Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.
Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arti Rumah
Sinar matahari pagi menyusup lembut melalui sela tirai apartemen, menyentuh pipi Althea yang masih terbaring di ranjang. Matanya perlahan terbuka, dan dalam diam, ia menatap langit-langit. Rasanya masih seperti mimpi—kembali ke tanah kelahiran, kembali ke wajah-wajah yang dulu ia tinggalkan dengan sejuta rasa.
Ponselnya bergetar di meja samping tempat tidur. Satu pesan masuk dari Charlene.
“Kami otw dalam 20 menit. Jangan pakai alasan ‘Kasian baby Ed and baby Ray kalau ditinggal, apalagi Char lagi hamil'. Baby El dan Baby Rey sama Daddy nya masing-masing, dan hamil bukan berarti gue lemah. Apalagi buat ketemu sahabat sendiri. Buktinya gue gapapa kan jemput Lo dibandara bahkan sampe jalan sama kalian kemaren. Gue harus banyak gerak biar gampang lahirannya. Lo nggak ada alasan buat nolak”
Althea tersenyum kecil. Terlalu tahu gue gengsian, gumamnya.
Sebenarnya ia sempat menolak halus ketika ketiga sahabatnya bersikeras ingin menjemputnya. Seperti kemarin lusa ketika ia baru saja tiba di Indonesia sebenernya Thea sudah menolak karena mengerti teman-temannya tengah sibuk akan banyak hal namun temannya sangat memaksa dengan alasan sangat merindukannya jadilah ia kalah karena 1 vs 3. Rosseane dan Elenora baru saja menjadi ibu dari bayi laki-laki mereka—selisih usia hanya dua minggu.
Ya, Baby El atau Elden Gabriello Gilmore merupakan anak dari Ellenora Joy Hubbert dan Elvano Zico Gilmore. Sedangkan Baby Ray atau Raynand Xander Bailey merupakan anak dari Rosseane Gwen Nixon dan Regan Sky Bailey. Charlene? Ia sudah menikah dengan Cristo Leon Davis dan kini dirinya sedang mengandung 7 bulan. Apakah Thea datang ketika mereka menikah? Tentu saja kebetulan pernikahan mereka tidak dilangsungkan di Indonesia melainkan Rose dilakukan di Paris, Elen di Santorini, dan Char di Venesia. Apapun akan Althea lakukan untuk sahabat yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri.
Tepat pukul sepuluh pagi, bel apartemennya berbunyi. Saat pintu terbuka, suara tawa langsung memenuhi udara.
“Cantik juga Lo pada pagi-pagi gini,” goda Althea melihat teman-temannya serempak mengenakan dress santai nya. Penampilan Elen hari ini sangat berbeda, ia nampak elegan dan dewasa.
Rosseane menyusul, berjalan dengan santai. “Jangan salah, kita ini emak-emak modis. Tapi jangan harap bisa tidur lebih dari tiga jam semalam.”
Charlene berdiri paling belakang, masih mengelus perut buncitnya. “Walaupun hamil gue harus tetep cantik, badai, dan modis,” katanya, percaya diri.
"Iya-iya bumil cantik, HAHAHA" Kata Althea, Rose, dan Ellen menggoda Charlene yang masih tersenyum bangga.
Mereka pun meluncur ke café yang tenang di pusat kota—cafe milik Elen. Ya, semenjak dirinya menikah elen memilih mengelola cafe saja daripada bekerja dikantor supaya bisa mengurus suami dan anaknya.
Setelah makanan tiba obrolan mulai mengalir ringan. Mereka bertukar kabar, bercanda, dan seperti biasa, menggoda satu sama lain.
“Gimana perasaanmu setelah balik?” tanya Charlene sambil menyendok panna cotta.
Thea mengangkat bahu. “Aneh. Seperti nggak pernah pergi... tapi juga bukan benar-benar pulang.”
Rosseane menatapnya dengan lembut. “Dan proyek baru Lo?”
