Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua punya luka -2
...Kukira, hanya aku yang terluka disini. ...
...Tapi ketika melihat bagaimana kamu tersiksa di dalam sana. ...
...Membuatku semakin yakin jika dunia ternyata sekejam ini. ...
***
Sudah lima menit lamanya Renata mempertimbangkan film apa yang akan ia tonton sekarang. Di tangan kanannya, ada kaset film yang direkomendasikan teman sekolahnya. Sedangkan di tangan kirinya, ada kaset film yang diberikan Sang Ayah ketika ulang tahunnya yang ke enam belas kemarin.
Sepulang sekolah, Renata langsung membersihkan diri dan duduk di sofa ruang tamu, untuk menemani Ibunya yang sedang membaca buku.
"Kakakmu kok belum pulang juga ya, Ren? Udah sore banget ini."
Renata melihat jam dinding yang terpampang dengan jelas di depannya. "Mungkin lagi dijalan? Jam segini 'kan jalanan suka macet, Bu."
Ibunya itu hanya menghela napas pelan.
Dan ketika telinganya mulai mendengar suara motor Rey yang mendekat, hatinya sebagai seorang Ibu langsung tenang.
Tak lama, Rey mulai melangkah ke dalam.
"Kakak kemana dulu? Lama banget perasaan. Ibu sampe khawatir, tuh!" Ucap Renata ketika Rey sedang menyalimi Ibunya.
"Macet banget dijalan, seriusan."
Sesuai dengan dugaan Renata. Jam segini memang banyak karyawan yang pulang, memadati setiap jalan diseluruh kota.
"Kamu langsung bersih bersih, sana! Terus mandi. Udah itu Ibu mau minta tolong kasihin kue ke tetangga baru kita."
"Kenapa gak sama Renata aja?"
Padahal dirinya daritadi siap untuk membantu Ibunya. Kenapa harus menunggu Kakaknya segala?
"Kamu kalau ke rumah tetangga suka gak tau malu soalnya." Ucap Rey yang mampu membuat Renata mendengus sebal.
"Gak tau malu gimana maksudnya? Renata 'kan cuman main sebentar."
Ketika ditawari untuk masuk ke dalam, Renata selalu mengiyakan, dan bermain sebentar dengan tetangganya. Apa itu tindakan yang tak tau malu seperti yang Kakaknya bilang?
"Takutnya ganggu, Ren. Kalau udah selesai, kamu sebaiknya langsung pulang." Ucap Ibu mereka, yang membuat Rey menjulurkan lidahnya merasa menang, dan Renata hanya menekuk wajahnya kesal.
Setelahnya, Rey mulai masuk ke dalam kamar, bersiap untuk membersihkan diri. Dan meninggalkan Renata yang masih sibuk memilih dua pilihan rumit hari ini.
***
Kini Rey sudah berdiri dengan tegak di depan rumah tetangga barunya, untuk memberikan kue seperti yang Ibunya perintahkan.
Sudah cukup lama ia menekan bel, tapi tidak ada yang keluar untuk sekedar menyambutnya disini. Apa penghuni rumah baru ini sedang tidak ada?
"Permisi!"
Jika teriakan kali ini belum juga ada yang keluar, Rey akan mundur dan kembali pulang.
Tapi syukurnya, pintu rumah itu perlahan terbuka. Menunjukkan gadis yang sebaya dengannya, dan kebetulan ia sudah mengenalnya.
Penghuni rumah baru ini ternyata Rai.
"Lho, Rey? Kenapa kamu tau rumah aku?"
"Gue sebenarnya gak tau ini rumah lo. Tapi kita tetanggaan, yang di depan sana itu." Rey menunjuk sebentar rumahnya yang terlihat hidup dibandingkan rumah Rai sekarang. "Rumah gue."
"Oh, oke. Jadi ada perlu apa kamu berkunjung kesini? Mau masuk dulu ke dalam?"
Rey hampir lupa tujuan awalnya. Maka dengan segera, ia menyodorkan tote bag yang berisi kue buatan Ibunya. "Gue cuman mau anter kue."
"Wahh, makasih banyak, ya!"
Rey tak membalas dan langsung berbalik badan. Urusannya disini sudah selesai.
Begitupun dengan Rai yang mulai masuk ke dalam, dan mengeluarkan kue pemberian Rey barusan. Ia akan menyuguhkan kue ini kepada Ibunya di dalam kamar.
"Mamah? Kita makan kue, yuk!" Ucapnya sembari mengetuk pelan pintu kamar sang Ibu.
"Iya, Rai. Mamah sebentar lagi keluar."
Rai tersenyum mendengarnya. Ia akan menunggu sang Ibu di ruang tamu.
