Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 5
Mobil sedan hitam melaju tenang membelah jalanan kota Makassar malam itu. Di balik kemudinya, Ustadz Damar terlihat tenang di luar, namun batinnya bergemuruh tak karuan. Ia mengenakan kemeja putih bersih dan sorban hitam melingkar rapi di leher. Wajahnya teduh, namun sorot matanya penuh tanya.
"Ya Allah… jika ini benar jalannya, mudahkanlah. Jika ini hanya cobaan, maka kuatkanlah," lirihnya pelan, kedua tangannya sempat menggenggam setir kuat-kuat sebelum akhirnya kembali tenang.
Ia menuju sebuah kafe tempat di mana seorang perempuan muda yang selama ini menjadi buah bibir dan bahan gunjingan para penghuni pesantren akan ia temui Kia Eveline Kazehaya.
Cucu tunggal pewaris kerajaan bisnis keluarga Kazehaya. Berusia 22 tahun. Rambut dicat highlight merah, telinga ditindik lebih dari satu, dan pakaian yang jauh dari kesan ‘layak’ di mata masyarakat religius. Ia adalah pelatih taekwondo, jago karate, dan hobi balapan motor liar. Salat tak pernah, mengaji apalagi. Hijab? Jangankan hijab, ke masjid saja belum tentu ia tahu arah kiblatnya.
Namun, dia Kia adalah calon istri Damar. Seorang ustadz lulusan Kairo, yang dikenal santun, lembut, dan mendalam ilmunya. Keputusan yang membuat banyak orang menganga tak percaya.
Sementara itu, di lantai dua puluh apartemen mewah kawasan Panakkukang, Kia Eveline Kazehaya berdiri di depan lemari bajunya yang setengah terbuka. Ia memicingkan mata menatap deretan pakaian dalam pikirannya yang sibuk merancang sabotase kecil: membuat Ustadz Damar jijik dan batal menikah.
Tangannya mengacak-ngacak isi lemari sebelum akhirnya menarik satu crop top warna neon menyala dengan tulisan provokatif dan celana kulit super ketat. Ia menyeringai.
"Ini dia... penampilan yang bikin orang-orang surga masuk neraka saking syoknya," ujarnya sambil melempar pakaian itu ke tempat tidur.
Ia menyisir rambut panjangnya yang dicat highlight merah dan pirang. Beberapa helai sengaja ia buat berantakan, eyeliner tebal ia poleskan tanpa rapi. Bibirnya dipoles lipstik merah darah yang mencolok. Parfum beraroma tajam ia semprotkan ke leher dan pergelangan tangan.
"Gue pengen liat seberapa kuat iman lo, Pak Ustadz. Jangan nyesel kalau mata lo berdosa liat gue," imbuhnya dengan tawa kecil yang menggema di kamar apartemennya.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Sepatu boots hitam tinggi menambah kesan ‘anak setan’ dalam versinya.
"Perfect. Ini bukan calon istri ustadz. Ini calon mimpi buruk buat keluarga pesantren," tuturnya sambil memeriksa kuku-kukunya yang sudah dicat hitam.
Ia meraih helm motor custom-nya lalu berdiri di ambang pintu.
"Semoga batal nikah," serunya sambil terkekeh dan melangkah keluar apartemen menuju kafe tempat pertemuannya dengan Ustadz Damar.
Kafe itu tidak terlalu ramai malam ini. Lampu gantung temaram dan alunan jazz instrumental membuat suasana terasa santai.
Beberapa orang memalingkan wajah ketika seorang perempuan berpenampilan mencolok masuk dengan langkah percaya diri.
Sepatu boots hitam menggedor lantai, rambut highlight mencolok, eyeliner gelap, crop top neon menyala, dan jaket kulit yang ia biarkan terbuka lebar.
Kia Eveline Kazehaya menarik perhatian seisi ruangan. Tapi sorot matanya hanya mencari satu orang laki-laki berjanggut tipis, berkopiah, dan mengenakan kemeja putih sederhana yang duduk tenang sambil membaca tasbih kecil di tangannya.
Itu dia… calon korban dari rencana pembatalan pernikahan suci: Ustadz Damar.
