Shaqila Ardhani Vriskha, mahasiswi tingkat akhir yang sedang berada di ujung kewarasan.
Enam belas kali skripsinya ditolak oleh satu-satunya makhluk di kampus yang menurutnya tidak punya hati yaitu Reyhan Adiyasa, M.M.
Dosen killer berumur 34 tahun yang selalu tampil dingin, tegas, dan… menyebalkan.
Di saat Shaqila nyaris menyerah dan orang tuanya terus menekan agar ia lulus tahun ini,
pria dingin itu justru mengajukan sebuah ide gila yang tak pernah Shaqila bayangkan sebelumnya.
Kontrak pernikahan selama satu tahun.
Antara skripsi yang tak kunjung selesai, tekanan keluarga, dan ide gila yang bisa mengubah hidupnya…
Mampukah Shaqila menolak? Atau justru terjebak semakin dalam pada sosok dosen yang paling ingin ia hindari?
Semuanya akan dijawab dalam cerita ini.
Jangan lupa like, vote, komen dan bintang limanya ya guys.
Agar author semakin semangat berkarya 🤗🤗💐
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rezqhi Amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nikah kontrak?
Ruang bimbingan sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Shaqila berdiri ragu di depan pintu sebelum mengetuk. Jantungnya berdebar seperti biasa, setiap bertemu dosen pembimbingnya tubuhnya seperti bersiap menghadapi badai.
"Masuk!" suara berat itu terdengar datar, tanpa emosi.
Shaqila membuka pintu. Reyhan duduk di belakang meja, namun kali ini berbeda. Bahunya menegang, alisnya mengerut, dan tatapannya tidak tertuju pada laptop atau berkas di depannya. Ia menatap kosong ke arah jendela seakan pikirannya berada di tempat yang sangat jauh.
"Pak… saya mau mengajukan revisi yang kemarin," ucap Shaqila hati-hati.
Reyhan tidak menjawab.
Shaqila berkedip. Biasanya pria itu akan mengambil mapnya, membuka halaman pertama, dan menyerangnya dengan kritik. Namun kali ini ia tidak bergerak sama sekali.
"Pak?" Shaqila memanggil lagi.
Lebih pelan,
Lebih gugup.
Reyhan akhirnya menoleh, tapi lambat. Seakan ia butuh beberapa detik untuk kembali ke dunia nyata.
"Oh." Ia mengusap wajahnya, menghembuskan nafas panjang. "Kamu sudah selesai revisinya?"
"I-iya, Pak." Shaqila mengulurkan map itu.
Namun tangan Reyhan tidak langsung mengambilnya. Matanya justru menatap Shaqila… seperti sedang menimbang sesuatu.
Shaqila menelan ludah. "Apa… ba-bapak baik-baik saja?"
Reyhan tidak menjawab. Ia bersandar ke kursinya, lalu tiba-tiba bangkit dan berjalan ke arah jendela. Tangannya menggenggam lengan sendiri, rahangnya mengeras, bahkan dari jauh Shaqila bisa melihat betapa tegang tubuh pria itu.
Reyhan tidak pernah seperti ini. Tidak pernah kehilangan fokus. Tidak pernah diam terlalu lama.
"Pak, kalau belum bisa periksa sekarang, saya—
Reyhan memotong cepat, suaranya dingin namun gemetar halus. "Kita harus menikah!"
Tapi ia tidak bergerak menghampiri meja. Ia tetap di jendela.
Shaqila yang mendengar itu syok. Ia membelalakkan matanya.
Reyhan memejamkan mata. Wajah dinginnya sedikit terkelupas, memperlihatkan serpihan kelelahan dan… tekanan.
Shaqila membuka mulut, tapi tidak tahu harus berkata apa.
“Orang tua saya ingin saya segera menikah, sementara saya belum siap hal itu," tambah Reyhan. "Dan jika saya tidak punya calon sendiri, mereka… akan menikahkan saya dengan pilihan mereka."
Nada suaranya penuh kekesalan yang ditekan habis-habisan.
Shaqila memegang mapnya erat. "Terus hubungannya sama saya apa pak, saya cuma ingin skripsi saya selesai. Saya tidak mau ikut campur dalam kehidupan pribadi anda,"
Reyhan tersenyum sinis, senyum pahit yang hanya muncul ketika seseorang sedang kalah perang tanpa pilihan. "Kita harus nikah kontrak agar mereka berhenti meneror saya tentang pernikahan. Sebagai imbalannya saya akan memastikanmu lulus dengan nilai yang layak," tawar dosen itu.
Shaqila terdiam.
Imbalan itu cukup menarik ditelinganya, namun nikah kontrak apa ia harus menyetujui.
Reyhan menghembuskan nafas keras, seperti mencoba membuang sesuatu yang mengganggu dadanya. "Kita akan menikah selama setahun. Setelah itu kita akan cerai. Kita bisa mengatakan bahwa kita tidak cocok atau ada konflik lain saat hari itu tiba. Dan sudah dipastikan saat itu kau telah menjadi sarjana."
Shaqila menggigit bibir. “Tapi… umur kita terpaut jauh."
"Berapa usiamu?" tanya Reyhan datar.
"Dua puluh tiga tahun pak," lirih Shaqila.
"Umur hanyalah angka, lagi pula kita hanya selisih dua belas tahun. Di luar sana masih banyak orang yang beda puluhan tahun menikah," ucap Reyhan.
Saat itu dosen itu menoleh.
Tatapannya, tatapan yang membuat Shaqila merasa jantungnya jatuh.
Ia menatap Shaqila dalam-dalam. "Dan kamu tidak punya banyak pilihan jika ingin lulus. Kertas itu tidak akan saya periksa sekarang, karena saya yakin hasilnya tetap tidak layak.
Shaqila merasakan bulu kuduknya meremang. Ruangan tiba-tiba terasa lebih sempit.
"Pak?" suaranya bergetar.
Reyhan berjalan perlahan mendekat. Setiap langkah terdengar seperti detak jam menghitung sesuatu yang besar. Ia berhenti tepat di depan meja, menatap Shaqila dengan cara yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya lebih intens, dan tajam.
"Kalau kamu menolak tawaran saya, saya bisa pastikan kamu akan mengulang tahun depan!" Reyhan menunduk sebentar, kemudian kembali menatap Shaqila. "Dan orang tuamu tentu sangat kecewa." lanjutnya dengan senyum sinis.
Shaqila menelan ludah.
"Saya pernah tidak sengaja bertemu etemu dengan mereka di jalan. Saat itu saya menolong mereka karena mobilnya mogok. Saat mereka tahu bahwa saya dosen pembimbing kamu, mereka sangat heboh, sangat antusias, dan mengatakan kepada saya ingin kamu lulus tahun ini," ucap Reyhan dengan dingin seraya menatap Shaqila tajam.
Shaqila semakin syok dengan hal itu.
Seluruh tubuhnya terasa dingin, seperti darahnya berhenti mengalir.
Reyhan tidak sedang bercanda.
Dari cara berdirinya.
Cara tatapannya menusuk tanpa kedip.
Cara suaranya meresap seperti ancaman yang dibungkus logika.
"Pak… Anda nggak bisa—"! suara Shaqila pecah, setengah tersedak.
Reyhan mengangkat satu alis, pelan, dingin, "Saya tidak memberimu pilihan."
Ia berjalan ke meja, kemudian menarik kursi dan duduk. Tapi posisi duduknya tidak seperti dosen yang akan membimbing mahasiswa. Lebih seperti seseorang yang sedang memberi ultimatum.
"Duduk!" perintahnya.
Shaqila gemetar, menarik kursi perlahan dan duduk. Map revisinya masih ia peluk seperti tameng tipis yang tidak akan menyelamatkannya.
"Ini cukup menguntungkan mu Shaqila." Reyhan memulai, menautkan jari-jarinya di atas meja. "Saya tidak bermaksud lain, saya hanya ingin bebas dari tekanan orang tua saya,"
Shaqila mengalihkan pandangan, hatinya berdebar semakin keras. "Lalu kenapa saya…?"
"Spontan, kamu ada dihadapan saya saat saya sedang memikirkan solusi atas masalah ini," jawab Reyhan cepat, tanpa ragu.
"Semuanya bersifat kontrak. Rasional. Praktis."
"Hanya status suami istri yang dibutuhkan. Perasaan, cinta, kebutuhan biologis itu tidak ada dan tidak boleh terjadi. Setelah satu pernikahan kita akan cerai dan kamu bisa kembali ke kehidupan mu yang dulu tapi kali ini kamu kembali dengan gelar sarjana."
Reyhan mencondongkan tubuh ke depan.
Shaqila ingin marah, ingin berdiri dan pergi. Tapi kakinya tidak bergerak. Kata-kata Reyhan mengenai orang tuanya menghantam tepat sasaran. Ia ingat wajah orang tuanya yang sangat berharap agar ia lulus tahun ini.
"Saya akan membuatkan kontraknya. Legal, tertulis hitam di atas putih lengkap dengan materai . Selama masa pernikahan, kamu tetap bisa menjalani hidupmu seperti biasa. Tidak akan ada syarat yang melewati batas."
"Dan satu lagi, pihak kampus dan mahasiswa disini jangan sampai ada yang tahu. Termasuk teman dekatmu. Saya malu memiliki istri yang otaknya dangkal," ucap Reyhan tanpa merasa bersalah.
Shaqila sedikit tersinggung mendengar ucapan yang terkesan seperti ejekan dari mulut dosennya itu. Namun ia tidak berani membuat apa-apa saat ini.
Akhirnya Reyhan berdiri lagi. Ia memutar badan, kembali berdiri di depan Shaqila. Tapi kali ini dia menunduk sedikit, menatap dari jarak yang membuat Shaqila menahan nafas.
Ia mengambil map revisi Shaqila dari genggaman gadis itu.
Namun bukan untuk diperiksa.
Melainkan hanya untuk menepuk bagian atasnya dengan ujung jarinya.
Shaqila menatap map itu seakan itu adalah kunci penjara sekaligus jalan keluar.
Reyhan melangkah ke pintu, membuka sedikit, isyarat bahwa bimbingan selesai.
Shaqila berdiri, lututnya terasa lemas. Saat ia lewat, Reyhan masih memegang pintu.
Gadis itu menggigit bibirnya keras-keras, menahan ketakutan.
Reyhan keluar,
Pintu tertutup.
Dan akhirnya nafas Shaqila pecah, panas, cepat, tidak teratur, seakan ia baru saja lolos dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang bisa ia pahami.
Pilihan yang seharusnya sederhana 'lulus atau tidak' tiba-tiba berubah menjadi pertaruhan hidup.
Hai hai hai guys,
Kembali lagi bersama author hehehe 😂😂
Ada yang kesel sama Reyhan nggak?
Author aja kesel banget nih, mentang mentang dosen jadi seenaknya kan.
Seperti biasa jangan lupa like dan komen ya guys 🤗🤗
See you next part 😉😉
tapi bener juga sih instruksi dan kata-kata tajamnya itu.. skripsi itu mengerti apa yang dikerjakan😌