NovelToon NovelToon
Miranda Anak Yang Disisihkan

Miranda Anak Yang Disisihkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Murni / Cintapertama
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

pak Agus dan bi Mirna

Miranda duduk lemas di teras. Cahaya pagi yang biasanya menenangkan kini terasa menyakitkan. Harapannya baru saja runtuh. Ayahnya kembali gagal menemani dirinya mengambil ijazah.

“Kenapa, Neng?” tanya Bi Mirna, suaranya lembut.

“Ayah tidak jadi ambil ijazahku, Bi,” ucap Miranda lirih, hampir tidak terdengar.

Bi Mirna langsung memeluknya. Di rumah itu, hanya Bi Mirna dan Pak Agus, dua art yang sudah bekerja sejak sebelum Nurmalinda menikah dengan Handoko, yang benar-benar peduli padanya. Bagi mereka, melihat Miranda sama seperti melihat Nurmalinda. Mereka menyayangi Miranda seperti anak sendiri.

Mereka yang merayakan ulang tahunnya ketika keluarga lain melupakannya. Mereka yang menghiburnya setiap kali Miranda menangis diam-diam. Mereka yang patungan membeli baju dan sepatu sekolah agar Miranda tidak merasa berbeda.

“Bi, kenapa Ayah tidak peduli sama Miranda?” isak Miranda, suaranya pecah.

Bi Mirna tidak menjawab. Ia hanya menepuk-nepuk pundak Miranda, mencoba menenangkan tanpa kata.

“Kenapa nangis?” tanya Pak Agus dari kejauhan.

Namun Bi Mirna memberi isyarat halus agar ia diam, membiarkan Miranda menangis dalam pelukannya.

“Mang, bisa antar aku ambil ijazah?” tanya Miranda dengan suara pelan.

“Tentu saja,” jawab Pak Agus tanpa ragu sedikit pun.

“Maaf, Bibi tidak bisa ikut. Rumah tidak ada yang jaga,” ucap Bi Mirna dengan nada menyesal.

“Ya, Bi. Makasih selalu ada untuk Mira,” balas Miranda.

Ia memeluk Bi Mirna erat-erat. Andai tidak ada perempuan itu, Miranda tidak tahu seperti apa hidupnya sekarang. Di relung hati terdalam, ia mencatat nama Pak Agus dan Bi Mirna sebagai dua orang yang harus ia perjuangkan kebahagiaannya.

“Ayo, Neng, berangkat,” ajak Pak Agus.

Ia sudah siap dengan motor bebek tuanya. Bi Mirna memasangkan jaket ke tubuh Miranda, lalu mengikat helm dengan telaten seperti seorang ibu yang merawat anaknya sendiri.

“Makasih, Bi,” ucap Miranda lembut.

“Yang sabar, Neng. Bibi yakin kamu bisa. Hidup memang keras, tapi kita harus kuat,” katanya sambil mengusap lengan Miranda.

Miranda mencium tangan Bi Mirna, lalu berjalan menuju Pak Agus. Mereka menaiki motor bebek yang sudah lama menemani banyak cerita keluarga itu. Angin pagi menerpa wajah Miranda, membuat rambutnya melambai pelan. Pak Agus mengendarai motor dengan hati-hati, seolah takut angin pun menyakiti nona kecil kesayangannya.

Kasihan sekali kamu, Neng, batin Pak Agus. Sebagai anak bungsu, harusnya kamu yang paling banyak mendapat kasih sayang. Namun justru kamu yang paling sering dilupakan.

Dulu, saat Miranda SMP, Pak Agus selalu menjadi walinya. Dari mendaftar sekolah, mengambil rapor, sampai mengambil ijazah, hanya Pak Agus yang hadir di hari-hari penting itu. Sementara ayah Miranda selalu saja memiliki alasan untuk tidak datang.

Sesampainya di SMA Pelita Ilmu, Miranda langsung disambut teman-temannya.

“Miranda, cepat masuk!” seru Reno dengan wajah antusias.

“Ayo, Miranda. Sebentar lagi giliran kamu,” tambah Lukman sambil memberi isyarat agar Miranda bergegas. Acara hampir berakhir, dan seperti biasa, nama Miranda selalu berada di urutan terakhir.

