NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 2

Beginning And End Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Cintapertama / Balas Dendam / Romansa Fantasi / Anime
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan dari Beginning And End.

Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.

Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.

Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.

Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 : Bunga mawar.

27 Februari 2025.

Sinar matahari pagi menyinari lapangan upacara kelulusan SMA Kyoko dan SMA Terinis. Suasana meriah dan haru bercampur menjadi satu. Lagu-lagu perpisahan mengalun, menciptakan suasana yang emosional. Namun, Reina, tersembunyi di balik atap gedung aula, merasakan suasana itu dengan hati yang bercampur aduk. Ia bukan bagian dari perayaan itu, tugasnya jauh lebih berat.

Reina, dengan tubuh yang meringkuk di balik tembok, mencoba untuk tidak terlihat. Bajunya yang kusut dan rambutnya yang sedikit berantakan menunjukkan betapa lelahnya ia. Ia memeluk dirinya sendiri, seolah-olah ingin melindungi dirinya dari dunia luar.

“Aku sangat senang,” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar di antara hiruk pikuk di bawah. “SMA Kyoko dan SMA Terinis… masih bersahabat…” Seulas senyum tipis muncul di bibirnya, namun matanya yang berkaca-kaca mengkhianati kebahagiaannya. Ia mengusap air mata yang hampir jatuh dengan punggung tangannya yang kotor.

Dengan hati-hati, Reina mengeluarkan teropong mini dari balik tasnya. Jari-jarinya, yang biasanya lincah, bergerak lambat dan gemetar. Ia mengamati kursi-kursi kosong yang telah disiapkan untuk para wisudawan. Dua kursi kosong dengan nama Akasi Hanna dan Hasane Reina menarik perhatiannya. Buket mawar merah menyala, bunga kesukaan Reina, terletak di atas kursinya.

Sebuah tawa kecil, sedih dan getir, lolos dari bibirnya. “Hihi… hanya bunga kesukaanku… tak sopan sekali…” Senyumnya memudar, diganti oleh ekspresi yang lebih serius. Kesedihan yang dalam terpancar dari matanya. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Misi rahasianya mengharuskannya untuk tetap tersembunyi, jauh dari kebahagiaan teman-temannya.

“Tapi… Hanna… di mana dia?” gumamnya, suaranya penuh kecemasan. Ia kembali mengamati kursi-kursi, matanya menjelajahi setiap sudut lapangan. Kecemasan itu bercampur dengan kesedihan, membuat hatinya semakin berat.

Bunyi bip dari earphone-nya membuyarkan lamunannya. Reina buru-buru menekan tombol kecil di earphone itu. “Ya… Alice?” Suaranya sedikit tegang, mencoba untuk tetap tenang.

Suara Alice terdengar dari earphone, panik dan tergesa-gesa. “Reina… aku sudah menemukan Hanna… dia… dia ada di pemakamanmu…”

Mata Reina membulat, terkejut dan khawatir. Ia mencengkeram teropongnya dengan erat, jari-jarinya memutih karena tekanan. Ia membayangkan Hanna di pemakamannya, bayangan itu membuatnya semakin cemas.

“Baiklah…” kata Reina, suaranya sedikit bergetar. “Kalian tunggu di markas… aku akan ke sana sekarang…”

“Tunggu, Reina!” Alice mencoba mencegahnya, namun Reina sudah mematikan komunikasi. Dengan gerakan cepat dan lincah, Reina merangkak di atas atap, menghindari perhatian orang-orang di bawah. Jantungnya berdebar kencang, campuran kecemasan dan tekad memenuhi dadanya.

“Baiklah…” bisik Reina, suaranya penuh tekad. “Aku akan ke sana… Hanna… sahabatku…” Ia melompat dari atap, menghilang di antara kerumunan wisudawan. Langkahnya cepat dan pasti, menunjukkan tekadnya untuk segera bertemu Hanna. Aroma bunga mawar dan tanah basah memenuhi hidungnya, mengingatkannya pada kenangan indah dan pahit. Petualangan baru, penuh bahaya dan misteri, menunggu di depan. Langit biru cerah di atasnya seakan-akan menjadi saksi bisu perjalanan berbahaya yang akan ia lalui.

