Seorang wanita muda bernama Lydia dipaksa menikah dengan mafia kejam dan misterius, Luis Figo, setelah kakaknya menolak perjodohan itu. Semua orang mengira Lydia hanyalah gadis lemah lembut, penurut, dan polos, sehingga cocok dijadikan tumbal. Namun di balik wajah manis dan tutur katanya yang halus, Lydia menyimpan sisi gelap: ia adalah seorang ahli bela diri, peretas jenius, dan terbiasa memainkan senjata.
Di hari pernikahan, Luis Figo hanya menuntaskan akad lalu meninggalkan istrinya di sebuah rumah mewah, penuh pengawal dan pelayan. Tidak ada kasih sayang, hanya dinginnya status. Salah satu pelayan cantik yang terobsesi dengan Luis mulai menindas Lydia, menganggap sang nyonya hanyalah penghalang.
Namun, dunia tidak tahu siapa sebenarnya Lydia. Ia bisa menjadi wanita penurut di siang hari, tapi di malam hari menjelma sosok yang menakutkan. Saat rahasia itu perlahan terbongkar, hubungan antara Lydia dan luis yang bertopeng pun mulai berubah. Siapa sebenarnya pria di balik topeng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Pagi itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Lydia melangkah perlahan menuruni tangga marmer, gaun sederhana melekat di tubuhnya. Wajahnya tenang, seakan tidak ada yang mampu mengusik. Namun di balik tatapan lembut itu, matanya bergerak cepat, menilai siapa yang ada di sekelilingnya.
Di ruang makan, para pelayan sudah sibuk menata meja. Sofia berdiri di sana, pura-pura mengatur, padahal semua orang tahu ia bukan kepala pelayan. “Ah, Nyonya Lydia akhirnya turun juga,” ucapnya manis, namun nadanya penuh sindiran. “Kami sampai menunggu cukup lama. Tuan Figo tentu tidak akan suka jika istri barunya terbiasa terlambat.”
Beberapa pelayan menahan tawa kecil, sebagian lagi menunduk tak berani. Lydia tersenyum tipis. “Aku tidak tahu harus tepat pukul berapa duduk di meja makan. Lagi pula, apakah Tuan Figo pernah pulang untuk sarapan bersama?”
Ucapan itu membuat wajah Sofia menegang. Pelayan lain menahan napas, lalu pura-pura sibuk. Lydia sudah membalas tanpa perlu meninggikan suara.
Di sisi lain kota, Luis Figo duduk di belakang meja panjang di markas besarnya. Seorang tangan kanan datang membawa berkas. “Tuan, saya menemukan data tentang keluarga Lydia.”
Luis membuka map itu. Foto-foto keluarga terpampang: ayah, ibu, dan kakak perempuan Lydia. Dari laporan, ia tahu Lydia memang selalu dianggap ‘bayangan’ dalam keluarga. Tidak pernah dipuji, bahkan sering diabaikan. Namun, yang membuat Figo terdiam cukup lama adalah catatan akademis Lydia: nilai tertinggi di sekolah, beasiswa yang ia tolak, dan catatan keikutsertaan diam-diam dalam beberapa klub bela diri.
Dahi Figo berkerut. “Menarik…” gumamnya.
Sejak awal ia mengira Lydia hanyalah pengganti, boneka yang pasrah. Tapi catatan ini menunjukkan sisi berbeda.
Sementara itu, Sofia merencanakan sesuatu. Ia menyuruh seorang pelayan baru menuangkan teh panas untuk Lydia, dengan sengaja menaruh cangkir di tepi meja agar mudah tumpah.
Benar saja, saat Lydia duduk, gelas itu hampir terguling mengenai tangannya. Namun dalam sekejap, Lydia meraih cangkir itu dengan kecepatan yang tak masuk akal. Cairan panas nyaris tak menyentuh kulitnya.
Semua orang terdiam.
“Refleksku agak berlebihan,” Lydia terkekeh, menutupi kecepatan gerakannya. “Aku hanya… terbiasa sigap. Jangan salah paham.”
Pelayan baru pucat, sementara Sofia menggigit bibir, makin curiga.
Malamnya, Lydia masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu rapat, lalu menyalakan laptop kecilnya. Jemarinya menari di keyboard, meretas sistem CCTV rumah. Kini ia bisa melihat jalur kamera yang biasanya hanya bisa diakses oleh pengawal Figo.
Di layar, ia melihat Luis Figo di markasnya, sedang berbicara dengan anak buah. Suaranya terdengar dingin:
“Awasi Lydia. Jangan pernah anggap ia sekadar wanita lemah.”
Lydia tersenyum tipis. “Akhirnya kau mulai curiga, Luis Figo. Permainan baru saja dimulai.”
...----------------...
Malam turun dengan cepat di kota itu. Lampu jalan redup, hujan tipis mengguyur aspal, menciptakan kilauan pucat di permukaannya. Luis Figo duduk di kursi belakang mobil hitamnya, sementara Rafael menyetir dengan tenang.