Anehnya, meski Miranda selalu yang terakhir, tidak ada satu pun teman yang merendahkannya. Tidak ada bisikan mengejek, tidak ada pandangan meremehkan. Semua justru menatapnya dengan penuh respek.

Kenapa?

Karena Miranda bukan murid peringkat terakhir karena dia bodoh. Ia memilih berada di urutan itu. Teman-temannya bisa mendapatkan nilai tinggi justru karena bantuan Miranda. Hampir setiap hari sepulang sekolah, ia mengajar mereka pelajaran yang sulit. Diam-diam, Miranda adalah otak di balik nilai-nilai bagus mereka.

Teman-temannya tahu itu.

Dan mereka menghormatinya.

“Dan urutan ke tiga puluh dari tiga puluh siswa adalah Miranda,” ucap seorang guru.

Hening sejenak. Lalu seluruh murid berdiri. Tepuk tangan menggema memenuhi aula. Guru-guru saling menatap bingung, sementara para orang tua mencari-cari siapa yang sedang dipanggil.

Pemandangan itu benar-benar aneh bagi sekolah lain, tetapi tidak bagi SMA Pelita Ilmu. Tahun ini sekolah itu meraih peringkat tinggi, dan sebagian besar siswanya diterima di universitas ternama dengan beasiswa. Hampir semuanya berasal dari keluarga sederhana, dan mereka tahu siapa yang selama ini membuat mereka kuat.

Miranda melangkah perlahan menuju panggung. Tepuk tangan tidak mereda. Di antara kerumunan seseorang memutar lagu “We Are the Champions”. Suasana mendadak haru, bahkan lebih haru dibanding pemanggilan peringkat satu.

Lagu yang seharusnya diperdengarkan untuk sang juara justru dinyanyikan lantang untuk seorang siswi dengan nomor terakhir.

Namun semua orang tahu, tanpa Miranda, mereka tidak akan berdiri di sana sebagai para juara.

Miranda menerima map ijazah itu dengan kedua tangan bergetar. Senyum kecil muncul, bukan karena nilainya, tetapi karena ia berhasil lulus—sesuatu yang terasa seperti kemenangan setelah bertahun-tahun terbuang. Menjadi peringkat terakhir di sekolah menengah swasta yang sederhana, bagi anak miliarder seperti dirinya, justru terasa seperti puncak gunung yang harus didaki sendirian.

Ia menghela napas panjang. Dalam benaknya, kenangan lama muncul, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka tanpa permisi.

Dulu, ia duduk di bangku Yayasan Cahaya Bangsa—sekolah elit milik keluarga besar Aditama. Semua fasilitas terbaik ada di sana; guru privat, laboratorium canggih, seragam yang dibuat khusus. Namun satu fitnah dari Lena menghancurkan semuanya.

Saat itu Lena—anak angkat yang dipuja-puja seluruh keluarga—meringkuk di sofa ruang tamu. Bahunya berguncang hebat, tangisnya terdengar sampai ke lantai atas. Miranda yang baru pulang latihan basket hanya berdiri bingung di pintu.

"Mamah… buang saja aku ke jalan," isak Lena, suara seraknya memecah suasana.

Miranti, ibu tiri Miranda, segera memeluk Lena erat-erat, seolah dunia akan runtuh tanpa anak angkat itu. "Kenapa, sayang? Siapa yang berani menyakitimu?"

Lena memegang dada, napasnya sengaja dibuat tersengal. "Mereka… teman-temanku… menghinaku. Mereka bilang aku anak pungut. Dan… Miranda yang bilang, Mah. Miranda yang kasih tahu mereka."

Miranda terperanjat. "Aku tidak pernah—"

"Diam!" potong Amir, kakak keduanya, dengan suara meninggi. Tatapannya seperti pisau. "Kamu tega, Ran? Tega bikin Lena sakit hati begitu?!"

"Aku tidak bilang apa pun. Demi Tuhan, aku tidak ngomong apa-apa!" Miranda mendekat, ingin menjelaskan, tapi Amar—kakak ketiganya—mendorongnya kasar.

"Kamu memang cemburu, ya? Karena Lena lebih disayang? Itu yang kamu mau? Supaya dia pergi dari rumah ini?" bentak Amar, napasnya memburu seakan menahan emosi yang sudah pecah.

