Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resep Nasi Goreng
Sempurna... untuk digoreng.
Kata-kata itu bukan sekadar pemikiran; ia adalah percikan api di gudang mesiu yang kering, sebuah bisikan suci di tengah katedral keheningan yang menyesakkan. Malam di Dapur Kekaisaran bukanlah ketiadaan cahaya, melainkan kehadiran kegelapan yang pekat dan hidup.
Udara dingin merayap di atas lantai batu, membawa serta aroma samar dari air bersih dan sayuran yang telah dilucuti jiwanya. Di barak pelayan yang sesak, napas-napas teratur dari puluhan tubuh yang lelah menciptakan ritme monoton, sebuah lagu pengantar tidur bagi mereka yang telah menyerah.
Namun, Han Qiu tidak bisa tidur. Jiwanya, yang baru saja disulut oleh janji sebutir beras kering, kini bergejolak laksana wajan yang dipanaskan. Kerinduan akan rumah sebuah konsep yang kini terasa begitu abstrak dan menyakitkan itu kini menjelma menjadi rasa lapar yang lebih dari sekadar fisik.
Ini adalah kelaparan akan identitas, akan kehangatan, akan suara berisik kehidupan yang telah direnggut darinya. Ia lapar akan aroma gosong yang biasa di rasakan oleh lidah nya.
Dengan gerakan yang lebih senyap dari seekor kucing yang berburu di malam hari, ia menyelinap dari dipannya yang keras. Kakinya yang telanjang tidak menimbulkan suara sedikit pun di atas lantai kayu yang dingin.
Ia membawa serta dua hartanya yang paling berharga: sekantong kecil beras sisa yang ia sembunyikan di dalam lipatan bajunya dan sepotong lemak babi yang terbungkus kain, kini terasa seperti jimat dingin yang menempel di kulitnya.
Dapur utama adalah sebuah negeri raksasa yang tertidur, dipenuhi bayangan-bayangan monster logam dan porselen. Cahaya bulan yang pucat menyusup masuk melalui jendela-jendela tinggi, melukis garis perak di atas meja kerja yang kosong dan tungku arang yang dingin.
Han Qiu tidak menuju ke sana. Instingnya membawanya ke sebuah sudut yang terlupakan di dekat area pencucian, tempat sebuah tungku kecil dari tanah liat berdiri, biasanya digunakan untuk merebus air bagi para pelayan rendahan.
Tungku itu terisolasi, terlindung oleh dinding tebal, sebuah panggung yang sempurna untuk kejahatan kulinernya.
Oke, Han Qiu, mari kita lakukan inventarisasi ulang, bisiknya pada diri sendiri, napasnya membentuk awan tipis di udara dingin.
Beras, cek. Lemak, cek. Api... bisa diatur. Sekarang, bumbu. Sebuah nasi goreng tanpa bawang putih adalah penghinaan terhadap leluhur.
Ia teringat pada tarian panik para pelayan saat inspeksi Chef Gao. Ia ingat di mana koki tua yang gemetar itu menyembunyikan guci kecil berisi bawang putih yang sudah dikupas. Di balik tumpukan kayu bakar yang paling rapi.
Dengan jantung berdebar, ia mendekati tumpukan itu, merogoh celah yang ia ingat dengan tangannya yang ramping. Jari-jarinya menyentuh permukaan keramik yang dingin dan halus. Kena. Ia mengambil dua siung, terasa padat dan penuh janji di telapak tangannya.
Lalu, garam. Itu mudah didapat, meski hanya garam paling murni yang diizinkan. Tapi ada satu lagi. Sesuatu yang akan mengangkat hidangan ini dari sekadar enak menjadi sebuah kenangan.
Kecap. Atau setidaknya, sesuatu yang menyerupainya. Ia ingat seorang pelayan wanita menyelipkan sebuah botol porselen kecil berwarna gelap ke dalam sebuah karung gandum kosong. Ia tidak tahu pasti isinya, tetapi aromanya yang samar saat disembunyikan memberinya petunjuk.