Mereka baru saja keluar dari markas setelah menyelesaikan pertemuan rahasia. Tidak ada iring-iringan panjang, hanya mereka berdua. Figo tidak suka keramaian, apalagi setelah mencium adanya pengkhianat di lingkaran dalam.
Namun, firasatnya malam itu tidak baik.
“Bos,” Rafael bergumam. “Sejak dua blok lalu, ada mobil yang terus mengikuti kita.”
Figo menyalakan rokoknya, wajah dingin. “Aku sudah tahu. Biarkan mereka mendekat.”
Begitu melewati tikungan, deru mesin terdengar dari segala arah. Truk besar melintang menutup jalan, sementara motor-motor keluar dari gang sempit. Lebih dari seratus pria, sebagian membawa pedang, sebagian lagi senjata api rakitan, mengepung mobil mereka.
“Seratus orang…” Rafael menggeram, tangannya sudah meraih pistol di sabuk.
Luis Figo mematikan rokoknya, pandangannya tajam menusuk malam. “Sepertinya ada yang ingin aku mati hari ini.”
Tiba-tiba, hujan deras turun, menambah dramatis suasana.
Pintu mobil dibanting terbuka. Rafael bergerak cepat, melepaskan tembakan. Dua orang langsung jatuh. Figo melangkah keluar, jas hitamnya basah kuyup, namun auranya tetap mematikan.
“Bunuh mereka!” teriak pemimpin musuh.
Gelombang manusia menyerbu. Rafael menembak, menendang, menghajar siapa saja yang mendekat. Figo menggunakan belati peraknya, gerakannya cepat, satu demi satu lawan tumbang.
Namun jumlah mereka terlalu banyak. Peluru Rafael mulai menipis, bahunya tergores pedang, sementara Figo pun terdesak.
Di rumah, Lydia yang sedang menatap layar laptop membelalakkan mata. Melalui kamera kecil yang ia sadap di mobil Figo beberapa hari lalu, ia melihat kejadian itu secara langsung.
Tanpa pikir panjang, ia mengganti pakaian: celana hitam ketat, jaket kulit, dan sepatu bot ringan. Rambut panjangnya ia ikat tinggi. Dengan gesit ia keluar lewat jendela samping, mengelabui para penjaga rumah.
“Kalau aku tidak turun tangan, dia bisa mati malam ini dan aku tidak mau jadi janda,” gumamnya dingin.
Ketika Rafael hampir roboh dan Figo terdesak oleh lima orang sekaligus, tiba-tiba suara peluru berdesing dari arah atap gedung. Tiga musuh jatuh sekaligus.
Sosok ramping melayang turun dari ketinggian, mendarat dengan gerakan mulus. Hujan menetes di wajahnya, matanya berkilat tajam.
“Nyonya... Lydia…?” Rafael hampir tak percaya matanya.
Namun Lydia tidak menjawab. Dengan kecepatan yang mengejutkan, ia menendang salah satu musuh hingga terpental, lalu meraih pedang musuh lain dan memutarnya dengan cekatan.
Satu per satu lawan jatuh, bukan karena keberuntungan, melainkan kemampuan nyata.
Luis Figo sempat tertegun sepersekian detik, lalu kembali menebas lawan di depannya. Dalam hati ia bergumam, “Istriku… Siapa sebenarnya kau?”
Pertempuran berlangsung sengit. Lydia bertarung di sisi Rafael dan Figo, gerakannya lebih cepat daripada bayangan. Ia tidak sekadar bertahan ia menyerang, menutup celah, bahkan melindungi Figo dari serangan mematikan dari belakang.
Tiga puluh menit kemudian, jalanan sunyi itu dipenuhi tubuh-tubuh terkapar. Sebagian lari tunggang langgang, sisanya tak mampu bangkit lagi.
Hujan terus turun, membasuh darah di aspal.
Figo berdiri terengah, jasnya robek, darah menetes dari lengannya. Ia menatap Lydia, yang masih memegang pedang dengan tangan kokoh. Rambutnya basah, wajahnya dingin tanpa rasa takut.
“Bagaimana… kau bisa ada di sini?” suara Figo dalam, penuh kecurigaan.
Lydia meletakkan pedang, lalu tersenyum samar. “Mungkin aku hanya istri yang tidak ingin suaminya mati di malam pertama ia pulang.”
Rafael menatap keduanya, bingung sekaligus terkesan.
Namun Figo terus menatap tajam. Ada sesuatu di balik wanita ini, sesuatu yang bahkan ia sang Raja Mafia tidak bisa tebak.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Luis Figo merasa sedikit gentar.
Bersambung
btw,nysek y kl prpisahn sm kluarga....brsa berat...😭😭😭
tp kl bnrn,aku orng prtma yg bkln kabooorrrr.....😁😁😁
bingung eike 🤔🤔🤔😁
lope2 sekebon buat author /Determined//Determined//Kiss//Kiss//Rose//Rose/
Smngtttt...😘😘😘