“Besok gue ke kantornya liat situasi, sebenernya gue cuma ke kantor pas laporan sama meeting doang selebihnya bebas mau WFO atau WFH" Jawab Althea santai, pasalnya ia menang besok harus ke kantor barunya.
Charlene mencondongkan badan. “Emang keren jewelry designer kita. BTW Kak Galen udah nawarin lo posisi di perusahaan bokap lo, kan? Kenapa nggak ambil aja malah ambil proyek yang ngeri ini?”
“Padahal lo lulusan terbaik,” tambah Rosseane, separuh protes.
“Dan itu perusahaan bokap Lo sendiri,” sahut Elena, kali ini lebih serius.
Thea terdiam sejenak, menatap jendela café yang menghadap taman kota. “Gue capek ada di bawah bayang-bayang keluarga gue. Gue mulai dari nol. Tanpa warisan. Tanpa pengaruh siapa-siapa. Sekalian gue bakal buktiin tanpa dia gue masih hidup”
Charlene menatapnya lama. “Lo jangan selalu keras sama diri sendiri, Thea.”
“Gue nggak tahu cara lain untuk merasa pantas,” sahut Thea pelan.
Sesaat, tak ada yang bicara. Lalu Elena menyeringai, mengubah suasana.
“Tapi serius, kita ini udah emak-emak, Char bentar lagi nyusul. Tinggal lo, Thea. Masih sendiri. Rencana?”
"Besok gue merried" Jawab Althea serius. Teman-temannya mengerutkan dahinya kebingungan dan seakan bertanya 'sama siapa?'
"Hardin Scott" Jawab Althea santai membuat teman-temannya memutar bola matanya malas dengan kehaluannya.
"Terserah Lo deh. Kalau kayak gini semuanya seakan masih sama ya?"
Thea tertawa pelan. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Charlene sudah menyambar cepat, “Ya masih sama... sebagian dari kita.”
Thea menatapnya, tersenyum samar, lalu mengangguk. “Ya... sebagian dari kita.”
Mereka tertawa bersama. Entah karena kalimat itu menyentuh, atau justru terlalu nyata untuk ditertawakan. Di balik tawa, Thea tahu—dunia mereka kini berubah.
♾️
Suasana café semakin hangat. Tawa kecil dan obrolan ringan mengalir, mengisi ruang tanpa jeda yang canggung. Thea duduk tenang di tengah sahabat-sahabatnya, membiarkan momen ini meresap perlahan. Namun, pintu café tiba-tiba terbuka, dan seorang pria berperawakan tinggi dengan jaket kasual masuk sambil mendorong stroler yang berisi bayi mungil yang wajahnya mirip sekali dengannya, seperti kemasan sachet orang yang mendorong stroler tersebut.
“Elvan?!” seru Elenora, separuh terkejut, ada apa suaminya tersebut tiba-tiba menyusulnya.
Suaminya hanya nyengir, mendekat sambil mengangkat bayi yang kini tertidur pulas. “Maaf ganggu sayang. Baby kita nangis terus di rumah. Kayaknya kangen banget sama Mommy-nya.”
Charlene memicingkan mata. “Bayi yang sekarang lagi tidur nyenyak itu? Kasian banget baby El ganteng dijadiin alasan akal-akalan daddy nya”
Elenora melipat tangan di dada, menatap suaminya curiga. “Ini akal-akalan kamu, ya?”
Elvan duduk di kursi kosong di sebelah Elenora, santai dan penuh percaya diri. “Bisa jadi. Tapi siapa suruh kamu pergi ga ngajak aku. Aku kan juga mau ikut”.
Thea menahan tawa sementara Rosseane menutup mulutnya, menahan kekeh. “Parah sih ini,” komentar Charlene sambil melirik tajam.
“Kalian pasangan bucin level akut, dikira yang lain udah pindah mars kali ya.”
Elenora tersenyum mengejek. “Nih, liat deh, liat semua ngeliat kita kayak tatapan iri.”