Udara di pemakaman terasa dingin dan lembab, bau tanah basah dan bunga memenuhi udara. Reina melangkah perlahan, langkahnya hati-hati, mencoba untuk tidak menimbulkan suara. Baju hitamnya yang longgar membalut tubuhnya yang kurus, menunjukkan betapa lelahnya ia. Rambutnya yang terurai menutupi sebagian wajahnya, menambah kesan misterius. Ia mengamati sekeliling, mencari sosok Hanna di antara batu nisan yang berdiri tegak.

Di kejauhan, ia melihatnya. Hanna. Berdiri di dekat sebuah pohon besar, dekat dengan makam Reina. Langkah Hanna pelan dan gontai, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Wajahnya pucat, mata sembab, dan senyum yang dipaksakan terlihat sangat menyedihkan. Ia seperti patung yang terpaku di tempat, terjebak dalam kesedihannya.

Air mata Reina mengancam untuk jatuh. Ia menahannya dengan susah payah, mencoba untuk tetap tegar. Ia melangkah mendekati Hanna, langkahnya terasa berat, dipenuhi oleh penyesalan dan kerinduan.

“Hanna…” suara Reina bergetar, hampir tak terdengar. “Dari sebanyak sahabatku… kamu yang selalu menemani aku… maafkan aku… aku sebenarnya masih hidup…” Air mata akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Ia menunduk, menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam. Tubuhnya gemetar, menunjukkan betapa emosionalnya ia.

Reina berhenti beberapa langkah dari Hanna, kemudian duduk di bawah pohon besar yang rindang, dekat dengan makam Reina. Ia hanya bisa mendengar ocehan Hanna, curahan hati seorang sahabat yang tengah berduka. Hanna berbicara dengan makam Reina, suaranya bercampur antara tawa dan tangis. Ia menunjuk ke arah sinar matahari yang menerobos awan mendung, mencabut rumput liar yang tumbuh di dekat makam, seolah-olah sedang membersihkan makam sahabatnya.

Reina mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Hanna, menyerap setiap emosi yang terpancar dari suaranya. Ia mendengar tentang kesedihan Hanna, kehilangannya akan Reina, dan juga tentang harapannya untuk masa depan. Di antara semua curahan hati itu, sebuah kalimat tertentu menarik perhatian Reina.

“Sama seperti saat kamu masih hidup… kamu pasti risih kalau rambut ketiakmu tumbuh… padahal cuma satu helai kecil saja…”

Reina terkekeh kecil, mengingat kenangan masa lalu. Ia teringat saat ia masih berusia tiga belas tahun, menangis tersedu-sedu hanya karena satu helai bulu ketiaknya tumbuh. Kenangan itu membuatnya tersenyum, sebuah senyum yang sedikit getir, campuran antara kesedihan dan kebahagiaan.

Reina kembali fokus mendengarkan Hanna, menyerap setiap kata yang keluar dari mulut sahabatnya. Ia menyadari betapa besar cinta dan kesetiaan Hanna padanya. Di bawah pohon besar yang rindang, di tengah suasana pemakaman yang sunyi, Reina menemukan kekuatan dan penghiburan. Ia menyadari bahwa persahabatannya dengan Hanna sangat berarti, dan ia tidak sendirian dalam menghadapi cobaan hidup. Aroma tanah basah dan bunga memenuhi udara, menciptakan suasana yang emosional dan mendalam. Malam semakin larut, menandai akhir dari pertemuan yang penuh haru dan misterius ini.

Suara Hanna terdengar lirih, terbawa angin sepoi-sepoi yang berhembus di antara pepohonan rindang pemakaman. Kata-katanya, walaupun sederhana, mengungkapkan kesedihan dan penerimaan yang mendalam. Reina, tersembunyi di balik batang pohon besar, hanya bisa mendengarnya, menahan air mata yang mengancam untuk jatuh. Sinar matahari sore menerobos celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang dramatis di atas tanah. Aroma tanah basah dan bunga masih memenuhi udara, menciptakan suasana yang sunyi dan sendu.

“Reina…” suara Hanna bergetar, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul. “Dunia ini… memang kejam…” Ia terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam, seolah-olah sedang mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan kata-katanya. Ia mengusap air mata yang mengalir di pipinya dengan punggung tangannya, gerakannya lembut dan penuh kesedihan.