Kia melangkah mendekat, mendongak sedikit karena Damar bangkit berdiri menyambut. Lelaki itu menatapnya. Lama. Tak berkedip. Tak juga bereaksi seperti yang Kia harapkan.
Tidak melotot. Tidak batuk karena kaget. Tidak menunduk malu. Tidak kabur.
Hanya… tersenyum.
"Sorry, telat. Jalanan macet gara-gara gue ngebut," ujarnya dengan nada santai, tangan menyelip di saku jaket kulitnya.
"Tak apa. Aku memang sengaja datang lebih awal agar bisa berdoa," tuturnya lembut.
"Seriusan lo nggak kaget ngeliat gue gini?" Kia menyeringai, lalu memutar badannya seakan sedang memperagakan fashion show. "Crop top, eyeliner tebal, baju nyala-nyala. Apa kata surga, Pak Ustadz?"
Damar menatapnya dengan teduh.
"Yang aku nilai bukan bajumu, tapi hatimu. Bajumu mungkin mencolok, tapi hatimu... barangkali sedang teriak minta dipeluk," imbuhnya pelan.
Kia mendengus. "Tolong deh, jangan filosofis. Gue bukan dalil berjalan. Gue cuma pengen lo batalin aja rencana nikah ini."
"Kenapa?" ucap Damar, masih dengan suara tenangnya. "Karena kau takut aku memaksamu jadi orang yang bukan dirimu?"
Kia terdiam sesaat. Jawaban itu lebih tepat dari yang ia kira.
"Gue takut lo berharap terlalu banyak dari cewek kayak gue," ucapnya jujur, tanpa basa-basi. "Gue ini liar. Berisik. Nggak tau aturan. Lo punya masa depan cerah, gue punya masa lalu yang gelap."
Damar mengangguk pelan.
"Dan di antara masa depan dan masa lalu itu masih ada hari ini," tuturnya tenang. "Hari ini kau duduk di hadapanku, dan aku melihat keberanian. Itu lebih dari cukup untuk kupahami kau bukan gadis biasa."
"Serius lo, nggak ada jijiknya ngeliat gue?" serunya, seakan tak percaya.
"Aku justru bersyukur. Karena ini bukti bahwa kau jujur. Tidak berpura-pura jadi wanita salehah hanya agar aku terkesan," ujarnya.
Kia tertawa pendek, entah mengejek atau justru menahan gugup.
"Lo aneh banget, sumpah. Ustadz tapi nyebelin."
"Dan kamu calon istri ustadz yang luar biasa," imbuh Damar, sambil menatap Kia dengan senyum tipis yang membuat hati Kia tak nyaman, tapi bukan karena benci melainkan karena ia merasa sedang dilihat bukan dari mata, tapi dari jiwa.
Alih-alih gentar atau merasa gagal karena Damar tak bergeming melihat penampilannya yang "nyala", Kia malah tersenyum. Bukan senyum biasa. Senyum penuh arti. Mata elangnya menatap lekat lelaki di hadapannya—ustadz yang terlalu kalem untuk dunia Kia yang bising.
Ia bersandar santai di kursinya, memutar sedotan plastik minumannya, lalu mendekatkan wajahnya sedikit.
"Kalau lo masih yakin mau nikah sama gue..." ujarnya, "gue kasih syarat kecil."
Damar menaikkan alis. Bukan karena takut—melainkan penasaran.
"Syarat?" tanyanya datar.
Kia menyeringai.
Dialog:
"Iya. Balapan," ucap Kia singkat.
"Balapan?" Damar mengulang, memastikan ia tak salah dengar.
"Motor dan mobil. Dua hari. Satu malam di sirkuit liar, satu lagi di lintasan resmi. Lo ikut, atau batal nikah," tuturnya santai, seolah mengajak main monopoli, bukan adu nyawa.
Damar menatapnya, lama. Lalu tersenyum tipis.
"Dan kalau aku menang?" tanyanya.
Kia tergelak.
"Lo pikir bisa ngalahin gue?" serunya sambil menepuk dada. "Gue ini lahir di atas mesin RX-King, hidup di trek, dan tidur sambil peluk helm. Jangan main-main, Ustadz!"