Elvan malah makin santai, merangkul Elenora dari samping. “Biarin. Yang penting Mommy-nya anakku bahagia.”
Thea hanya bisa menggeleng pelan sambil tertawa. “Terserah deh gue yang single akut mendadak ngerasa ngontrak.”
Baru beberapa menit mereka menikmati obrolan ringan lagi, pintu café kembali terbuka—kali ini sosok pria berpenampilan kalem dan dewasa melangkah masuk sambil mendorong stroller bayi mungil berusia dua bulan.
“Sayang...” suara lembut Rosseane membuat pria itu tersenyum.
Regan, suami Rose, menghampiri Rose dan mengecup singkat kening istrinya. “Tadi dia baru bangun, kupikir sekalian jemput kamu. Baby Rey juga kayaknya nyaman banget di strollernya.
”Regan duduk di samping Rosseane, menepuk perlahan tangan istrinya.
"Cuma sama Rose doang ni Regan kalem" Ceplos Elvan membuat Regan memutar bola matanya malas. Walaupun mereka bertolak belakang, Elvan yang sedikit tengil dan Regan yang tekesan serius merupakan sahabat dari SMP sehingga membuat mereka sangat akrab, bahkan sampai sekarang.
“Lo ngapain disini?” Tanya Regan pada Elvan.
"Buta Lo? Padahal sendirinya juga kesini kangen istri" cibir Elvan pada Regan membuat mereka yang ada disana memaklumi dua manusia itu.
Charlene manyun, menyilangkan tangan di dada. "Gue jadi obat nyamuk di sini huh terusin aja mesranya, kangen my hubby.”
“Ck drama. Sok-sokan paling tersakiti padahal suami lo ke Singapore, bukan karena lo jomblo,” sahut Rose cepat.
“Hehe... tetap aja, gue ditinggal kerja waktu lagi butuh disayang-sayang,” keluh Charlene sambil menatap kosong ke arah Jus milik-nya.
"Alay Lo, Thea yang jomblo aja Sans bro" sahur Elen membawa-bawa Thea.
"Dih gue single ya, gue sendiri milih bukan karena keadaan" jawab Althea dengan bangganya mengundang gelak tawa teman-temannya.
Mereka semua tersenyum, lalu obrolan mengalir santai—tentang rumah tangga, tentang kompromi, tentang ketakutan jadi orang tua, dan hal-hal kecil yang sering luput dibicarakan karena kesibukan.
Thea mendengar semuanya dengan penuh perhatian. Ia belum menikah, belum punya anak. Tapi sorot matanya tak menyimpan iri, hanya harapan.
“Gue masih nggak nyangka, dari kita berempat, yang nikah duluan malah Elena yang kek preman ini, eh pacaran sekali langsung ketemu jodoh, keren asli” goda Charlene, menatap Elenora dengan senyum nakal.
“Jangan salah. Tampang boleh preman, tapi hati mudah ditaklukkan,” balas Elvan santai dan kata-katanya sukses membuat Elen tersipu malu dan menjadi bahan ejekan teman-temannya.
♾️
Suara sendok bertemu gelas terdengar lembut, mengiringi aroma karamel latte dan vanilla milk tea. Baby El masih tertidur di pelukan Elvan, dan stroller kecil di samping Rosseane berayun perlahan, menampakkan wajah mungil bayi laki-laki berusia dua bulan yang juga tengah lelap.
“Lihat deh pipi Baby El... kayak mochi,” ucap Althea sambil mencolek pelan pipi si kecil dengan jari telunjuknya.
“Makanya buruan buat mochi sendiri,” goda Elenora sambil terkekeh.
"Hilalnya diaa aja belum keliatan sama sekali" Jawab Rose ikut menggoda Thea.
Thea memutar bola matanya malas“Nggak semudah itu, guys. Bener tu kata Rose hilalnya aja belum keliatan dan gue kayaknya belum siap bangun jam 2 pagi buat nyusuin bayi.”
