Malam tragis, telah merenggut masa depan Zoya. Menyisakan trauma mendalam, yang memisahkannya dari keluarga dan cinta.
Zoya, mengasingkan diri yang kembali dengan dua anak kembarnya, anak rahasia yang belum terungkap siapa ayahnya. Namun, siapa sangka mereka di pertemukan dengan sosok pria yang di yakini ayah mereka?
Siapakah ayah mereka?
Akankah pria itu mengakuinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini ratna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Zayden dan Zayda
"SATU ... DUA ... SATU ... DUA!"
Seruan tegas dari para pasukan perwira sudah menjadi bahan tontonan setiap hari bagi si kecil Zayden dan Zayda. Hal pertama yang dilihatnya adalah para prajurit yang berlatih kebugaran di pagi hari. Mereka akan duduk di atas balkon kamarnya, sambil mengunyah roti panggangnya.
"Zayda, coba kamu perhatikan apa ada yang mirip denganku di antara mereka?" Perintah Zayden, dengan mulut bergoyang.
"Sebentar aku sedang mengamatinya," balas Zayda, si gadis kecil berambut ikal yang selalu mengawasi para prajurit dengan seteropong kecilnya.
Besar di lingkungan keras yang penuh dengan tantangan membuat mereka melakukan semua tingkah para prajurit yang sedang berlatih. Seteropong salah satunya untuk melihat musuh dari kejauhan.
"Berikan padaku! Kau sangat lamban." Zayden merampas paksa benda kecil itu dari tangan adiknya.
"Hei, itu milikku!" protes Zayda, dengan mimik wajah ngambeknya.
Zayden tidak peduli yang terus memperhatikan beberapa prajurit di bawah sana. Siapa sangka seteropong kecilnya menangkap satu sosok perwira tampan, dengan tubuh tegak, yang berdiri seolah sedang menatapnya. Matanya menatap tajam, diikuti jari telunjuk yang menunjuk ke arahnya.
Zayden merasa terancam.
"Zayden ada apa denganmu?" tanya Zayda pada Zayden yang tiba-tiba menurunkan seteropongnya. "Kau melihat sesuatu?" Zayda ingin mengambil alih seteropong tapi ditahan Zayden.
"Jangan! Kita terancam, musuh menyadari keberadaan kita." Ocehan Zayden si bocah yang baru berusia 7 tahun.
"Lebih baik kita masuk, ayo!" ajak Zayden, menarik tangan sang adik untuk memasuki kamarnya.
Sementara di bawah sana, seorang perwira berpangkat Letnan Kolonel menggeleng, lalu berbalik ke arah prajurit yang sedang menertawainya.
"Kita dimatai anak kecil? Apa dia mata-mata?" tanya salah satu dari mereka.
"Dia hanya anak kecil, bukan musuh. Mungkin dia mengagumi salah satu di antara kita," ujar Letnan Kolonel Ardian, seketika bawahannya tertawa.
"Apa ada yang menghamili seorang gadis di sini? Sehingga mereka mencari ayahnya."
Celotehan lucu membuat mata sang Letnan melotot, seketika tawa renyah mereka pun hilang.
"Maaf, Letnan."
"Bercanda kalian tidak lucu. Cepat pergi dan bersiap-siaplah untuk latihan," tegas Ardian.
"SIAP LAKSANAKAN!" Serempak semua prajurit diiringi gerakan hormat. Seketika barisan pun bubar.
Ardian termenung, dia berbalik menatap ke atas balkon tempat anak-anak tadi. Seketika, wajahnya menjadi serius seolah sedang memikirkan hal lain. Nafasnya berhembus berat, Ardian langsung meninggalkan lapangan.
***
"Assalamu'alaikum! Selamat pagi anak-anak Mama pulang!"
"Mama!"
Zayden dan Zayda berlari menghambur ke arah ibu mereka yang baru pulang dinas. Seorang Dokter muda dari tanah air yang rela tinggal sendiri di negeri orang yang penuh dengan konflik.
Dialah Keysha Qiana Zoya. Zoya, yang dulu seorang perawat kini menjadi dokter hebat di negara orang setelah mengasingkan diri delapan tahun lalu. Tragedi malam itu menyisakan trauma yang mendalam, kehilangan kehormatan dan kehilangan kepercayaan membuat Zoya harus pergi ke tempat dimana dunia tidak mengenalnya. Beruntung saat itu, seseorang membawanya pergi ke tanah timur sebagai relawan medis yang membantu para korban perang pada masanya.
Setelah mencoba untuk damai dengan masa yang sulit Zoya, harus mendengar kabar pahit dari seorang dokter bahwa dirinya tengah hamil saat itu. Bukannya melupakan, Zoya malah semakin terikat dengan pria asing yang baru m*m*rkosanya waktu itu. Kenapa Tuhan menumbuhkan janin dalam rahimnya, apa harus dia hidup sendirian membesarkan anak yang dikandung tanpa tahu siapa ayahnya.
Sulit bagi Zoya memilih antara mempertahankan dan menggugurkan. Hidupnya semakin kacau, bahkan Zoya hampir hilang akal untuk melakukan bunuh diri. Tapi Tuhan berkehendak lain, orang-orang yang hadir di sekelilingnya saat itu adalah orang-orang hebat, yang sayang dan mendukungnya sehingga Zoya punya kekuatan untuk membesarkan kedua anak kembarnya.
"Mama kemarilah!" Zayden menarik tangan Zoya menuju meja makan.
"Ada apa? Apa kalian melakukan penyelidikan lagi?" tanya Zoya dibumbui dengan sedikit candaan.