Mungkin kecap ikan, atau cuka hitam. Apa pun itu, itu adalah rasa yang dilarang. Sebuah risiko yang harus ia ambil.
Ia menemukan karung itu, dan benar saja, botol kecil itu ada di sana. Ia membukanya sedikit, mengendusnya. Aroma asin yang tajam dan sedikit amis menyeruak.
Kecap ikan.
Jackpot!
Dengan semua amunisinya terkumpul, ia kembali ke tungku kecilnya. Ia menyalakan api dengan hati-hati, menggunakan arang sisa dan menyulutnya dengan batu api, menutupi percikan awalnya dengan tubuhnya agar tidak terlihat.
Ia menjaga apinya tetap kecil, sebuah bara merah yang berdenyut-denyut, bukan lidah api yang menjilat-jilat liar. Asapnya kecil, nyaris tidak terlihat.
Ia mengambil sebuah wajan besi tua yang tergeletak di dekat sana sebuah wajan yang sudah penyok dan diabaikan, dianggap tidak layak untuk dapur suci Chef Gao. Bagi Han Qiu, wajan ini sempurna.
Ia meletakkannya di atas bara. Saat wajan mulai panas, ia melemparkan potongan lemak babi itu.
Cessss...
Suara itu, desisan lembut dari lemak yang bertemu panas, adalah musik paling indah yang pernah didengarnya. Lemak putih padat itu mulai meleleh, berkeringat, lalu berubah menjadi emas cair yang menghujat semua prinsip kemurnian di istana ini.
Aroma gurih yang kaya mulai menguar, sebuah parfum dosa yang meliuk-liuk di udara, menantang aroma steril yang selama ini berkuasa. Potongan kulit babi yang tersisa menjadi garing dan cokelat keemasan—kriuk—ia menyisihkannya, sebuah bonus dari surga.
Kemudian, bawang putih yang telah ia geprek dengan gagang pisaunya. Saat menyentuh minyak panas, sebuah ledakan aroma terjadi. Wangi yang tajam, pedas, dan begitu hidup. Han Qiu memejamkan matanya sejenak, menghirupnya dalam-dalam.
Ini adalah aroma rumah. Aroma kehidupan. Aroma yang membuktikan bahwa ia masih ada, bahwa Han Qiu belum sepenuhnya lenyap ditelan oleh Xiao Lu.
Terakhir, sang bintang utama: beras. Butiran-butiran kering itu ia tuangkan ke dalam wajan.
Tek... tek... tek-tek-tek...
Spatula kayunya menari, memisahkan setiap butir nasi, melapisi mereka dengan minyak babi yang harum. Suara itu adalah detak jantung pemberontakan, sebuah ritme rahasia yang ia ciptakan di jantung pertahanan musuh.
Nasi itu melompat-lompat, tidak lengket, persis seperti yang ia bayangkan. Ia menambahkan sedikit garam, lalu beberapa tetes kecap ikan terlarang itu. Wajan itu mendesis lagi, lebih keras, saat kecap ikan menguap dan melapisi nasi dengan lapisan rasa umami yang dalam.
Warnanya berubah menjadi sedikit keemasan, diselingi bintik-bintik bawang putih.
Sialan, baunya terlalu enak. Terlalu kentara, pikirnya panik, tetapi ia tidak bisa berhenti.
Ia memasukkan kembali kriuk kulit babi tadi, mengaduknya sekali lagi, lalu dengan cepat mengangkat wajan dari api. Nasi goreng perdananya telah lahir. Disajikan di atas sebuah mangkuk retak yang ia temukan, hidangan itu mungkin terlihat sederhana, tetapi bagi Han Qiu, itu adalah sebuah mahakarya. Sebuah monumen bagi kenangan.
Ia tidak makan di sana. Terlalu berisiko. Sambil membawa mangkuk panas itu, ia menyelinap kembali ke sudut paling gelap di gudang beras, tempat ia menemukan tempat yang di rasa aman untuk melalukan sesuatau yang mungkin akan dianggap sebuah kejahatan yang nyata.
Di sana, di antara karung-karung goni yang berbau apek, ia duduk dan mengambil suapan pertamanya.
Dunia berhenti berputar.
Rasa gurih dari minyak babi, wangi tajam bawang putih, asinnya kecap ikan, dan tekstur renyah dari nasi yang terpisah sempurna berpadu di mulutnya. Ini bukan sekadar makanan. Ini adalah mesin waktu.
Setiap kunyahan membawanya kembali ke jalanan kota modern yang ramai, ke warung kaki lima di bawah lampu neon yang berkedip, ke suara tawa teman-temannya.
Air mata mengalir di pipinya tanpa ia sadari. Ia menangis bukan karena sedih, tetapi karena ia menemukan sepotong jiwanya yang hilang. Ia makan dengan cepat, dengan lahap, seolah takut momen ini akan direnggut darinya.
Setelah mangkuk itu kosong, kenyataan kembali menghantamnya seperti gelombang air es. Bukti. Ia harus menghilangkan semua jejak.
Ia bergegas kembali ke tungku kecil itu. Bara apinya sudah hampir padam. Bagus. Ia menuangkan sisa air cucian sayur ke atasnya hingga benar-benar mati. Ia mencuci mangkuk dan spatulanya dengan abu gosok hingga bersih berkilau, mengembalikannya persis ke tempat semula.
Ia menyembunyikan kembali botol kecap ikan dan sisa bawang putihnya.
Tinggal satu hal terakhir dan yang paling penting: wajan besi itu. Aroma nasi goreng menempel kuat di permukaannya. Ia membawanya ke bak pencucian, mengisinya dengan air dan pasir kasar, lalu mulai menggosok dengan sekuat tenaga.
Ia menggosok dan membilas, menggosok dan membilas, hingga bau harum itu memudar, digantikan oleh bau logam yang netral. Napasnya terengah-engah, keringat membasahi pelipisnya. Fajar akan segera tiba. Ia harus bergegas.
Setelah merasa puas, ia mengangkat wajan itu untuk melakukan pemeriksaan terakhir di bawah cahaya bulan yang mulai redup. Permukaannya tampak bersih. Tidak ada sisa minyak, tidak ada jejak makanan. Ia hampir menghela napas lega.
Tetapi kemudian, matanya menangkapnya.
Di dasar wajan, dekat dengan tepiannya yang melengkung, menempel sebuah titik hitam kecil yang keras kepala. Titik yang lebih kecil dari kuku kelingkingnya, tetapi lebih gelap dari malam itu sendiri. Sebuah tato pengkhianatan yang tercetak di atas logam.
Kerak.
Jantung Han Qiu serasa berhenti berdetak. Itu adalah sisa dari butiran nasi yang menempel terlalu lama, terkaramelisasi oleh kecap ikan dan panas yang ganas. Itu adalah fosil dari kejahatannya, sebuah bukti bisu yang menjeritkan kebenaran.
Dengan jari gemetar, ia mencoba mengoreknya. Keras seperti batu. Ia mengambil sepotong bambu tajam, menggosoknya dengan panik. Serpihan kecil terlepas, tetapi sebagian besar tetap menempel, seolah telah menyatu dengan wajan itu sendiri.
Tidak, tidak, tidak! Lepas! jeritnya dalam hati, kepanikannya meningkat menjadi teror yang dingin.
Di kejauhan, ia mendengar suara kokok ayam jantan pertama, memecah keheningan fajar. Langkah kaki. Ia mendengar suara langkah kaki yang teratur dan tidak tergesa-gesa mendekat dari arah koridor utama.