“Saat aku masih ingin menghabiskan waktu muda bersamamu…” Hanna melanjutkan, suaranya semakin lirih. Ia menunduk, menatap makam Reina, seolah-olah sedang berbicara kepada sahabatnya yang telah tiada. “Tapi… dunia tidak mengizinkannya…” Ia terisak, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Tubuhnya gemetar, menunjukkan betapa rapuhnya ia.

Hanna menarik napas dalam-dalam lagi, mencoba untuk menenangkan dirinya. “Aku mengerti kok… masing-masing kita memiliki takdir…” Suaranya sedikit lebih tenang, menunjukkan penerimaan yang telah ia temukan. Ia menatap langit sore yang mulai gelap, seolah-olah sedang mencari jawaban di atas sana.

“Entah aku mati besok… atau sudah punya cucu bersama Kenzi hingga tua…” Hanna melanjutkan, suaranya sedikit lebih kuat, menunjukkan tekadnya untuk menjalani hidup. “Pasti kamu ketawa… melihat Kenzi sudah jadi kakek-kakek…” Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang dipaksakan, menunjukkan campuran antara kesedihan dan harapan.

Reina, yang mendengarkan dari balik pohon, hanya bisa terduduk diam. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Ia menahan tangisnya dengan susah payah, mencoba untuk tetap tegar. Tubuhnya gemetar, menunjukkan betapa terharunya ia.

“Hanna…” gumam Reina, suaranya hampir tak terdengar. “Aku mohon… jangan berkata seperti itu…” Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Ia merasa sangat bersalah, karena harus menyembunyikan keberadaannya dari Hanna. Ia ingin memeluk Hanna, menghibur sahabatnya, namun ia tidak bisa. Ia hanya bisa mendengarkan, menahan kesedihan yang mendalam.

Keheningan menyelimuti mereka, hanya diiringi oleh suara angin yang berdesir di antara pepohonan. Sinar matahari sore semakin redup, menciptakan suasana yang semakin sendu. Reina merasa hatinya hancur, mendengar curahan hati Hanna yang penuh kesedihan dan penerimaan. Ia menyadari betapa besar cinta dan kesetiaan Hanna padanya, dan betapa beratnya beban yang dipikul oleh sahabatnya itu. Di tengah kesunyian pemakaman, Reina menemukan kekuatan dan tekad untuk menghadapi masa depan, untuk melindungi Hanna, dan untuk membalaskan dendam atas kematian Reina. Aroma tanah basah dan bunga mawar memenuhi udara, menciptakan suasana yang dramatis dan emosional.

Suara Hanna kembali terdengar, kali ini lebih pelan dan terbata-bata, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga yang harum, menciptakan suasana yang sunyi dan sendu di pemakaman itu. Cahaya matahari sore yang redup menerpa wajah Hanna, menonjolkan bayangan-bayangan yang menari-nari di sekitar matanya yang sembab.

“Dan Kei…” Hanna memulai, suaranya hampir tak terdengar, menunjukkan keraguan dan kesedihan yang mendalam. Ia terdiam sejenak, mencoba untuk mengendalikan emosinya yang bergejolak. Tubuhnya menegang, menunjukkan betapa sulitnya ia untuk mengungkapkan perasaannya.

Hanna menghentikan ucapannya sesaat, menunduk, memperlihatkan ekspresi wajah yang rumit dan penuh emosi. Ada kesedihan, kemarahan, dan penyesalan yang tercampur aduk dalam tatapannya. Ia menggigit bibir bawahnya, seolah-olah sedang menahan tangis.

“Walaupun dia masih sangat terpukul…” Hanna melanjutkan, suaranya hampir tak terdengar, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia rasakan. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangannya, gerakannya kasar dan menunjukkan rasa frustasi.

“Tapi… maafkan aku, ya, Reina… aku terlanjur benci padanya…” Hanna menunduk lebih rendah, posturnya menunjukkan kesedihan yang mendalam dan rasa bersalah yang terpendam. Bahunya merosot, menunjukkan kelelahan dan keputusasaan.

“Bahkan Andras… juga tak mau bicara denganku…” Ia menyeka air matanya lagi, kali ini dengan gerakan yang lebih kasar, menunjukkan kemarahan pada dirinya sendiri. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, seolah-olah ingin menghapus semua kesedihan dan kemarahan yang ada.