Rosseane tersenyum, membenarkan letak selimut anaknya. “Awalnya pasti panik... tapi lama-lama kamu bakal kangen. Gue kadang suka bangun tengah malam cuma buat lihat dia tidur.”
“Bener banget lagi, Rose,” celetuk Elvan sambil tertawa.
Regan yang sejak tadi diam, menambahkan, “Tapi itu bener. Tiap malam kayaknya ada alarm batin yang otomatis hidup. Bahkan sebelum anaknya nangis, kita udah kebangun.”
“Dan tiba-tiba hidupmu berputar 180 derajat. Semua prioritas berubah,” sambung Rosseane.
“Dulu bangun pagi buat rapat, sekarang buat ganti popok.”
Namun di tengah suasana yang penuh canda dan obrolan hangat tentang bayi, Thea menatap ke arah Baby El, lalu ke stroller bayi Rosseane. Ada senyum samar di wajahnya. Thea tiba-tiba berkata pelan namun terdengar jelas di antara mereka semua.
"Gue pengen jadi Ibu."
Mereka semua terdiam. Bukan karena terkejut, tapi karena ucapan Thea itu bukan hanya sebuah pernyataan—melainkan harapan yang dalam. Sebuah kalimat yang keluar dengan nada lirih namun sarat makna.
Charlene yang duduk di sampingnya menoleh cepat. “Eh? Lo serius, Thea? Tiba-tiba banget biasanya alasan kerja”
Thea tersenyum, namun sorot matanya jauh. “Gue baru sadar... betapa indahnya menjadi rumah untuk seseorang. Dan mungkin... Gue capek jadi orang yang selalu berjalan sendirian.”
Rosseane meraih tangannya, hangat. “lo nggak pernah sendirian, Thea. Tapi gue ngerti maksud lo. Ada rasa yang cuma bisa muncul setelah lo ngerasain seorang snak tidur di pelukan lo.”
Elvan menimpali dengan nada menggoda, “Cie... yang selama ini workaholic, keras kepala akhirnya kena virus baby fever juga?”
“Enggak juga,” Thea tertawa kecil. “Gue cuma... ingin tahu bagaimana rasanya dicintai tanpa syarat. Mungkin kalau punya anak, Gue bisa belajar mencintai diri sendiri lewat dia.” Ucapan itu membuat suasana sedikit hening—bukan karena canggung, tapi karena semua tahu dari mana akar kata-kata itu berasal. Masa lalu Thea yang rumit, keluarga yang tak sepenuhnya hangat, dan luka yang tak pernah benar-benar disembuhkan.
“Gue suka anak kecil. Tapi... Gue belum tahu apakah gue bisa jadi ibu yang baik.” Nada suaranya jujur, tanpa topeng.
Elenora mencondongkan tubuhnya, tatapannya lembut. “Nggak ada ibu yang langsung ahli. Kita belajar sambil jalan. Gue pun dulu takut banget, apalagi... ya lo tahu sendiri kan gue orangnya bar-bar,” katanya sambil tergelak.
“El paling bucin ke anaknya sekarang, padahal dulu dia paling males kalau disuruh gendong keponakan,” goda Charlene.
Elvan mengangkat tangan. “Gue saksi hidupnya. Dulu El kaku banget pegang bayi, kayak takut meledak.”
“Eh tapi sekarang... lihat aja,” Regan menunjuk Elenora yang refleks mengelus pelan rambut Baby El saat bayi itu menggeliat kecil dalam pelukan Elvan.
“Cinta itu ngubah segalanya,” ucap Rosseane.
Thea tersenyum, dan dalam diam ia bertanya dalam hati
'Akan seperti apa jika gue benar-benar menjadi seorang ibu kelak? Akankah gue bisa menciptakan keluarga yang hangat, tidak seperti yang pernah gue punya?'
Namun ia tak mengutarakannya. Ia hanya menatap ke arah sahabat-sahabatnya—tiga wanita yang kini bukan hanya sahabat, tapi juga ibu, istri, rumah dari seseorang.
