Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Depa...Mau Enggak Jadi Papa, Aru?
Ucapan polos dari Arunika jatuh seperti petir di siang bolong—
“Mama... boleh nggak Depa jadi papanya Aru?”
Kalimat sederhana itu seakan membekukan seluruh ruangan.
Sekar terdiam, Arga menahan napas, sementara Selena dan Daren saling menatap dalam kebisuan yang menyesakkan.
Ada sesuatu di antara tatapan itu—rasa yang belum sempat terucap, tapi cukup kuat untuk membuat dada mereka sama-sama bergetar.
Namun Daren lebih dulu memalingkan wajah. Ia berusaha menghapus tatapan itu, seolah-olah kalimat kecil Arunika tak mengoyak sesuatu di dalam dirinya.
Dengan langkah tergesa, ia menghampiri si kecil dan mengangkatnya kembali ke pelukannya.
“Depa kan udah jadi papa kamu, Sayang,” ucapnya pelan sambil tersenyum lembut, berusaha mengalihkan suasana yang tiba-tiba terasa berat. “Yuk, kita main lagi di belakang sambil petik mangga, ya?”
Tanpa menunggu jawaban, Daren membawa keponakannya keluar menuju halaman belakang.
Ia tahu betul—topik tentang ayah selalu menjadi luka lama yang belum sembuh bagi Selena. Dan Daren tidak ingin menambah canggungnya suasana di ruang tengah itu.
Di halaman belakang, angin sore berembus lembut. Daun mangga bergoyang pelan, dan suara burung kecil terdengar dari kejauhan.
Daren menurunkan Arunika dari gendongannya lalu menatap wajah kecil itu yang kini tampak murung.
“Aru lagi kangen Papa, ya?” tanyanya pelan.
Gadis kecil itu hanya mengangguk. Ia melingkarkan tangannya ke leher pakdenya, lalu membenamkan wajahnya di sana.
“Depa... Aru udah nggak bisa ketemu Papa lagi, ya? Papa kok nggak pulang-pulang?” tanyanya lirih, suaranya nyaris pecah.
Daren menelan ludah, lalu menarik napas panjang. Ia duduk di bangku taman, mendudukkan Arunika di pangkuannya.
“Papa kamu sekarang udah di surga, Sayang,” ujarnya lembut. “Bukan cuma Aru yang nggak bisa ketemu Papa... Depa juga udah nggak bisa ketemu Papa Aru lagi.”
Arunika mengangkat wajahnya, menatap pamannya dengan mata besar yang basah.
“Jadi... kalau Aru kangen, Aru harus gimana?”
Daren tersenyum kecil, meski hatinya berdenyut nyeri. “Kalau kangen, Aru doain Papa, ya. Doa Aru bisa sampai ke sana—ke tempat Papa sekarang.”
Anak kecil itu diam sejenak. Lalu jemarinya yang mungil mulai memainkan kancing baju Daren dengan ragu.
Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.
“Depa... mau nggak jadi Papa Aru?”
Waktu seakan berhenti.
Angin yang semula berhembus tenang kini terasa berat di dada Daren. Ia memandangi wajah mungil itu—wajah yang mengingatkannya pada Kavi, adik yang telah tiada, juga pada perempuan di dalam rumah yang diam-diam selalu ia jaga dari jauh.
Daren menahan napas, menatap Arunika dengan mata yang berkaca.
Perlahan, ia tersenyum dan memeluk si kecil erat.
“Depa bakal selalu ada buat Aru,” bisiknya pelan.
“Selalu.”
Arunika tertawa kecil di pelukan pamannya. Tawanya ringan, tapi terasa seperti cahaya kecil yang menembus gelap di dada Daren.
Ia menepuk pipi pamannya dengan jemari mungilnya, lalu berucap polos,
“Aru sayang sama Depa.”
Ucapan itu membuat senyum Daren mengembang tipis.
“Depa juga sayang banget sama Aru,” jawabnya sambil mengusap rambut lembut gadis kecil itu.
Beberapa detik berlalu tanpa kata. Hanya suara daun yang bergesekan di antara angin sore.
Daren menatap pohon mangga di hadapan mereka, buahnya bergelantungan, sebagian masih hijau, sebagian lagi mulai menguning.
Ia mengulurkan tangan dan memetik satu, lalu memberikannya pada Arunika.