Zoya, tahu apa yang dilakukan kedua anaknya, Zayden sangat terinspirasi pada prajurit hingga membuatnya selalu melakukan hal baru_mengikuti cara mereka. Namun, Zoya tidak pernah melarang, bahkan saking geniusnya mereka pernah melakukan eksperimen konyol, yang mengakses sistem rumah sakit secara ilegal_termasuk alasan Zoya yang tidak pernah lagi mengajak kedua anaknya ke rumah sakit.
"Mama, minumlah dulu." Zayda memberikan segelas air putih pada ibunya. Zoya, menerima yang langsung meneguknya.
"Mama, aku menyerah! Sebaiknya katakan sekarang apa ada ayah kita di antara mereka?"
"Uhuk!"
Sontak, Zoya tersedak. Dia terbelalak menatap Zayden. Sedangkan Zayda gadis itu hanya menepuk jidatnya sambil menggeleng.
"Zayden sudah Mama katakan jangan mencari papa."
"Sampai kapan Mama?"
"Pokoknya jangan pernah MENCARInya!" tegas Zoya, seketika suasana menjadi hening.
Zoya, seakan menekankan kepada Zayden untuk tidak mencari ayahnya lagi. Tapi Zayden, bersikeras bahkan bentakan barusan tidak membuatnya diam.
"Mama ... ucapkanlah dengan pelan, aku dan Zayda akan mengerti." Zayden melembutkan perkataannya kali ini. "Apa papa sedang melakukan misi rahasia dan dia khawatir pada kita sehingga merahasiakan keberadaannya," lirih Zayden sedikit berbisik.
Zayda jadi penasaran, yang siap menajamkan pendengarannya dengan benar.
"Mama apa yang Zayden katakan itu benar?" lirihnya hampir tak terdengar.
Zoya menghela nafas lantas bicara. "Ini untuk terakhir kalinya kalian bertanya hal yang sama dan aku akan bertanya juga jadi jawablah dengan cepat. APA KALIAN TIDAK BAHAGIA HANYA TINGGAL DENGAN SEORANG IBU SAJA?"
"K-kami ... Tentu kami bahagia."
"Ok. Kalau begitu, jangan pernah menanyakan hal itu lagi karena kalian hanya punya ibu."
Zoya, langsung pergi menuju kamarnya meninggalkan kedua anaknya yang masih terdiam mencerna ucapannya. Zayda dan Zayden saling menatap.
"Sudah aku bilang jangan terburu-buru. Mama jadi marah, kan." Kata Zayda dengan amarah.
"Tapi sampai kapan? Padahal aku sudah menduga jika perwira tadi adalah ayah kita," lirih Zayden dengan mimik wajah sedihnya.
"Perwira yang mana?" tanya Zayda penasaran.
"Sudahlah, aku tidak ingin membahasnya. Lebih baik aku keluar dan bertemu dengannya." Zayden berjalan dengan ekspresi yang murung.
"Hei, kau mau bertemu siapa?" tanya Zayda, yang diam sejenak seolah berpikir siapa yang akan Zayden temui. Sektika bola matanya membulat, "MAMA!"
***
Lagi-lagi Zayden pergi ke markas militer, bocah itu duduk manis di atas tembok pembatas yang dikelilingi kawat. Entah, bagaimana cara dia naik. Kedua tangan bersidekap dengan sepasang mata yang fokus menatap ke arah Ardian yang sedang melatih para perwira.
"ISTIRAHAT DI TEMPAT GERAK!" Serempak para prajurit menyimpan kedua tangan mereka di belakang punggungnya.
"BUBAR JALAN!" tegas Ardian, membubarkan barisan.
Ardian ternyata menyadari tatapan Zayden, sehingga menghentikan latihannya. Ardian melirik dengan mata elangnya, lantas berjalan ke arah Zayden, bocah kecil yang duduk dengan tenang sambil mengunyah permen karetnya.
"Kamu mengagumi kami?" tanya Ardian setelah mendekat, Zayden hanya menggeleng.
"Siapa namamu? Kenapa kau ada di sini dan selalu memperhatikan kami."
"Aku punya mata terserah aku mau menatap siapa." Jawaban yang tidak pernah Ardian duga.
Ardian tersenyum kecut. "Bocah ini pintar juga," lirihnya.
"Hai, bocah bagaimana cara kau sampai di dinding pembatas? Kau tidak tahu banyak ranjau di sini dan kau bisa saja mati karena menginjaknya," ujar Ardian kesal.
"Astaga ... Kenapa aku mengatakan hal yang tidak akan dimengerti olehnya," lirih Ardian.
"Siapa bilang, aku tahu maksud perkataanmu." Zayden mempertegas jika dia bukan bocah sembarangan.
Zayden berdiri sambil berkacak pinggang. "Aku bukan bocah, namaku Zayden!" tegasnya membuat Ardian terkekeh.
"Aku disini untuk mencari ayahku!"
"Ayah?" Ardian mengerutkan kening. "Siapa nama ayahmu?"
"Namanya Hm ....." Zayden kebingungan, jari telunjuknya terus mengetuk-ngetuk bawah dagu sambil melirik sekitar.
"Zayden!" Tiba-tiba suara Zoya terdengar, Zayden langsung berbalik ke arah ibu dan adiknya.
"Mama ...," lirihnya menggerakkan sepasang mata Ardian untuk melihat ibu bocah itu.
...----------------...
TBC .....
Ya Allah, semoga kembar gak akan kenapa-napa...
up LG nnti thor
Pak Letnan, yang pintar kenapa sih gak liat itu anak-anak ada kemiripan gak sama dia, dan tas DNA. Apalagi punya rumah sakit sendiri... Gereget aku...