Ibunya keluar tepat ketika ia mendudukkan dirinya di sofa panjang. "Ini kue buatan kamu?" Tanya sang Ibu yang menyusul untuk duduk di sampingnya.
"Bukan, tadi ada tetangga yang ngasih."
Ibunya mengangguk mengerti, dan mulai menyantap kue yang kini tersaji dengan cantik. Sedangkan Rai pamit sebentar untuk mengambil minum untuk mereka berdua di belakang.
"Mamah udah minum obat belum?" Tanya Rai yang sudah kembali duduk, dan berusaha mengingatkan. Karena biasanya, sang Ibu suka lupa untuk sekedar minum obat saja.
"Buat apa minum obat sih, Rai? Kalau setiap hari tubuh Mamah malah semakin tumbang, bukan malah baikan." Terdengar getar tak biasa dari kalimat yang Ibunya lontarkan. Seperti rasa lelah karena kata sembuh belum kunjung datang.
"Tapi dengan Mamah minum obat, tubuh Mamah bisa bertahan lebih lama lagi."
Ibu menggeleng, membuat hati Rai merasa sesak sekarang. Kenapa Ibunya seperti menyerah dan tak ingin menemukan jalan keluar?
"Mamah bukan bertahan, tapi tertahan. Mamah mending langsung pulang aja daripada terus ngerasain sakit kayak gini."
Rai berhenti mengunyah sebentar, dan menggenggam tangan Ibu untuk menyadarkan.
"Kalau Mamah pergi, terus Rai sama siapa? Rai 'kan cuman punya Mamah doang sekarang. Makanya Mamah harus semangat buat sehat lagi."
Ibunya membalas genggaman Rai dengan usapan lembut di kepalanya.
"Mamah minta maaf ya, sayang? Mamah malah jadi beban buat kamu sekarang."
Rai menggeleng keras, karena baginya, sang Ibu bukanlah beban. Tapi hal yang harus ia jaga sampai darah penghabisan. Bukankah itu yang dilakukan Ibunya dulu ketika melahirkannya ke dunia?
"Mamah ini bilang apa, sih? Rai gak suka ya Mamah bilang gitu lagi."
Ibu hanya tersenyum mendengarnya. Dan Rai tau jika senyuman itu hanya sebuah ilusi saja. Rai juga tau jika di dalam hati Sang Ibu, ada luka besar, yang Ibunya itu tutupi agar tidak ketahuan.
"Besok kamu mulai sekolah, 'kan? Istirahat, sana. Biar besok gak terlambat."
"Mamah juga langsung istirahat lho, ya! Obatnya jangan lupa diminum."
Setelah menerima anggukan, Rai langsung melangkah ke kamarnya yang berada di lantai dua. Meninggalkan sang Ibu yang sekarang sedang menenangkan dirinya sendiri, dengan mengatur napasnya yang terasa berat.
Tapi karena tubuhnya sudah benar-benar tumbang, darah tiba-tiba mengalir dari dalam hidungnya. Ibu berusaha meredamnya dengan tissue yang disediakan Rai sebelumnya. Tanpa sepengetahuan Rai tentu saja.
***
Rai belum benar-benar tidur. Malah, ia tidak bisa tidur. Ia membuka sedikit jendela besar di kamarnya yang kebetulan berhadapan langsung dengan kamar milik Rey, untuk sekedar menenangkan hatinya yang kini sedang berantakan.
Mata yang kini terlihat sendu itu begitu suka menatap langit malam. Bintang yang bertebaran selalu membuat hatinya tenang, apalagi sang bulan yang bersinar terang.
Angin malam yang menubruk wajahnya mampu membuat hatinya lebih baik dari sebelumnya.
Kalau boleh jujur, Rai benci dengan hidup. Ia benci dengan seluruh realita yang ia punya, juga kenyataan yang menyapanya tiba-tiba.
Ternyata hidup serumit ini, ya?
Mata yang fokus melihat langit malam kini teralihkan. Ia melihat Rey yang mulai masuk ke dalam kamarnya dengan tangan yang sedang mencengkram dada kanannya cukup kencang, juga napasnya yang terlihat tak beraturan.
Rey seperti sedang mencari sesuatu sekarang.
Terlihat oleh matanya, Rey kini duduk di ujung ranjang yang menghadap langsung ke arahnya, lalu Rey mulai meminum satu pil obat dengan air putih sebagai penghilang rasa pahit setelahnya.
"Rey sakit apa?" Tanyanya dalam hati.
Sedangkan Rey yang baru sadar jika Rai melihatnya tanpa terhalang apapun, karena gorden di kamarnya belum tertutup. Langsung berdiri dan menutup gordennya dengan segera.
Rai hanya tersenyum miris melihatnya.
Kenapa semua orang terlihat tidak baik-baik saja sekarang?
***
^^^22-Mei-2025^^^