“Sakit sih… tapi ini semua… memang salahku…” Hanna berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Ia terisak, menunjukkan betapa hancurnya hatinya. Ia duduk di atas tanah, menunjukkan kelelahan dan keputusasaan yang mendalam.

Reina, yang mendengar semua itu dari balik pohon, tersentak kaget. Ia meremas rumput di dekatnya dengan erat, jari-jarinya memutih karena tekanan. Mata Reina membulat, menunjukkan keterkejutan dan ketidakpercayaan.

“Kei… Andras dan Hanna… mereka sedang bertengkar…” gumam Reina, suaranya penuh dengan keterkejutan. Ia tidak menyangka bahwa persahabatan antara Kei, Andras, dan Hanna telah retak. Ia merasa sangat terkejut dan sedih.

“Bagaimana bisa…” Reina melanjutkan, suaranya bergetar. Ia meremas rumput di dekatnya dengan lebih kuat, menunjukkan betapa tertekannya ia. Ia merasa sangat sedih dan kecewa. Begitu banyak perubahan telah terjadi setelah kematiannya.

Reina tak mampu menahan tangisnya lagi. Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, menahan isak tangis yang hampir meledak. Ia merasa sangat sedih dan terluka, mendengar curahan hati Hanna yang penuh kesedihan. Ia merasa sangat bersalah, karena tidak bisa berada di sisi Hanna untuk menghiburnya. Ia hanya bisa mendengarkan, menahan kesedihan yang mendalam. Di tengah kesunyian pemakaman, Reina merasakan betapa beratnya beban yang dipikul oleh sahabat-sahabatnya. Aroma tanah basah dan bunga memenuhi udara, menciptakan suasana yang semakin emosional dan mencekam. Langit semakin gelap, menandakan datangnya senja yang panjang dan penuh misteri.

Hanna berusaha keras untuk menunjukkan keteguhan hati, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya, namun matanya berkaca-kaca, mengungkapkan kesedihan yang terpendam. Angin sore berhembus perlahan, membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga yang harum, menciptakan suasana yang sunyi dan sendu di pemakaman itu. Bayangan panjang pohon-pohon rindang menari-nari di atas tanah, menciptakan suasana yang dramatis dan emosional.

“Tapi tenang saja kok, Reina,” kata Hanna, suaranya bergetar, menunjukkan betapa sulitnya ia untuk menahan tangis. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya. Tubuhnya gemetar, menunjukkan betapa rapuhnya ia.

“Begini-begini… aku tetap bahagia kok…” Hanna mencoba untuk tertawa, namun suaranya semakin bergetar, menunjukkan betapa tertahannya emosinya. Ia mengusap air matanya dengan punggung tangannya, gerakannya lembut dan penuh kesedihan.

“Apalagi saat aku membersihkan kamarmu… dan menjaga Bibi Ina…” Suaranya kembali bergetar, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Ia terdiam sejenak, mencoba untuk mengendalikan emosinya. Bahunya bergetar hebat, menunjukkan betapa tertekannya ia.

Hanna menarik napas panjang, mencoba untuk menahan tangisnya. Ia menunduk, menunjukkan rasa malu dan penyesalan yang mendalam. Rambutnya yang terurai menutupi sebagian wajahnya, seakan-akan ia ingin menyembunyikan kesedihannya.

“Tapi… aku minta maaf, ya, Reina…” Hanna menunduk lebih rendah, bahunya bergetar hebat. Suaranya hampir tak terdengar, menunjukkan betapa sulitnya ia untuk mengucapkan kata-kata itu.

“Bibi Ina… sudah meninggal…” Hanna berbisik, suaranya terputus-putus. Ia terisak, menunjukkan betapa hancurnya hatinya.

“Mamamu… kena stroke… meninggal beberapa bulan yang lalu…” Suaranya semakin pelan, hampir tak terdengar. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangannya, gerakannya kasar dan menunjukkan rasa frustasi.

“Sekarang… rumah itu… sudah kosong…” Ia terdiam sejenak, mencoba untuk mengendalikan emosinya. Ia menatap makam Reina, seolah-olah sedang berbicara kepada sahabatnya yang telah tiada.

