NovelToon NovelToon
CINDELOKA

CINDELOKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Dunia Lain / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Roh Supernatural
Popularitas:309
Nilai: 5
Nama Author: teguhsamm_

Raden Cindeloka Tisna Sunda, seorang bocah laki laki berparas tampan dari Klan Sunda, sebuah klan bangsawan tua dari Sundaridwipa yang hanya meninggalkan nama karena peristiwa genosida yang menimpa klannya 12 tahun yang lalu. keberadaannya dianggap membawa sial dan bencana oleh warga Sundari karena ketampanannya. Suatu hari, seluruh warga Sundari bergotong royong menyeret tubuh kecil Cindeloka ke sebuah tebing yang dibawahnya air laut dengan ombak yang mengganas dan membuangnya dengam harapan bisa terbebas dari bencana. Tubuh kecilnya terombang ambing di lautan hingga membawanya ke sebuah pulau misterius yang dijuluki sebagai pulau 1001 pendekar bernama Suryadwipa. di sana ia bertemu dengan rekannya, Lisna Chaniago dari Swarnadwipa dan Shiva Wisesa dari Suryadwipa yang akan membawanya ke sebuah petualangan yang epik dan penuh misteri gelap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teguhsamm_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Triloka Mandraguna

Pagi itu udara Suryadwipa terasa lebih dingin dari biasanya. Embun masih menempel di dedaunan. Berkas sinar memasuki ventilasi asrama, mentari berdiri setengah, waktu menunjukkan pukul 7 pagi.

"CINDELOKA! SHIVA! AYO BANGUN KITA UDAH TELAT NIH!" Bentak Lisna seraya menggedor gedor pintu asrama putra.

"Iya iya" kata Cindeloka dengan nada parau.

Cindeloka berusaha bangun dari tidur dengan mata agak menyipit, mengucek ngucek mata sambil berjalan lemas membukakan pintu, pintu terbuka dengan disambut Lisna yang sudah mengenakan setelan silat hitam dengan sabuk hijau datang dengan wajah merah padam.

"Kenapa Lis? Heboh banget kayak mau ke pasar saja".

"HEH! INI UDAH JAM BERAPA?? MANDI SANA! ENTAR KITA DIOMELIN MBAH KUNTO" Omel Lisna.

"Iya Cantik"

Cindeloka pun membangunkan Shiva yang terbaring lelap bertelanjang dada dengan selimut.

"Shiva ayo bangun! Kita mandi!" ucap Cindeloka dengan nada lesu sambil menggoyang goyangkan badannya hingga Shiva pun terbangun. Sementara Lisna menutup pintu kamarnya dan menunggu di luar.

20 Menit Kemudian

Cindeloka dan Shiva membuka pintunya dengan wajah segar sehabis mandi dan mengenakan setelan silat lengkap dengan sabuk hijaunya.

"Ayo Lisna! Kita akan awali pagi ini dengan misi!" ucap Cindeloka dengan heboh.

"Aduh! Ini bocah!" timpal Lisna dengan menggeleng geleng kepala.

Shiva dengan wajah dingin dan datar mengabaikannya dan mendahului Cindeloka dan Lisna yang menunggunya.

"Hei! Kulkas mini tungguin aku dong" ucap Cindeloka sambil berlari disusul Lisna.

Saat berjalan menuruni tangga asrama yang berukiran bali kuno, Cindeloka bertanya kepada mereka berdua.

"Kira-kira misi kali ini apa ya?!"

"Lha! Mana saya tahu? Tanya aja sama Mbahnya langsung!" Balas Lisna dengan nada julid.

"Galak banget!"

Sementara Shiva hanya diam sambil memikirkan dendamnya di masa lalu yang melibatkan orang terdekatnya. Cindeloka dengan iseng ingin masuk ke pikirannya Shiva dengan mengaktifkan mata Danaraksanya yang berwarna merah padam. Namun segera dihadang oleh Shiva dengan tatapan tajam sambil memperlihatkan mata Kalaraksanya yang berwarna kuning keemasan.

"Heh! Jangan sesekali masuk ke pikiranku" ujar Shiva dengan nada ketus, dingin, dan menusuk diikuti dengan memudarnya Kalaraksa.