“Nih, mangga buat Aru. Tapi jangan makan dulu, ya. Nanti Mama marah kalau belum dicuci.”
Arunika mengangguk patuh, lalu memeluk mangganya seperti harta karun kecil.
Dari balik jendela dapur, Selena berdiri diam.
Tangan kanannya masih memegang kain basah, tapi matanya tak beranjak dari pemandangan di luar sana.
Ia melihat Daren yang sedang mengelus kepala putrinya dengan tatapan lembut — tatapan yang dulu hanya dimiliki Kavi.
Ada sesuatu yang menusuk halus di dadanya, semacam rasa syukur bercampur nyeri, antara kehilangan dan pengganti yang tak pernah ia minta.
Sekar yang baru keluar dari ruang makan menghampirinya pelan. “Len...” panggilnya lembut.
Selena menoleh, cepat-cepat menghapus air matanya yang hampir jatuh.
“Iya, Ma?” suaranya serak, berusaha terdengar biasa.
Sekar ikut menatap ke arah halaman belakang. “Daren kelihatannya sayang sekali sama Aru, ya.”
Selena hanya tersenyum tipis. “Iya, Ma. Dari dulu dia memang begitu. Waktu mas Kavi masih ada pun... Kak Daren sering main sama Aru. Katanya, Aru itu salinan kecil dari mas Kavi.”
Sekar mengangguk pelan. “Dan juga dari kamu, Len. Aru punya hatimu. Lembut, tapi kuat.”
Ucapannya membuat Selena menunduk. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Yang ia tahu, setiap kali melihat Daren, ada kenangan yang bangkit — kenangan tentang Kavi, tapi juga tentang seseorang yang tanpa sadar terus menjaga jarak dengannya agar tak salah langkah.
Sementara itu, di taman belakang, Daren dan Arunika masih duduk berdua.
Langit mulai berubah jingga. Sisa cahaya matahari menimpa wajah mereka, menciptakan bayangan hangat yang seolah membungkus momen itu dalam diam.
“Depa, kalau Papa di surga, Papa bisa lihat Aru dari sana nggak?” tanya Arunika tiba-tiba.
Pertanyaan itu membuat dada Daren kembali mengencang.
Ia mengangguk pelan. “Bisa, Sayang. Papa pasti lihat Aru setiap hari. Papa bangga banget lihat Aru tumbuh jadi anak baik.”
Arunika tersenyum kecil, lalu bersandar di dada pamannya. “Aru juga mau Papa di surga bahagia.”
Daren menatap langit sore yang perlahan memudar.
“Papa kamu pasti bahagia, Aru,” katanya lirih. “Soalnya Aru dijaga sama Mama yang kuat... dan sama Depa yang nggak akan ninggalin Aru, apa pun yang terjadi.”
Beberapa menit kemudian, Selena keluar membawa dua gelas jus mangga dingin.
Langkahnya pelan, tapi degup jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri.
Daren mendongak ketika mendengar suara langkah itu, lalu buru-buru berdiri.
“Len... aku—eh, aku bantuin, ya,” ucapnya gugup sambil menaruh Arunika di bangku.
Selena menggeleng lembut. “Nggak usah, Kak. Aku cuma mau bawain ini. Aru pasti haus.”
Anak kecil itu langsung berlari kecil menghampiri ibunya. “Mamaaa! Aru petik mangga banyak banget sama Depa!”
Selena tersenyum, menunduk mencium kening putrinya. “Wah, hebat banget anak Mama.”
Tatapannya kemudian beralih ke arah Daren — singkat, tapi cukup untuk membuat keduanya sama-sama salah tingkah.
“Terima kasih, Kak... udah nemenin Aru,” ucap Selena pelan.
Daren tersenyum samar, menatap gelas jus di tangannya sebelum membalas, “Aku yang makasih, Len... udah izinin aku deket sama dia lagi.”
Selena terdiam, ada sesuatu yang menegang di tenggorokannya.
Daren menyadari hal itu, lalu buru-buru menatap ke arah lain.
Sore itu, antara mereka hanya tersisa keheningan—panas matahari yang perlahan meredup, aroma mangga matang di udara, dan sesuatu yang tumbuh diam-diam di antara dua hati yang sama-sama terluka.