sebelum mendekat dan naik ke atas joknya.
Ting!
Notifikasi itu muncul tepat saat Javas baru menyalakan motornya.
Layar ponsel menyala.
Nomor kemarin.
Nomor yang seharusnya tidak mungkin masih bisa mengirim chat, karena kalau tidak salah ingat, Javas sempat memblokirnya semalam.
Dengan tangan yang gemetaran lebih ke rasa heran dan takut bersamaan, Javas membuka chat-nya.
081******: [Mas, semalam paket saya kenapa nggak jadi di kirim? Padahal saya liat masnya sampai loh, kok pergi lagi?]
Javas membeku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...