Elenora menatapnya lembut. “lo akan jadi ibu yang luar biasa suatu hari nanti, Thea. Karena lo tahu rasanya kehilangan. Lo tahu pentingnya jadi pelindung.”
“Dan yang penting,” tambah Rosseane, “lo nggak perlu terburu-buru. Kalau saatnya tiba... Lo pasti akan tahu.”
“Dan calon daddynya juga harus seimbang ya—harus tahan banting, sabar, bisa bujuk lo kalau lagi drama,” goda Charlene, membuat semua tertawa lagi.
Regan yang sejak tadi diam, menatap Thea dengan tatapan menghargai. “Keinginan itu bukan kelemahan, Thea. Justru itu kekuatan. Karena nggak semua orang berani mengakuinya.”
Elvan melirik Elenora sambil mengusap kepala Baby El. “Kalau lo butuh pelatihan jadi orang tua, bisa magang dulu ke rumah kami.”
Elenora menepuk bahunya. “Magang beneran nanti lo digaji pake pampers.”
Tawa pun kembali memenuhi café itu. Namun di balik tawa itu, ada satu hal yang mulai tumbuh diam-diam di hati Althea, keinginan untuk membangun sesuatu yang belum pernah ia miliki—keluarga yang hangat, rumah yang penuh cinta, dan seorang anak yang bisa ia peluk tanpa rasa takut.
“BTW anak kalian lahir nyaris barengan. Dua minggu aja jaraknya!” seru Thea, terkekeh tak percaya. Ia menatap kedua keponakannya tersebut dengan tatapan penuh harap bisa seperti teman-temannya, namun ia bahkan tidak tau bagaimana awal untuk melangkah. Dirinya kini hanyalah fokus untuk dirinya sendiri dan karirnya.
Rosseane tersenyum lembut melihat dua bayi laki-laki yang tengah tertidur lalu menoleh kearah Althea. “Takdir emang nggak bisa ditebak kan?”
Regan, yang terkenal bijak dan tenang, ikut melirik Thea. “Menikah itu bukan perlombaan. Tapi kalau sudah yakin, pastikan kamu punya cukup ruang di hatimu untuk menerima—dan memberi.”
Elvan menimpali, “Dan jadi orangtua itu... ternyata lebih melelahkan daripada jadi CEO. Karena mereka itu ibarat kertas putih polos, tergantung gimana kita sebagai orang tua menorehkan tintanya dan kita adalah panutan kehidupan untuk mereka. Tidak mudah tapi... jauh lebih bermakna.” ucapnya lembut sambil melihat putra pertamanya dan putra sahabatnya yang sedang tertidur pulas distroler mereka masing-masing.
Rose menyender ke bahu Thea. “lo pasti akan nemu seseorang yang tepat, Thea. Tapi jangan buru-buru. Nggak ada gunanya jadi milik orang yang nggak pernah ngeliat lo utuh.”
Mereka mengobrol lebih lama. Tentang kolik malam hari, MPASI, vaksinasi, bahkan tentang suara tangis bayi yang bisa dibedakan dari lapar, lelah, atau hanya ingin dipeluk.
Sementara Thea hanya menyimak, merekam semuanya dalam diam. Bukan dengan iri, tapi dengan kekaguman... dan sedikit harapan.
Dan persahabatan ini... tetap satu-satunya rumah yang tak pernah menghakimi. Hari itu, di sini dengan empat orang tua muda, satu calon pengantin yang sibuk memikirkan dekorasi, dan satu perempuan yang masih mencari tempatnya sendiri... Thea merasa, mungkin, dia tak benar-benar sendiri di dunia yang berubah begitu cepat.
Thea menarik napas. Sore itu, di café milik sahabatnya, dengan suara tawa dan bayi yang tertidur di dekat mereka, ia tahu
'Rumah itu bukan sekedar tempat. Tapi orang-orang yang membuatmu merasa cukup serta dimana kamu saling memberi dan menerima cinta tanpa diminta'