Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#1
Happy Reading...
.
.
.
Hujan gerimis sore itu mulai membasahi jendela besar di ruang tamu yang kini lebih terasa seperti rumah kosong. Sudah hampir setahun Nayla pergi, tapi aroma tubuhnya seolah masih tersisa di setiap sudut rumah. Hampir di setiap sudut rumah itu masih tercium bau Nayla, bahkan di bantal yang setiap malam masih Raka peluk saat tidur sendiri.
Hari itu entah mengapa, langkahnya berhenti tepat di depan lemari kayu tua di kamar mereka. Ia membuka pintunya perlahan. Di dalamnya ada tumpukan pakaian Nayla yang masih terlipat rapi, seolah pemiliknya akan bisa kembali kapan saja. Di sudut bawah, terselip sebuah kotak kecil berwarna cokelat tua. Kotak itu terlihat biasa, tapi di atasnya terukir nama Nayla, dengan tulisan tangan halus yang sudah mulai memudar.
Raka memegangnya, merasakan jantungnya berdegup kencang tak karuan. Dengan hati-hati ia membuka tutup kotak itu. Di dalamnya ada beberapa foto lama, bros bunga logam, surat-surat kecil yang sudah mulai menguning dan satu buku berwarna biru pucat. Sampulnya lusuh, tapi jelas menunjukkan bakwa buku itu sering dibuka. Sebuah pita putih membelitnya. Raka tahu benda itu penting karena Nayla tidak pernah menunjukkannya pada siapapun termasuk dirinya.
“Buku harian…” gumamnya pelan. Suaranya sendiri terdengar asing di antara kesunyian itu.
Tangannya sedikit gemetar saat membuka halaman pertama. Di sana ada tulisan tangan Nayla kecil dan rapi, dengan tinta yang sudah sedikit luntur. Ia membaca perlahan, seperti takut merusak tiap lembar buku itu.
“Hari ini aku kembali sakit. Ibu bilang aku memang lemah sejak lahir. Kadang aku berpikir, mungkin memang seharusnya aku tidak pernah dilahirkan.”
Raka terdiam. Nafasnya tertahan. Kata-kata itu menampar keras dadanya. Siapa yang bisa menulis hal seperti itu tanpa melalui penderitaan yang panjang? Raka melihat tanggal yang tertulis dibagian bawah 17 july 2005.
“ bukankah ini waktu Nayla tinggal di panti asuhan? Lalu apa maksudmu, Nayla? Siapa yang membuatmu berpikir begitu?” gumamnya, nyaris berbisik. "Apakah ibu panti?"
Raka lalu kembali membuka halaman berikutnya, dan setiap kalimat seperti luka baru yang kembali terbuka.
“Mereka bilang aku pembawa sial. Ayah kehilangan pekerjaan sejak aku lahir. Naira selalu jadi kebanggaan keluarga. Aku hanya noda yang ingin mereka hapus.” Tulisnya lagi.
Raka menutup buku itu sejenak. Ia menatap lantai, lalu menatap foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Di foto itu, Nayla tersenyum lembut, mata penuh ketenangan. Ia tampak bahagia. Tapi kini Raka tahu di balik senyum itu, ada kesepian yang ia sembunyikan dari dirinya, dari dunia.
“Naira… Siapa Naira?" Raka kembali akan membuika buku itu saat selembar foto tiba- tiba terjatuh. Di sana ada foto sepasang suami istri dan dua anak kembar dalam gendongan masing- masing.
"Jadi kau punya saudara kembar?” bisiknya pelan. “Dan apa mereka membuangmu karena sakit?”
Ia berjalan ke jendela, menatap hujan yang jatuh di luar. Suara air menetes di atap terdengar jelas.
“Kamu menanggung semua ini sendirian, ya?” suaranya serak. “Sementara aku… aku bahkan tak tahu siapa kamu sebenarnya.”
Ia kembali ke buku itu, membuka halaman berikutnya.
“Aku tahu aku tidak sekuat Naira. Tapi aku ingin dicintai. Meskipun tubuhku lemah, aku ingin seseorang melihatku bukan karena rasa kasihan.”
Air mata Raka jatuh, tanpa bisa ia tahan. Ia memejamkan mata, mengingat kembali setiap kali Nayla tertawa kecil ketika ia bercanda, atau ketika ia memintanya berhenti bekerja terlalu keras.
“Aku mencintaimu, Nayla,” bisiknya. “Kau tidak tahu seberapa besar…”
Namun seiring halaman demi halaman dibaca, cinta itu berubah menjadi amarah. Di halaman terakhir, tulisan Nayla menjadi goyah, tinta hitamnya memudar seperti bekas air mata.
“Aku dengar Naira akan menikah dengan pria kaya. Semua orang bangga padanya. Aku hanya bisa berharap, setidaknya sekali saja, seseorang juga bisa bangga padaku.”
Raka memukul meja. Buku itu jatuh ke lantai, terbuka acak.
“Mereka menelantarkanmu! Mereka memilih satu anak dan membuang yang lain!” suaranya pecah. “Kamu tidak pantas diperlakukan begitu!”
Ia berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tamu, dadanya naik turun cepat. Dunia terasa berputar. “Jadi selama ini, kamu diam karena tak ingin aku tahu, ya?” katanya, menatap foto di dinding. “Kau takut aku marah pada keluargamu… atau takut aku ikut membencimu?” Tebak Raka.
Dari kamar kecil di ujung koridor, terdengar tangisan lembut. Jingga.
Raka segera menghampiri, menimang bayi itu perlahan. Jingga berhenti menangis begitu wajah ayahnya mendekat. Mata kecilnya menatap polos, tidak tahu bahwa dunia ini sudah mencuri satu hal berharga dari mereka berdua.
“Tenang, sayang…” Raka menatap anaknya dengan mata sendu. “Papa di sini. Papa akan lindungi kamu. Tidak akan ada yang berani menyakitimu seperti mereka menyakiti ibumu.”
.
.
.
Ia kembali duduk, membuka halaman terakhir yang kosong di buku itu. Ia menatap tinta di tangannya lama sebelum mulai menulis, suaranya gemetar saat mengucap setiap kata.
"Aku berjanji, aku akan membuat mereka merasakan kesepian yang sama. Dunia yang membuangmu akan merasakan kehilangan sepertiku."
Raka menutup buku itu perlahan. Hujan di luar semakin deras. Tatapannya kini dingin, jauh berbeda dari sosok lembut yang dulu Nayla kenal.
“Lihat dirimu, Raka,” katanya pada pantulan cermin di depannya. “Kau bahkan tak bisa melindunginya. Tapi sekarang… sekarang, kau akan menuntut dunia untuk menebusnya.”
Ia menatap Jingga sekali lagi anak kecil yang kini menjadi satu-satunya alasan yang membuatnya untuk tetap bertahan.
“Kau akan tahu, Jingga… ibumu bukan perempuan lemah. Ia hanya terlalu baik untuk dunia yang sekejam ini.”
Petir menyambar, menerangi wajah Raka yang separuh tertutup bayangan. Tangannya menggenggam buku harian Nayla erat di dada.
Dan di dalam tatapan matanya, cinta yang dulu begitu murni kini berubah menjadi sesuatu yang gelap... Sesuatu yang takkan berhenti sampai semua orang yang membuat Nayla menangis… ikut merasakan kehilangan yang sama.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejakk....