Isabella Rosales mencintai Alex Ferguson dan ketiga anak kembar mereka—Adrian, Eren, dan Alden—lebih dari hidupnya sendiri. Namun, kebahagiaan mereka direnggut secara paksa. Berasal dari keluarga Rosales yang merupakan musuh bebuyutan keluarga Ferguson, Isabella diancam oleh keluarganya sendiri: tinggalkan Alex dan anak-anaknya, atau mereka semua akan dihancurkan.
Demi melindungi orang-orang yang dicintainya, Isabella membuat pengorbanan terbesar. Ia berpura-pura meninggalkan mereka atas kemauannya sendiri, membiarkan Alex percaya bahwa ia adalah wanita tak berperasaan yang memilih kebebasan. Selama lima tahun, ia hidup dalam pengasingan yang menyakitkan, memandangi foto anak-anaknya dari jauh, hatinya hancur setiap hari.
Di sisi lain kota, Celine Severe, seorang desainer yatim piatu yang baik hati, menjalani hidupnya yang sederhana. Jiwanya lelah setelah berjuang sendirian begitu lama.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang tragis. Sebuah kecelakaan hebat terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Pagi hari presentasi, udara di Rumah Awan Pelangi terasa begitu tipis hingga Isabella merasa sulit untuk bernapas. Ia terbangun jauh sebelum fajar, perutnya terasa melilit oleh simpul-simpul kecemasan. Hari ini, ia tidak akan menjadi Celine sang pengasuh yang bersembunyi di balik senyum lembut. Ia harus menjadi seseorang yang lain, sebuah perpaduan antara kecerdasan tajam Isabella Rosales dan kredibilitas fiktif Celine Severe.
Ia berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun biru safir itu terasa seperti kulit kedua, sebuah zirah yang ia kenakan untuk berperang. Riasan wajahnya tipis namun tegas, menonjolkan mata yang kini memancarkan api tekad, bukan lagi ketakutan. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia melihat sekilas bayangan wanita yang dulu pernah menaklukkan dunia dengan pesonanya. Ia bukan lagi korban takdir; ia adalah pemain yang akan menentukan nasibnya sendiri.
Sebelum ia pergi, ia menyelinap ke kamar anak-anak. Ketiganya masih tertidur lelap, wajah mereka damai di bawah cahaya lampu tidur yang redup. Ia mengecup dahi mereka satu per satu, menghirup aroma manis mereka. "Ini semua untuk kalian," bisiknya pada keheningan. Kekuatan dari ciuman singkat itu adalah bahan bakar yang ia butuhkan.
Saat ia tiba di ruang makan, Alex sudah menunggunya. Pria itu sudah mengenakan setelan CEO-nya yang sempurna, tampak berkuasa dan tak terkalahkan. Namun, saat matanya bertemu dengan mata Isabella, ia berhenti sejenak. Ada kilatan apresiasi, kekaguman, dan sesuatu yang lebih dalam di matanya saat ia melihat transformasi wanita itu. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya sebuah anggukan singkat. "Kita berangkat."
Perjalanan menuju gedung utama Ferguson Corp terasa seperti perjalanan tentara menuju medan perang. Mereka tidak berbicara, keheningan di dalam mobil dipenuhi oleh energi antisipasi yang pekat.
Ruang rapat dewan direksi berada di lantai tertinggi, sebuah ruangan megah berdinding kaca yang menghadap ke seluruh penjuru kekaisaran. Meja mahoni yang panjang dan mengkilap dikelilingi oleh dua belas kursi kulit berwarna hitam. Masing-masing diduduki oleh seorang pria atau wanita paruh baya dengan tatapan mata yang tajam dan pakaian seharga mobil. Mereka adalah para hiu, para titan industri yang memegang nasib Ferguson Corp di tangan mereka.
Saat Isabella masuk mengikuti Alex, semua mata langsung tertuju padanya. Ia bisa merasakan tatapan mereka yang menilai, bertanya-tanya siapa wanita tak dikenal yang berani masuk ke dalam lingkaran suci mereka. Ia menegakkan punggungnya, membalas tatapan mereka dengan ketenangan yang ia paksakan.
Presentasi dimulai. Alex mengambil alih panggung lebih dulu. Ia sempurna. Dengan suara yang dalam dan penuh percaya diri, ia menjabarkan sisi bisnis dari Yayasan Tunas Pelangi—proyeksi keuangan, keuntungan pajak, dan peningkatan citra perusahaan. Ia menyajikan data dengan presisi seorang ahli bedah, mengubah sebuah proyek amal menjadi sebuah investasi strategis yang masuk akal. Ruangan itu mengangguk setuju.
"Namun," kata Alex, suaranya kini berubah, menjadi lebih personal. "Di balik semua angka ini, ada sebuah hati. Sebuah visi. Dan untuk menjelaskan visi itu, saya ingin memperkenalkan mitra utama saya dalam proyek ini, seorang konsultan independen dengan wawasan luar biasa dalam desain dan dampak sosial, Nona Celine Severe."
Semua mata kembali tertuju pada Isabella. Jantungnya berdebar kencang, tetapi saat ia berdiri dan berjalan ke depan, sesuatu yang ajaib terjadi. Ketakutannya menguap, digantikan oleh gairah murni terhadap proyek ini.
Ia tidak berbicara tentang angka. Ia berbicara tentang anak-anak. Ia menceritakan kisah-kisah (yang ia pinjam dari pengalaman fiktif Celine di panti asuhan) tentang anak-anak berbakat yang mimpinya padam. Ia melukiskan gambaran tentang "Bus Pelangi" yang membawa harapan ke distrik-distrik terpencil. Suaranya yang biasanya lembut kini terdengar kuat dan penuh keyakinan, memenuhi setiap sudut ruangan. Ia tidak hanya menyajikan ide; ia menjual sebuah mimpi.
Saat ia selesai, ruangan itu hening. Ia bisa melihat beberapa anggota dewan tampak tersentuh. Namun, tidak semua.
Seorang pria tua di ujung meja, Tuan Hardiman, investor paling senior dan paling sinis di dewan itu, berdeham. "Nona Severe," katanya, suaranya serak dan penuh keraguan. "Ini semua terdengar sangat mulia. Sebuah dongeng yang indah. Tapi kita di sini menjalankan bisnis, bukan panti asuhan. Visi Anda sangat bergantung pada sentimen, bukan fakta. Siapa Anda sebenarnya yang membuat kami harus mempertaruhkan jutaan dolar dari uang para pemegang saham berdasarkan visi Anda yang belum terbukti?"
Pertanyaan itu adalah sebuah serangan langsung. Sebuah tantangan terhadap seluruh keberadaannya di ruangan itu.
Isabella merasakan tatapan Alex padanya. Ini adalah momen penentu. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap lurus ke arah Tuan Hardiman, tidak gentar.
"Anda benar, Tuan Hardiman," jawabnya, suaranya tenang dan tajam. "Ini adalah bisnis. Dan investasi terbesar yang bisa dilakukan oleh sebuah bisnis adalah investasi pada masa depan. Anak-anak yang kita bantu hari ini adalah calon inovator, seniman, dan bahkan mungkin karyawan Ferguson Corp di masa depan. Mereka adalah sumber daya manusia kita yang paling berharga."
Ia melangkah maju satu langkah. "Dan mengenai 'Bus Pelangi' yang Anda anggap hanya sentimen," lanjutnya, "izinkan saya membingkainya dalam bahasa bisnis untuk Anda. Setiap kali bus itu berhenti di sebuah distrik, itu adalah sebuah acara media. Setiap anak yang tersenyum sambil memegang kuas cat adalah iklan gratis yang jauh lebih kuat daripada papan reklame mana pun. Itu membangun citra Ferguson Corp bukan hanya sebagai raksasa korporat yang dingin, tetapi sebagai pilar komunitas. Loyalitas merek yang kita bangun di hati anak-anak dan keluarga mereka hari ini akan menghasilkan keuntungan yang tak ternilai di masa depan. Jadi, Tuan Hardiman, ini bukanlah tentang amal. Ini adalah tentang strategi jangka panjang yang paling cerdas."
Keheningan yang jatuh setelah jawabannya begitu total. Ia telah mengambil argumen sinis Hardiman dan membalikkannya dengan logika bisnis yang tak terbantahkan, dibungkus dalam gairah yang tulus.
Tuan Hardiman menatapnya lama, lalu ia melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan siapa pun sebelumnya di ruang rapat itu. Ia tersenyum tipis. Dan ia mulai bertepuk tangan.
Satu per satu, anggota dewan lainnya ikut bertepuk tangan. Suara tepuk tangan itu memenuhi ruangan, sebuah simfoni kemenangan. Proposal itu disetujui dengan suara bulat.
Perjalanan turun di dalam lift pribadi Alex terasa sureal. Adrenalin masih memompa di dalam darah Isabella. Ia bersandar di dinding baja yang dingin, akhirnya membiarkan dirinya merasakan kelegaan yang luar biasa.
"Aku tidak percaya kita berhasil," katanya pelan, lebih pada dirinya sendiri. Dalam kelegaannya, ia tanpa sadar menggunakan kata "Aku", bukan "Saya" yang formal.
Alex, yang tadinya berdiri diam menatap pintu lift, menoleh padanya. Ekspresi di wajahnya adalah sesuatu yang belum pernah Isabella lihat sebelumnya. Semua topengnya telah dilepaskan. Yang tersisa hanyalah kekaguman murni, kebanggaan yang tak terselubung, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang begitu dalam dan penuh kerinduan hingga membuat Isabella menahan napas.
Pria itu mengambil satu langkah mendekat. Ruang kecil di dalam lift itu tiba-tiba terasa begitu intim, memisahkan mereka dari seluruh dunia.
"Celine..." Alex memulai, suaranya rendah dan serak, nama itu terdengar begitu personal di bibirnya.
Ia berhenti, seolah sadar akan kesalahannya. "Maksud saya, Nona Severe," ralatnya, meskipun matanya tidak pernah meninggalkan mata Isabella. "Hari ini... di dalam ruangan itu... Anda mengingatkan saya pada seseorang."
Ia tidak mengatakannya dengan nada curiga seperti sebelumnya. Ia mengatakannya dengan nada nostalgia yang begitu dalam, begitu pedih. Seolah ia tidak lagi melihat sebuah teka-teki, melainkan sebuah keajaiban yang menyakitkan.
Sebelum Isabella bisa menemukan suaranya untuk merespons, sebuah bunyi "ding" yang lembut terdengar. Pintu lift terbuka, kembali ke lobi utama yang ramai, memecahkan gelembung intim mereka. Momen itu telah berakhir.