"Eh! Iya maaf Bang Kulkas!" balas Cindeloka dengan wajah cengengesan dan tengil.

"Ya ampun! Mau sampai kapan mereka akan begini terus?" ujar Lisna dalam batinnya sambil menghela nafas.

Mbah Kunto pun berdiri di depan pintu asrama putra menyambut mereka bertiga.

"Bagaimana? Kalian sudah siap dengan misi pertama kita?"

"Siap dong! Masa nggak siap?" Timpal Cindeloka sambil memperlihatkan sikap tengilnya.

"Baiklah! Kita sekarang bergegas menuju ke ruangan Ki Bagawanta".

Tim Sapta mengikuti langkah Mbah Kunto, guru muda berparas teduh yang selalu tampak seperti menyimpan seribu rahasia.

Mereka memasuki ruang Ki Bagawanta, sebuah ruangan tua dengan rak-rak penuh lontar kuno. Cahaya matahari menembus kisi-kisi jendela dan jatuh ke tengah ruangan, seolah menyoroti tugas yang akan mereka emban.

Di ujung barat kompleks, sedikit lebih tinggi dari bangunan lain, berdiri Balai Dewangkara, ruang dewan para guru. Bangunan ini paling megah kedua setelah aula latihan. Sementara ruang Ki Bagawanta berada di lantai dua dengan balkon dan tangga di kanan dan kiri.

Pintunya besar, dari kayu jati tua yang dipahat dengan simbol matahari bersinar. Di dalam, lantai batu dilapisi tikar pandan halus dan lampu minyak bergantung dari langit-langit. Relief pada dinding menggambarkan para empu dan pendekar legendaris—seolah mereka mengawasi setiap keputusan yang diambil.

Ki Bagawanta yang duduk di bangkunya berbicara dengan suara dalam:

"Kalian akan mencari Prasasti Triloka Mandraguna. Lokasinya... di Desa Kabut Ametung, wilayah utara Suryadwipa."

Lisna menelan ludah. Shiva hanya memandangi lantai. Cindeloka mengangguk perlahan, walau jantungnya berdetak cepat.

Mereka menerima misi itu, lalu berangkat berempat: Cindeloka, Shiva, Lisna, dan Mbah Kunto di depan sebagai penuntun jalan. Mereka berempat meninggalkan Padepokan dengan menuruni 30 buah anak tangga.

"AYO! KITA BERANGKAT" Teriak Cindeloka sampai tubuhnya melompat keatas dan suaranya menciptakan gema.

Lisna hanya bisa geleng geleng kepala, Mbah Kunto hanya tertawa kecil seraya memperingatkan Cindeloka agar berhati hati saat menuruni anak tangga.

"Hati-hati Cindeloka! Nanti kamu jatuh"

sementara Shiva diam tanpa ekspresi.

Perjalanan menuju utara melewati lembah-lembah berkabut. Di tengah perjalanan, Cindeloka menoleh pada Mbah Kunto.

"Mbah... apa sebenarnya isi Prasasti Triloka Mandraguna itu?"

Mbah Kunto tersenyum samar, lalu mulai bercerita sambil berjalan.

"Prasasti itu ditulis oleh Prabu Siliwangi sendiri pada masa silam. Ia menjelaskan tiga cakra gundam leluhur yang diberikan kepada putra-putranya."

Ia mengangkat tiga jarinya.

"Walasungsang menerima Hanuman Chandra Naya.

Kian Santang menerima Maung Bodas.

Surawisesa menerima Kuda Sembrani."

Lisna menghentikan langkahnya.

Cindeloka membelalakkan mata.

Shiva mendesis pelan, rokoknya hampir jatuh dari bibirnya.

Mbah Kunto melanjutkan dengan suara lebih dalam:

"Tiga putra itu adalah leluhur dari tiga klan bangsawan: Chaniago, Sunda, dan Wisesa."

Angin utara bertiup membawa hawa dingin.

"Cakra gundam itu bukan sembarang pusaka. Dewa Trimurti sendiri yang memberikannya kepada Siliwangi untuk menjaga keseimbangan bumi dan semesta."

Lalu Mbah Kunto mengangkat tujuh jarinya.

"Dan Triloka Mandraguna mencatat... bukan tiga, tapi tujuh cakra gundam pemberian Trimurti."