“Tapi tenang saja… aku, Yumi, Emi, Ryu, Lynn, dan Chins… selalu datang ke rumahmu… bahkan Kenzi… selalu melempar boneka kesayanganmu ke padaku dan Lynn…” Hanna mencoba untuk tersenyum, namun senyumnya terlihat dipaksakan. Ia mencoba untuk menunjukkan keteguhan hatinya, namun kesedihannya tetap terlihat jelas.

Berita kematian mama Ina, satu-satunya keluarga yang tersisa, menghantam Reina seperti gelombang tsunami. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Air mata yang semula ia tahan dengan susah payah kini mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat. Bibirnya bergetar hebat, mencoba untuk menahan isak tangis yang hampir meledak. Tangisnya bukan sekadar tangis biasa; itu adalah luapan kesedihan, kehilangan, dan keputusasaan yang begitu dalam. Dadanya sesak, napasnya tersengal-sengal, menunjukkan betapa hancurnya hatinya.

Matanya, yang biasanya berbinar-binar penuh semangat, kini sayu dan kosong, menunjukkan betapa hampa dan rapuhnya ia. Ekspresinya berubah-ubah dengan cepat, dari keterkejutan, ketidakpercayaan, ke kesedihan yang mendalam, hingga akhirnya menjadi keputusasaan yang mencekam. Tubuhnya gemetar hebat, menunjukkan betapa terguncangnya ia. Tangannya menutupi mulutnya, mencoba untuk menahan tangisnya, namun air mata tetap mengalir deras.

Di antara isak tangisnya yang pilu, gumam-gumam lirih lolos dari bibirnya:

"Mama… tidak… tidak mungkin…"

"Mama… tinggal aku sendirian…"

"Kenapa… kenapa harus sekarang…"

"Aku… aku tidak kuat…"

Tubuhnya merosot, menunjukkan kelemahan dan keputusasaannya. Ia merasa sendirian, terisolasi, dan terhempas oleh gelombang kesedihan yang begitu besar. Di tengah kesunyian pemakaman, di bawah langit yang semakin gelap, Reina merasakan kesedihan yang begitu mendalam, kesendirian yang mencekam, dan beban berat yang harus ia pikul sendirian. Aroma tanah basah dan bunga memenuhi udara, menciptakan suasana yang semakin emosional dan mencekam.secara tidak sengaja, suara tangis Reina keluar, Reina berusaha menahan suara nya namun gagal. Hanna mendengar sura tangisan itu.

Hanna tersentak, ia berdiri dengan cepat, tatapannya waspada. “Siapa di sana?” Suaranya gemetar, menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran. Ia berjalan perlahan ke arah pohon besar tempat Reina bersembunyi, mencari asal suara tangisan itu.

Reina panik, ia berusaha mencari cara untuk menyembunyikan diri. Tanpa pilihan lain, ia mengeluarkan pistol pengikat kecil dari sakunya, menembakkan pengait ke dahan pohon, lalu dengan cekatan ia memanjat pohon dengan cepat dan terampil. Ia berhasil bersembunyi di balik dedaunan yang lebat.

Dari atas pohon, Reina melihat Hanna di bawah. Hanna tersentak, kemudian berkata dengan suara gemetar, “Ya… pasti cuma firasatku…”

Ia kembali duduk di samping makam Reina, menyandarkan kepalanya di batu nisan. “Soalnya… aku selalu mendengar… suara tangismu… dan ocehanmu… tentang kejamnya dunia…” Suaranya hampir tak terdengar, menunjukkan kesedihan yang mendalam.

Reina, tersembunyi di atas pohon, hanya bisa menangis. Kehilangan mama nya, satu-satunya keluarga yang tersisa, memberikan pukulan yang sangat berat baginya. Di tengah kesunyian pemakaman, Reina merasakan kesedihan yang mendalam, kesendirian yang mencekam, dan beban berat yang harus ia pikul. Aroma tanah basah dan bunga memenuhi udara, menciptakan suasana yang semakin emosional dan mencekam. Langit semakin gelap, menandakan datangnya malam yang panjang dan penuh misteri.