"Anggap saja aku hanya sedang berlatih untuk ikut pacu kuda melainkan yang mesinnya 1000cc," imbuh Damar sambil tetap tenang.
Kia mendengus geli. "Nggak takut dosa kalau ustadz balapan liar?"
"Kalau niatnya bukan maksiat tapi dakwah insya Allah dapat pahala," ujarnya mantap.
Kia sempat diam. Lelaki ini bukan hanya tak mudah ditaklukkan, tapi juga terlalu tenang dalam kegilaan. Ia tertantang... sekaligus bingung.
"Deal. Dua hari. Satu lintasan liar, satu resmi. Kalau lo mundur, gue anggap lo cuma ustadz modal kata-kata," ucap Kia menantang.
"Dan kalau aku tidak mundur, kau harus ikut satu hal yang aku minta setelahnya," timpal Damar, menatap lurus ke mata Kia.
"Apa?"
"Rahasia," tuturnya singkat.
Kia tertawa keras kali ini. “Lo gila.”
"Tapi kau tertarik, kan?" ujarnya menutup perbincangan malam itu.
Kia tidak menjawab. Tapi senyumnya mengembang pertanda bahwa api baru saja dinyalakan.
Setelah obrolan tantangan balapan itu, Kia kembali duduk santai. Tapi kali ini, bukan untuk menyudahi. Belum puas. Matanya menyapu menu digital di layar kafe. Jarinya bergerak lincah, mengetuk semua makanan yang tampak menggugah selera.
Ayam panggang madu, tenderloin steak, udon kari, matcha parfait, dua porsi pizza keju, dan enam jenis dessert yang namanya saja sulit dieja.
Damar hanya menatapnya, sabar. Tidak berhenti di situ, Kia memanggil pelayan.
"Mas, semua yang duduk di ruangan ini… pesankan makanan satu-satu. Bebas aja, pokoknya semua meja dapet," ujarnya lantang sambil melirik ke arah Damar.
Pelayan sempat bingung.
"Yang bayar dia," imbuh Kia sambil menunjuk Ustadz Damar tanpa rasa bersalah.
Beberapa pengunjung menoleh, terkejut. Seorang ibu muda menutup mulutnya, sementara sepasang mahasiswa tertawa pelan.
"Eh seriusan, Kia?" tanya pelayan ragu.
"Lo pikir gue becanda? Jalanin aja. Ini calon suami gue, ustadz. Kaya iman, pasti kaya dompet juga," serunya lantang, sengaja agar satu kafe mendengar.
Beberapa pengunjung mulai berbisik-bisik. Damar tetap duduk tenang, bahkan masih sempat tersenyum.
"Kalau ini ujian kesabaran, maka aku bersyukur diberi kesempatan lulus langsung di hari pertama," tuturnya santai.
Pelayan kembali ke arahnya dengan raut canggung. "Maaf, Pak, benar Bapak yang akan membayar semuanya?"
Damar mengangguk. "Iya, silakan diteruskan. Tapi boleh saya tambahkan satu hal?" ucapnya ramah.
Pelayan mengangguk cepat.
"Tolong sampaikan kepada semua pengunjung bahwa ini adalah sedekah dari calon pengantin wanita kami, Nona Kia Eveline Kazehaya. Mohon doanya agar pernikahan kami diberkahi," imbuhnya, masih dengan wajah tenang dan suara lembut.
Suasana seketika berubah. Beberapa orang yang semula hendak tertawa justru mulai tepuk tangan kecil. Seorang bapak tua bahkan mengangguk dan tersenyum ke arah Kia.
Kia membelalakkan mata. "Apa-apaan lo, Pak Ustadz?" serunya setengah berbisik, kesal karena rencananya balik arah.
"Sedekah tak pernah salah tempat. Kau hanya menolongku memulainya hari ini," ujarnya kalem.
Kia menutup wajahnya dengan tangan, antara malu, kesal, dan bingung sendiri.
"Astagaaaa… ustadz model apa sih ini..." gumamnya lirih.
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