"Amar, aku tidak begitu! Dia sendiri yang sering—"

Plaaakk!

Pipi Miranda terpelintir ke samping. Lusi, kakak sulungnya, berdiri di depan mata dengan tangan terangkat, napasnya menggigil. "Kamu anak tidak tahu diri! Lena itu adik kita! Kamu pikir apa yang kamu lakukan?!"

Miranda memegang pipinya, panasnya menusuk. Air matanya turun begitu saja, tapi ia tetap mencoba bicara. "Aku tidak salah… aku tidak bilang apa-apa soal Lena—"

"Lusi, cukup!" seru Miranti, namun bukan untuk membela Miranda. "Lebih baik dia berhenti sekolah saja. Dia semakin tidak bisa diatur!"

"Dengar tuh!" seru Amir sambil menunjuk ke arah Miranda. "Kamu bikin adik kita malu! Kamu memang harus diberi pelajaran."

Amar mendengus. "Keluar saja dari sekolah elit itu. Tidak pantas kamu tetap di sana setelah membuat masalah begini."

Miranda terpaku, tubuhnya membeku. "Aku tidak salah… aku tidak salah…" suaranya semakin kecil, seperti suara anak kecil yang kehilangan tempat berdiri.

Handoko, ayah Miranda, berdiri di sudut ruangan sejak tadi. Lelaki itu memandang putrinya, lalu ke Lena yang masih menangis dalam pelukan Miranti. Ada keraguan terpampang jelas di wajah Handoko, tetapi ia akhirnya menunduk.

"Miranda… sementara berhenti sekolah dulu," katanya pelan. "Ayah tidak mau masalah semakin besar."

Miranda merasakan sesuatu runtuh di dalam dirinya. “Ayah… percaya aku, kan…? Ayah tahu aku tidak seperti itu…?”

Namun ayahnya tidak menjawab. Sejak saat itu Miranda benar-benar dikeluarkan dari sekolah elit tempat ia tumbuh. Tidak ada satu pun anggota keluarga yang peduli ke mana ia akan melanjutkan pendidikan. Bagi mereka, Miranda hanya sumber masalah.

Justru Pak Agus dan Bi Mirna—dua orang yang bukan darah daging keluarga Aditama—yang sibuk mencarikan sekolah baru untuknya. Mereka patungan dari gaji kecil mereka, hanya agar Miranda tidak putus sekolah.

Diam-diam, Pak Agus mengurus pendaftaran, sementara Bi Mirna menyiapkan kebutuhan Miranda. Tidak seorang pun di keluarga Handoko tahu di mana si bungsu itu bersekolah. Seolah keberadaan Miranda memang sengaja dilupakan.

1
partini
super wow mamer 👍👍👍
Kakak ga punya akhlak
Lili Inggrid
lanjut
Ara putri
masih nyimak,
partini
mamer badass,,ajari mantumu biar Badas juga aihhh TK kira sisi lain nya bakal like queen mafia ehhh masih melempem
partini
Rian emang bego
partini
hemmm
Ara putri
udh sedih diawal. tiba bab ini malah gk jadi sedih
Ara putri
aku nangis bacanya tor
partini
love it
partini
pak CEO kalau artis dewasa tuh mereka ada sex scan itu real gaimana mau virgin dihhh ledhoooooooooo Weh weh
partini
sehhh artis lendir man dan Rian bilang itu wajar 🙄🙄🙄🙄 betul" something wrong with his mine CEO mau lobang bekas hee Rian adanya mah beli yg masih segel lah ,,Miranda tunjukan taringmu like queen mafia
partini
🙄🙄🙄🙄 lah siapa kamu bilang tidak sah dasar OON
partini
lah kamu aja ga perduli
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
partini
mama Karin ternyata temennya mama nya Miranda wah 👍👍👍👍
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya
partini
biar aja dia nunggu dia kan CEO 1/2 ons 😂😂😂,kalau dia smart bisa cari tau dia di sana ngapain aja tapi itu tidak mungkin
partini
tenyata Miranda polos tapi mematikan 👍👍👍👍👍 very good
partini
za ga takut apa ketahuan bilang bos bloOn tapi betul yg kamu bilang ga ada CEO Smart soal masa lalu BLOON semuheeee best kamu za 👍👍👍👍
partini
wah good job pak Reza nanti minta bonus yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!