Hanna, dengan langkah gontai dan hati yang berat, berbalik meninggalkan makam Reina. Ia melirik sekilas ke arah rombongan siswa SMA Kyoko dan SMA Terinis yang mulai mendekati area tersebut, suasana riang mereka terasa begitu kontras dengan kesedihan yang tengah ia rasakan. Dengan tangan gemetar, ia meletakkan setangkai bunga mawar merah—bunga kesukaan Reina—di atas makam. Bunga itu seakan mewakili kesedihan dan kerinduannya yang tak terkatakan. Kemudian, ia berlalu, menghilang di antara barisan batu nisan yang berdiri tegak, meninggalkan kesunyian kembali menyelimuti area pemakaman.

Beberapa jam berlalu. Matahari mulai terbenam, menciptakan langit jingga yang indah namun terasa dingin dan menyayat hati. Para siswa telah meninggalkan pemakaman, menyisakan kesunyian yang begitu pekat. Hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan dan aroma tanah basah yang memenuhi udara. Namun, dari balik bayangan pohon besar tempat Reina bersembunyi, muncul sosoknya.

Reina melangkah mendekati makamnya sendiri, langkahnya lambat dan hati-hati, seolah-olah takut untuk mengganggu ketenangan tempat itu. Ia mengamati makamnya dengan detail, menatap ukiran nama dan tanggal lahirnya dengan tatapan yang kosong dan sendu. Wajahnya pucat, mata sembab, dan tubuhnya gemetar, menunjukkan betapa lelah dan hancurnya ia. Ia menyentuh batu nisan dengan lembut, jari-jarinya terasa dingin.

Dengan gerakan yang sangat pelan, Reina mengambil bunga mawar merah yang baru saja diletakkan Hanna. Ia memegang bunga itu dengan lembut, jari-jarinya melingkar di atas kelopak bunga dengan gerakan yang penuh kasih sayang. Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi kelopak bunga mawar itu, seakan-akan bunga itu menjadi saksi bisu kesedihannya yang mendalam. Bau harum mawar bercampur dengan aroma tanah basah, menciptakan aroma yang menyayat hati.

Ekspresinya berubah-ubah dengan cepat, dari kesedihan yang mendalam menjadi penyesalan yang begitu besar. Ia mengingat kembali kenangan indah bersama Bibi Ina, ibu dan sahabatnya, yang telah tiada. Ia teringat senyum hangat Bibi Ina, suara lembutnya, dan kasih sayangnya yang begitu besar. Kenangan itu semakin memperparah kesedihannya.

Reina memejamkan mata sejenak, mencoba untuk mengendalikan emosinya. Napasnya tersengal-sengal, menunjukkan betapa tertekannya ia. Ia merasa sangat sendirian, terisolasi, dan terhempas oleh gelombang kesedihan yang begitu besar.

Setelah beberapa saat, Reina beranjak dari makamnya. Langkahnya masih lambat dan gontai, namun ada tekad yang tampak di matanya. Ia bertekad untuk melanjutkan hidupnya, untuk membalaskan dendam atas kematian mama nya dan dirinya sendiri. Ia berjalan, mencari dengan langkah tak beraturan. mencari makam Ina, langkahnya pasti, menunjukkan tekad yang kuat. Langit semakin gelap, menandakan datangnya malam yang panjang dan penuh misteri. Namun, di tengah kesedihan dan keputusasaan, Reina menemukan kekuatan dan tekad untuk tetap bertahan hidup. Aroma tanah basah dan bunga mawar masih memenuhi udara, menciptakan suasana yang dramatis dan emosional.

1
Riri
ini bukan maha karya, ini sebuah wahyu yang di tulis dengan tinta jiwa dewa author 🤓🙀
secret: wihhh 😭🙏🙏
total 1 replies
Rezaa..
semoga season dua lebih bagus dari season satu... no momy Andras 😭
secret: gapapa... nanti Andras muncul lagi kok... tapi nunggu lama ya wkwkw
total 1 replies
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
secret: rasis dulu sebelum membantai /CoolGuy/
total 1 replies
esere
Serius... cerita ini walaupun panjang, tapi seru... karakter karakter nya unik sama narasi nya hidup gitu... pokok nya setia dari s1 🔥
secret: yoi dong 🤝
total 1 replies
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
secret: Dawg... mereka lansung putus asa baca waktu Reina mati 🤣
total 1 replies
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
secret: makasih ya author... kamu juga!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!