Aruna terjebak ONS dengan seorang CEO bernama Julian. mereka tidak saling mengenal, tapi memiliki rasa nyaman yang tidak bisa di jelaskan. setelah lima tahun mereka secara tidak sengaja dipertemukan kembali oleh takdir. ternyata wanita itu sudah memiliki anak. Namun pria itu justru penasaran dan mengira anak tersebut adalah anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fatzra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Sepertinya aku harus bertindak sendiri. Anak buah bodoh itu sangat tidak berguna!" Julian memukul nakas dengan kepalan tangannya, lalu meraih jas yang tergeletak di sana.
Ia melangkah pergi meninggalkan kamar. Namun, di ruang tamu terlihat ada orang tuanya. Tidak mungkin ia di izinkan untuk keluar rumah. Ia harus mencari alasan yang tepat agar bisa keluar dari rumah itu.
"Papa," ucap Julian menatap Hans.
Pria setengah baya itu mendongak, menatap putra semata wayangnya. "Mau ke mana?"
"Papa, aku mau keluar sebentar menemui Celine. Tadi aku belum sempat mengobrol," ucap Julian beralasan. Ia berharap Hans mengizinkannya pergi kali ini.
Hans tertawa, lalu berdiri menepuk-nepuk punggung Julian. "Dasar anak muda. Pergilah," ucapnya dengan wajah sumringah.
Julian tersenyum puas, merasa berhasil mengelabuhi ayahnya itu. Tanpa basa-basi ia langsung keluar, mengendarai mobilnya. Jalanan mulai sepi karena hari semakin gelap. Ia leluasa menyetir mobil dengan kecepatan tinggi.
Setelah hampir tiga puluh menit perjalanan ia memarkirkan mobilnya di salah satu apartemen. Yang jelas Celine tidak ada di sana. Ia turun dari mobil, menoleh ke kanan, kiri, lalu masuk ke dalam. Langkahnya begitu cepat seperti terburu-buru.
Ia menekan lift menuju lantai sepuluh. Setelah sampai ia mengetuk pintu kamar ke dua dari sebelah lift. Seorang pria membukakan pintu. Mereka masuk ke dalam.
"Vincent, kau tidak mendapat petunjuk sama sekali?" tanya Julian pada pria itu.
"Maaf, Tuan. Toko perhiasan itu hanya menginformasikan nama pembeli, tapi tidak ada alamatnya," jawab Vincent sedikit merasa bersalah. Baru kali ini ia tidak berhasil memenuhi keinginan Julian.
Julian menoleh, menatap tajam ke arah vincen. "Nama? Siapa namanya?"
"Namanya, Aruna Camelia Riston." Vincent menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap Julian yang terlihat memendam amarah.
Julian mengepalkan tangannya, lalu memukul meja kaca dengan keras hingga retak dan melukai tangannya. Cairan berwarna merah mengalir dari jari-jarinya. Namun, ia seperti mati rasa tidak merasa kesakitan.
Vincent langsung panik melihatnya, ia berlari mengambil kotak P3K. "Tuan, biar saya obati. Ayo duduk," ucapnya.
Julian duduk ke sofa, mengusap kasar rambutnya merasa frustasi. Ia semakin penasaran siapa sebenarnya Aruna. Menemukannya sungguh sulit.
Berhubung hari sudah larut, Vincent mengantar Julian pulang. Ia tidak tega melihat atasannya itu menyetir sendiri dalam kondisi yang kurang baik.
Setelah sampai di rumah pria itu langsung terlelap di kamarnya. Besok adalah hari penting di keluarganya. Tapi tidak untuk pria itu. Ia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan.
"Julian, ayo bangun!" ucap Lina agak mengeraskan suaranya.
Julian langsung beringsut duduk. Ia tidak mau mendengar terlalu panjang suara Lina. "Anda bisa keluar sekarang," ucapnya dengan wajah datar tanpa memandang wanita itu.
Lina melengos meninggalkan kamar Julian. Ia kesal tidak pernah di anggap oleh anak tirinya itu. Padahal ia sudah berusaha untuk menjadi ibu yang baik untuknya.
Hari ini semua orang bersiap menghadiri acara tunangan Julian dan Celine. Namun, pria itu masih tampak santai di rumahnya, meneguk segelas susu hangat dan mulutnya sibuk mengunyah sandwich.
"Julian, kenapa belum bersiap?" ucap Hans yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
"Ah, papa mengagetkanku saja, sebentar lagi aku bersiap setelah menghabiskan sarapanku," ucap Julian seraya terpaksa tersenyum ke arah pria setengah baya itu.
