Melati, hanya seorang guru honorer di sebuah sekolah elite. Namun, dia harus terjebak dengan seorang Tuan Muda yang ternyata Ayah dari anak didiknya.
Menjadi istri bayaran, bukan salah satu dari cerita yang ingin dia lalui dalam hidupnya. Ketika dia harus menikah dengan pria yang hatinya terkunci untuk sebuah cinta yang baru dan sosok baru setelah kepergian istrinya.
Namun sial, Melati malah jatuh cinta padanya. Bagaimana dia harus berjuang akan cinta yang dia miliki. Dalam pernikahan yang semu, dia harus berjuang membuka kembali hati suaminya yang sudah terkunci rapat. Namun, di saat dia benar-benar ingin berjuang dalam cinta dan pernikahannya ini. Melati, harus menyadari satu hal tentang suaminya.
"Kau tidak akan pernah ada dalam tujuan hidupku. Jadi berhenti berharap lebih!"
Melati hanya bisa diam dengan menatap punggung Zaidan yang pergi menjauh darinya setelah mengucapkan kalimat yang benar-benar menghancurkan harapan rapuh yang sedang dia perjuangkan saat ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belum Mengerti Perasaannya Sendiri
Pagi ini saat Zaidan sudah kembali memulai aktivitasnya seperti biasa. Sejak kejadian semalam, dia tidak lagi keluar kamar. Tidak menemui istrinya. Sampai pagi ini, dia melihat Melati yang sedang menyiapkan bekal untuk anaknya di meja makan. Meski Zenia menginap di rumah Delia, tapi nanti akan bertemu dengan Melati di sekolah. Jadi, Melati membuatkan bekal untuknya. Zaidan jadi ragu untuk menyapanya, melihat mata Melati yang sedikit sembab, membuatnya semakin merasa bersalah.
"Mel"
Melati sudah ingin pergi dengan membawa tas berisi bekal untuk Zenia nanti, tapi panggilan Zaidan membuatnya berhenti. Melati menoleh dan terdiam.
"Ada apa?"
"Em," Zaidan malah sulit untuk mengatakannya, padahal dia hanya ingin mengucapkan kata maaf karena kejadian kemarin. "Kau ingin pergi bareng? Biar aku antar"
"Tidak perlu, saya bisa bawa mobil sendiri. Lagian saya hanya istri bayaran, dan tidak perlu merepotkan Tuan"
Zaidan terdiam mendengar ucapan Melati barusan. Bahkan dia terkejut karena Melati yang berucap begitu ketus padanya. Setelah Melati pergi, Zaidan hanya mengusap wajah kasar.
"Aku salah karena sudah membentaknya semalam"
Suasana hatinya yang sedang tidak baik-baik saja di hari kematian istrinya, dan tiba-tiba melihat Melati ada di dalam kamarnya dan memegang figura foto milik istrinya. Yang jelas, Zaidan masih begitu melarang orang lain untuk masuk ke dalam kamarnya tanpa seizinnya, apalagi dengan memegang barang-barang yang bersangkutan dengan istrinya. Segila itu Zaidan setelah ditinggal oleh Diana.
"Diana, apa yang harus aku lakukan? Sekarang ada perasaan lain yang seolah aku jaga. Ada perasaan lain yang membuat hatiku berdebar hangat"
Zaidan masih merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Yang jelas dia tidak tahu harus melakukan apa, di saat dia bahkan tidak mengerti apa yang sebenarnya dia rasakan. Seolah memang Zaidan masih butuh waktu untuk mengerti apa yang dia rasakan saat ini.
Pergi ke Kantor dengan Ares yang menjemputnya seperti biasa. Ares yang melihat Tuannya hanya diam dengan menatap keluar jendela, cukup bingung. Ada apa dengannya? Seperti orang yang kehilangan arah tujuan saja.
"Ar, apa kau tahu bagaimana cara meminta maaf pada seseorang yang sudah tidak sengaja kita bentak? Tapi kita benar-benar tidak sengaja"
Ares terdiam, cukup terkejut dengan ucapan Zaidan barusan. Apa maksudnya tentang tidak sengaja membentak? Apa mungkin dia membentak Melati? Sialan. Gumamnya dalam hati.
"Siapa yang tidak sengaja Tuan bentak? Bahkan Tuan sering membentakku dan tidak pernah meminta maaf padaku"
"Jika tidak punya jawaban yang benar, sebaiknya tidak perlu dijawab!" tekan Zaidan dengan nada yang begitu dingin.
Ares hanya berdecak kesal, dia kembali fokus pada kemudi tanpa ingin berbicara lagi. Membiarkan Zaidan sibuk dengan pikirannya sendiri.
Lagian dia membentak siapa lagi jika bukan aku? Tapi, mungkin Melati yang dia bentak. Ah, aku harus menanyakannya langsung. Aku takut manusia ini akan melakukan kekerasan pada Melati.
Setelah sampai di Perusahaan, Ares segera masuk ke ruang kerjanya. Mengabaikan sejenak berkas yang sudah menumpuk di atas meja, dia harus menghubungi Melati dulu sekarang. Menelepon nomor ponsel Melati.
"Hallo Mel, kamu baik-baik saja 'kan?"
Melati yang baru saja akan masuk ke kelas, karena sudah waktunya dia mengajar, sedikit bingung dengan Ares yang tiba-tiba menghubunginya dan menanyakan hal seperti itu.
"Aku baik, kenapa memangnya Kak?"
"Tuan Zaidan tidak melakukan apapun padamu? Apa dia menyakitimu? Dia tidak melakukan kekerasan padamu 'kan? Kalau sampai dia lakukan, beritahu aku"
Melati tersenyum tipis, masih ada debaran kecil di hatinya saat mendapatkan perhatian seperti ini dari Ares. Dia memang tidak menyiksa aku secara fisik, tapi menyakiti hatiku dengan kata-katanya. Hiks.
"Tidak Kak, Tuan Zaidan tidak melakukan apapun. Aku juga baik-baik saja. Kak Ares tidak perlu khawatir"
Terdengar helaan nafas lega di sebrang sana. "Baguslah, kalau ada apa-apa bilang saja padaku. Dan ... bersabarlah Mel, sudah hampir 1 bulan. Dan aku yakin kamu akan kuat menjalaninya"
Dan semoga kau bisa bertahan bukan hanya satu tahun saja. Semoga bisa membuka hatinya yang terkunci.
Begitulah harapan Ares dalam hatinya. Melati sudah seperti adik baginya, dan Zaidan juga sudah seperti saudara. Meski terkadang menyebalkan, tapi Ares juga mempunyai rasa peduli padanya. Bagaimana dia yang menyaksikan kehancuran Zaidan dalam hidupnya.
"Iya Kak, terima kasih karena selalu ada. Aku pergi dulu, sudah sampai kelas"
"Iya Mel"
*
Jam istirahat, Melati memberikan bekal yang dia bawa untuk Zenia. Anak itu terlihat sangat senang. Mereka duduk di kelas saja, tidak keluar.
"Makan disini saja ya" ucap Melati.
"Iya Bu"
Melati membuka bekal makanan yang dia bawa untuk anaknya ini. Melati mengelap bibir Zenia yang belepotan karena memakan roti lapis coklat yang dia bawa.
"Zen, hari ini pulang ke rumah 'kan? Ibu kesepian tahu karena Zen tinggal di rumah Tante terus"
Zenia mengangguk dengan lucu, membuat Melati tersenyum gemas. "Tapi kata Tante Del, hari ini kita akan pergi jalan-jalan. Ibu ikut ya, sama adik Raya juga"
Melati mengangguk, mungkin dia juga butuh sebuah hiburan untuk menenangkan hatinya yang msih terasa tidak nyaman sejak kejadian tadi malam.
"Boleh"
Dan setelah pulang sekolah, Delia benar benar datang dengan diantar oleh sopir. Anak perempuan berusia hampir 2 tahun itu berada dalam gendongan.
"Hallo Mel, jadi ikut dengan kita? Ayolah sesekali kita perlu jalan-jalan biar gak jenuh"
"Iya Kak. Em, Kakak bareng aku aja. Aku bawa mobil, biar nanti diantar kembali sampai rumah"
"Ah begitu, baiklah. Pak bisa pulang saja sekarang, aku pergi dengan Melati saja"
"Baik Nona"
Dan mereka pun pergi dengan Melati yang mengemudi. Zenia sudah sangat senang dengan bermain dengan Raya di kursi belakang.
"Maaf ya Mel, malah seperti menjadikanmu sopir. Abis anak-anak disini juga takut jatuh, apalagi Raya"
"Gak papa Kak, lagian Zen juga senang sekali dengan Raya"
"Iya Mel, dia sudah senang dengan Raya sejak dia dalam kandungan. Selalu bilang tidak sabar ingin melihat adik bayi"
"Haha. Iya Kak, mungkin Zen kesepian dan ingin punya adik" Ish, apa yang aku katakan. Ayolah Mel, kenapa mengatakan hal sembarangan seperti itu.
"Kalau begitu, kenapa tidak cepat-cepat saja, Mel. Lagian Zen juga sudah besar"
Melati hanya tersenyum, dia terjebak dengan ucapannya sendiri. Seharusnya tidak mengucapkan hal itu. Karena mana mungkin dia bisa memberikan adik pada Zenia.
"Oh ya Mel, aku dengar dari Zen, jika kamu tidak tidur di satu kamar?"
Deg ... Melati terdiam, dia harus berkata apa sekarang?
Bersambung
nextttt thor.....