Cindeloka tercengang.

Lisna memegang dadanya.

Shiva menatap Mbah Kunto tanpa berkedip.

"Tujuh itu adalah Maung Bodas, Kuda Sembrani, Hanuman Chandra Naya, Buaya Putih Sagara, Ular Mahkota, Garuda Emas, dan..."

Mbah Kunto berhenti sejenak.

"Kanjeng Ratu Kidul."

Keheningan berat menggantung.

"Jika ketujuh cakra itu disatukan... mereka akan membentuk entitas gundam tertinggi: Naga Emas."

Ketiganya saling berpandangan.

Mereka-tanpa pernah diberitahu, tanpa pernah diberi pilihan-adalah pewaris dari gundam-gundam leluhur itu.

Tapi Mbah Kunto menambahkan dengan nada serius:

"Namun ingat. Tidak semua anggota klan punya gundam. Dari masing-masing tiga klan bangsawan... hanya lima jiwa yang dipilih sendiri oleh gundam. Gundam tidak tunduk pada darah-hanya pada jiwa."

Setelah berjalan berjam-jam, kabut mulai menebal. Pepohonan berubah menjadi siluet kelam. Tiba-tiba Mbah Kunto mengangkat tangan, memberi tanda berhenti.

"Ada sesuatu."

Dari balik kabut, sosok-sosok berjubah hitam muncul. Mata mereka merah menyala.

Klan Regagni.

Musuh yang selama ini hanya muncul dalam rumor.

Mereka mengepung Tim Sapta.

Lisna menghunus kerisnya.

Shiva membentangkan tangan, cahaya samar bergetar di telapak tangannya.

Cindeloka merasakan angin memutar di sekeliling tubuhnya.

Ketiganya menahan diri sekuat mungkin.

Mereka tidak boleh membiarkan cakra gundam bereaksi.

"Singgalang Mamburu" ujar Lisna dengan Pukulan maju berkekuatan dorongan lutut dan pinggul musuh.

"Trisula Surya Majalangu" ujar Shiva dengan menggunakan Tiga serangan lurus seperti tombak matahari menyerang musuh

"Kembang Tunjung Ngabareuhan" ujar Cindeloka seolah tidak mau kalah dengan Lisna dan Shiva dengan serangan spiral dari bawah ke atas untuk menjebol jurus dari musuh

Pertempuran pecah.

Kabut berputar seperti badai. Cahaya memercik. Tanah bergetar.

Mbah Kunto berdiri paling depan-lalu dengan satu gerakan lambat, ia menggeser penutup kain matanya.

Saat kain itu terbuka-

mata kanannya bersinar kuning, seperti surya mini yang berputar di dalam bola matanya.

Semuanya membeku sesaat.

Lisna terbelalak.

Cindeloka terengah.

Tapi Shiva-lah yang paling kaget. Hampir marah.

"Mbah... itu... itu mata Kalaraksa...?! Itu milik klan Wisesa! Tapi Mbah-Mbah bukan keturunan kami!"

Mbah Kunto hanya tersenyum tipis.

Sebelum Shiva sempat bertanya lebih jauh, ledakan cahaya kuning memecah kabut, dan pertempuran kembali pecah lebih dahsyat. Mbah Kunto menyerang musuh dengan kanurajian (jurus silat) dengan Pecut Baluwarti karaton, Cambukan tangan cepat namun berat yang meninggalkan bekas memar panjang seperti dipukul tali tambang batu dengan mata kuning Kalaraksanya yang membuat semua musuh tumbang dan mundur.

Mereka bertiga yang melihat aksi gurunya hanya terbelalak terutama Shiva yang kaget ketika tahu bahwa Mbah Kunto memiliki mata Kalaraksa khas Klan Wisesa.

"Mbah! Bagaimana bisa" tanya Shiva dengan wajah kaget dan bingung.

Mbah Kunto hanya tersenyum tipis

"Belum saatnya Mbah menceritakan ini sekarang" sambil menepuk pundak Shiva.

Mereka berempat melanjutkan perjalanan ke Desa Kabut Ametung meninggalkan satu pertanyaan

"Darimana Mbah Kunto mendapatkan mata Kalaraksa itu?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!