"Papa tahu kau tegang. Tapi jangan lama-lama, ya," ucap Hans. Saat hendak melangkah pergi, ia melihat tangan putranya yang di perban. "Tanganmu terluka?" sambungnya bertanya.
Seketika suasana menjadi canggung. Julian bingung harus bagaimana menjelaskannya. "Tidak apa-apa, Pa. Ini hanya luka kecil."
Hans mengembuskan nafas lega. "Syukurlah. Cepat berkemas, ya. Sebentar lagi kita berangkat," ucapnya.
"Hampir saja." Julian mengembuskan nafas panjang, lalu berdiri melangkah menuju kamar untuk bersiap.
Seluruh keluarga besar Maverick telah berkumpul di aula gedung. Sebentar lagi mereka akan menyaksikan momen yang telah lama di nantikan. selama ini Julian selalu tidak siap saat di desak untuk bertunangan. Namun, dengan berat hati ia akhirnya merelakan bertunangan dengan Celine.
Acara sudah di mulai, Celine tampak anggun dan sangat elegan dengan gaun berwarna putih menjuntai panjang di bagian bawah. Julian, pun, sudah menampakan diri dengan setelan jas yang membuatnya lebih berwibawa.
Setelah acara sambutan dan yang lainnya, kini tiba waktunya mereka saling memasangkan cincin di jari manis. Julian tampak ragu-ragu akan memasukkan cincin itu ke jari Celine. Namun, ia tidak ingin mengecewakan ayahnya. Akhirnya ia bisa melakukan itu.
Suara tepuk tangan menggema di ruangan itu. julian dan Celine saling menatap seraya tersenyum. Para tamu undangan di buat kagum dengan keserasian mereka, cantik dan tampan menjadi pasangan yang sempurna.
Akhirnya acara itu berakhir, mereka pulang dengan perasaan bahagia. Kecuali Julian, masih banyak keraguan di dalam hatinya. baginya hari ini adalah hari penuh kepalsuan.
Lima tahun sudah sejak hari itu, Julian fokus dengan pekerjaannya. Ia perlahan melupakan Aruna dan sudah tidak berusaha mencarinya lagi. Walaupun ia tak sepenuhnya melepaskan wanita itu. Mengingat dia punya tunangan makanya ia memilih untuk diam sementara waktu.
Mencari Aruna membuatnya lelah. Bahkan hampir putus asa, ia tidak fokus dalam segala hal, semenjak kejadian lima tahun yang lalu. Di setiap tidurnya pun ia tak berhenti memikirkan wanita itu.
Pagi ini dia sudah berada di kota lain, melakukan kunjungan kerja. Ia bertolak lebih pagi demi kelancaran urusan bisnisnya. Ambisinya sangat menggebu untuk mempunyai banyak bisnis di seluruh kota. Ia tidak akan berhenti berusaha sebelum semua keinginannya tercapai.
"Selamat pagi, Tuan Julian. Lama tidak berjumpa," ucap seorang pria paruh baya, seraya menyalami pria itu.
"Terima kasih sambutannya, Pak Robert." Julian membalas salam dari pria itu.
Mereka duduk memulai meeting dengan serius. Rupanya kerja sama mereka akan berjalan sukses kali ini, karena memiliki partner yang sangat berperan besar di wilayah itu.
"Terima kasih, Pak Robert sudah berkenan bekerja sama dengan perusahaan kami," ucap Julian. Ia merasa senang karena ia berhasil mengajak kolaborasi perusahaan itu.
pria paruh baya itu terkekeh. "Sama-sama, Tuan Julian. Semoga kedepannya bisnis kita ini bisa berjalan dengan lancar."
"Tentu saja, besok kita atur ulang pertemuan kita ini, Pak. Mohon maaf saya harus pulang lebih awal, karena ada sedikit masalah di kantor," ucapnya berpamitan.
"Baiklah. saya mengerti Anda juga sibuk," ucapnya, lalu tersenyum ramah.
Julian melangkah keluar dari ruangan itu, lalu naik lift menuju lantai satu. Setelah sampai ia langsung melangkah ke arah parkiran, lalu masuk ke mobilnya. Namun saat ia hendak melajukan mobil, matanya menangkap sesuatu yang sangat mengejutkannya.
Pria itu kembali turun dari mobil, bersembunyi di antara mobil-mobil. Ia mengadu ingatannya kembali ke lima tahun yang lalu. "kau, ada disini?"
Terima kasih.